Pengalaman pribadi saya, jalan menemukan jodoh itu sungguh terjal berliku. Tak terhitung berapa kali saya berusaha, tapi nyatanya gagal dan gagal lagi. Tak ubahnya seperti dulu saat melamar pekerjaan, susahnya minta ampun dan musti berdarah-darah.
Tetapi manusia dianugerahi akal, agar tidak mudah menyerah dan menghentikan langkah. Bahwa perjuangan adalah keniscayaan, yang musti ditempuh setiap manusia berakal.
Eits, soal lika liku menjemput jodoh, ternyata bukan masalah saya saja. Beberapa teman sepantaran atau adik adik di bawah saya, sekarang generasi millenial mengalami hal serupa.
Beberapa kali saya dicurhatin masalah jodoh, isinya mirip mirip yaitu lama menemukan yang klik, atau sudah usaha tapi tidak segera bersua.
Aneka dinamika dialami setiap orang, untuk menemui belahan jiwanya. Ada yang jalannya lapang, tetapi tidak sedikit diuji dengan kesabaran. Ada yang berjalan sesuai target dan rancana, tetapi banyak yang melenceng jauh dari harapan.
Tetapi saya meyakini, bahwa apa yang telah digariskan kehidupan tidak ada yang sia-sia. Bahwa setiap orang, memiliki jalan masing-masing dan menuju kebaikan juga.
Kini, satu setengah dasawarsa usia pernikahan. Saya seperti mendapati jawaban, mengapa jalan menemukan belahan jiwa (biasanya) terjal berliku.
--------
Dulu, semasa kuliah saya nyambi bekerja. Karena sekolah biaya sendiri, saya termasuk kategori tidak boros. Â Buktinya mendekati semester akhir kuliah, saya bisa mengumpulkan tabungan dan bisa untuk uang muka sepeda motor.
Siapa yang tidak senang, bisa membeli motor sendiri tanpa menyusahkan orangtua. Saya mengambil uang muka cukup tinggi, dengan periode cicilan tiga tahun ke depan.
Sebelum tanggal sepuluh setiap bulan, selalu saya menyiapkan uang angsuran kendaraan. Dan demi mendapat uang tambahan untuk angsuran motor, saya berinisiatif berjualan baju, mukena, mie instan dan ditawarkan ke teman kampus dan kantor tempat bekerja.