Semasa masih kanak-kanak, (bagi saya) ayah adalah sosok yang susah dijangkau. Beliau cenderung irit bicara, apalagi bercanda dengan anak-anaknya. Sedikit intonasi meninggi berarti malapetaka, untungnya pembawaan ayah kalem, sehingga sangat jarang marah.
Beda masa beda budaya, sekarang saya kerap mendapati hubungan ayah dan anak masa kini, sangat kontras dibanding masa lalu. Ayah dan anak seperti partner, ngobrol tanpa jarak tak segan meluangkan waktu khusus berdua.Â
Saya termasuk ayah, yang tidak menjaga jarak dengan anak, mereka saya bebaskan bercerita apa saja dan kapan saja. Anak yang besar (kelas dua SMP), tak segan curhat dengan apa yang dialami (saya yakin ayah lain melakukan hal serupa). Saya tidak mau ketinggalan moment, menyimak dan menanggapi dengan sungguh, ketika anak berbicara agar dia nyaman dan tidak diabaikan keberadaannya.
Membangun kedekatan dengan anak, bisa kapan saja dilakukan, namun ada juga pada saat saat khusus yang kelak akan tersimpan di benak anak-anak. Kapan saja, waktu baik itu ?
Bangun Tidur, Bagi Kompasianer yang muslim, terbiasa bangun pagi langsung mengerjakan sholat subuh dua rekaat. Tapi jangan lupa, ajak serta anak ikut beribadah dan berdoa. Bayangkan, indahnya mengawali hari dengan ajakan sholat subuh, bisa menjadi moment yang subur untuk menanamkan kedekatan anak dengan ayah.
Ketika anak-anak belum bertemu dan berinteraksi dengan siapa-siapa, si ayah yang menyapa dan menyambut dengan ajakan beribadah---romantis banget kan.
Siapa sangsikan, bahwa di benak anak-anak akan tertanam mindset, betapa utama menegakkan sholat lima waktu, dan otomatis ayah dan atau ibu yang diingat, karena keduanya yang saban hari mengajak.
Moment subuh yang membekas, kelak (Insyaallah) akan menjadi kebiasaan setelah mereka dewasa dan berumah tangga. Bukan tidak mungkin, kebiasaan baik yang bisa diwariskan.
Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, kami ngobrol dengan topik apa saja, mulai yang remeh temeh sampai masalah di sekolah (yang dianggap serius anak-anak)
Obrolan baru berhenti, setelah roda dua melambat, antre di dekat gerbang sekolah, setelah anak --anak turun, ujung hidung mungilnya mencium punggung tangan si ayah, "Belajar yang rajin ya nak" pesan saya.
Biasanya, saya tidak langsung pergi, tak beranjak dari tempat sambil mengamati langkah kaki kecil sampai tubuhnya hilang di balik kerumunan teman dan gurunya.
"Ayah bawa apa" itu adalah pertanyaan yang kerap diucapkan.
Maka, saya selalu berusaha membawa apa saja untuk oleh-oleh. Tak jarang mampir ke warung terdekat, sekedar membelikan biscuit atau camilan kesukaan. Cukup dengan uang dua atau tiga ribu saja, ternyata bisa mengantarkan gembira di wajah anak-anak.
Menjelang Tidur, Setelah seharian beraktivitas, malam tiba dan anak-anak siap-sapa naik ranjang. Kalau ayah sudah di rumah dan sempat, Â sisihkan lima sepuluh menit berbincang, apa saja telah dilalui sepanjang hari atau harapan masa mendatang.
Kalau masih balita, bisa saja didongenin, dibacakan kisah sarat pesan, diambil dari kisah nabi atau orang hebat lainnya. Pesan kebaikan yang disampaikan orangtua, biarlah dibawa dalam tidur dann memotivasi untuk mengejar cita-cita di kemudian hari.
------
Memanfaatkan kebersamaan semasa anak masih kecil, bisa menjadi cara untuk memupuk memori indah di benak anak tentang orangtuanya. Niscaya ketika elak mereka dewasa, orangtua adalah orang kali pertama dituju untuk berbagi apapun.
-semoga  bermanfaat-