Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar tentang Cinta dari Ibunda

22 Desember 2019   04:10 Diperbarui: 22 Desember 2019   04:29 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya pernah melewati sepotong  senja, yang mengantarkan sebuah kisah sangat sederhana. Terjadi di sudut kampung, tepatnya di area pemakaman tempat jasad (alm) ayahanda dikebumikan. Kejadian berlangsung beberapa tahun silam, namun masih membekas hingga sekarang.  

Ibu bersimpuh di samping nisan, duduk di tanah tanpa alas dengan posisi tangan menengadah tanda berdoa. Siang mulai redup menghadirkan kesyahduan,  berbaur suasana tanah pemakaman yang cenderung sunyi, hening mengalirkan atmosfir magis. Beberapa kali, bulu tengkuk saya dibuat meremang.

Mula-mula, sayup terdengar ibu membaca surat al fatihah. Tanpa jeda, dilanjutkan surat pendek yang akrab di telinga. Suara ibu semakin lirih seperti bisikan, lama-lama suara itu tenggelam. Saya duduk berseberangan berhadapan, berada di sisi lain nisan sehingga bisa membaca air muka teduh perempuan sepuh ini.  

Kekhusyukan seketika menyergap, sementara gerakan bibir menderas sembari merapal doa. Dan suara ibu tetaplah konstan berbalut sepi. Seolah hanya dirinya dan Sang Pencipta, yang bisa mendengar apa yang sedang diucap.

dokpri
dokpri
Kelopak mata terpejam mengambang, perlahan embun bening menyusuri pipi berkerut. Doa terasa semakin dalam, menyatu dalam sunyi menyusuri partikel udara pemakanan. Linangan airmata mulai lancar dan deras, sedangkan dua bibir tak mengatup itu tampak bergetar.

Sesaat ibu menjeda doa, seperti memberi ruang pada dirinya untuk menarik nafas panjang dan dalam. Saya, anak ragil sedang termangu. Berkelebat potongan kisah masa silam, masing-masing potongan berlomba muncul di benak. Berebut dinomorsatukan.

-----

"Kayunya diangkat ke rumah ya" ajak ayah, setelah menebang pohon kering di kebun. Menjelang anak sulung melepas masa lajang, saya diajak mengumpulkan kayu untuk memasak. Ragil yang baru tumbuh remaja, di pundaknya menahan beban pohon sengon yang tidak ringan.

Sembari bersungut, satu potongan demi satu potongan saya angkat ke rumah. Saya sempat protes, kenapa kakak-kakak tidak diajak serta.

"Ya wis, kamu yang ngalah sama kakakmu" Saat itu, kakak memakai sandal kulit baru milik si bungsu. Sandal varu dari toko, sama sekali belum dipakai. Mendadak solnya ludes, karena dipakai untuk ngerem roda sepeda kumbang.  Dan ayah, meminta saya untuk mengalah.

dokpri
dokpri
Dan untuk semua protes saya kepada ayah, ibu yang menggenapi dengan meraup tangis anak paling kecil. "Wis gak popo, sing sabar wae" Banyak potongan kisah lain, belum tuntas saya cerna. Sejuta pertanyaan kala itu, belum saya dapati jawabannya sampai sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun