"Besok mah gampang. Nggak usah dipikir sekarang, lihat saja bagaimana nanti".
Pernah nggak, Kompasianer mendengar kalimat "bagaimana nanti" (seperti di atas), dalam soal pengelolaan keuangan. Atau jangan-jangan, kita sendiri justru penganut konsep keuangan "bagaimana nanti" itu sendiri.
Pada "Bagaimana nanti", (menurut saya) di dalamnya mengandung unsur ketidakpastian. Di benak ini seperti masih kosong, sama sekali belum ada gambaran apapun. Seperti bertaruh, yang kita sama sekali tidak punya prediksi. Tidak bersiap bekal atau persiapan, terhadap apa yang bakal terjadi.
Memang sih, tidak ada yang pasti dalam hidup ini. Dan yang pasti, adalah ketidakpastian itu sendiri. Tetapi dengan kalimat "Bagaimana Nanti", seolah kita tidak akrab dengan rencana beberapa waktu ke depan. Kita tidak berhitung resiko, mengakibatkan kita tak mengatur strategi.
Padahal, manusia dipilih sebagai makhluk mulia, telah dibekali akal pikiran. Diberi kemampuan memperkirakan, apa sekiranya dihadapi apabila memutuskan begini dan begitu.
Misalnya kita akan pergi ke satu tempat, sudah semestinya siap dengan bekal secukupnya. Â Beda kita pergi ke satu tempat, langsung pergi begitu saja. Tanpa persiapan bekal apapun, tidak punya bawaan (sekiranya) menyelamatkan. Padahal bisa saja, ada kejadian selama di perjalanan.
Dipa Andhika Nursetyo, Financial Planer dan founder Perusahaan bergerak di bidang hiburan, menyarankan kita sebaiknya memakai "Nanti Bagaimana" dalam mengelola keuangan. Kata "Nanti Bagaimana", berisi ajakan kita untuk bersiap diri.
Kita semua tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi satu menit, satu jam atau satu hari ke depan. Tetapi dengan memiliki perencanaan keuangan, membuat kita lebih siap jauh hari. Sehingga bisa siap menghadapi kemungkinan, dan bisa melewati dengan aman.
Perihal "Nanti Bagaimana" saya ingat dengan teman baik semasa kuliah. Kost kami ada di gang yang sama dan berdekatan, jadi kerap ketemu dan bisa saling berkunjung. Setelah lulus kuliah, kami terputus komunikasi masing-masing punya kesibukan.
Sampat terbetik kabar, teman ini masih di Surabaya, sementara saya sudah tujuhbelas tahun berkegiatan di Jabodetabek. Media sosial akhirnya mempertemukan kami, menyambung pertemanan dan komunikasi sempat terputus.