Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pandanglah Pilihan Istri Sebagai Ibu Rumah Tangga, Layaknya Capres Pilihanmu !

24 Maret 2019   07:05 Diperbarui: 24 Maret 2019   10:21 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber rumahoscarliving.com


 "Jaman gini, era emansipasi wanita sudah berlangsung lama, masa ada  perempuan malah pengin jadi Ibu rumah tangga," pria paruh baya berwajah oriental menceracau, "kalau gitu, ngapain dulu sekolah tinggi-tinggi."

Duduk di depan lelaki ini saya geming tak bersahut, kebetulan kami saling mengenal (meski tidak terlalu akrab) dan saya cukup tahu wataknya yang keras sekeras batu.

Dulu semasa berjaya, beberapa kali saya mendapat order pemasangan iklan dari lelaki ini, sekali kontrak bisa langsung enam bulan kadang satu tahun.

Kebanyakan kliennya Pemerintah Daerah, materi promosi pariwisata ditayangkan (setahu saya) untuk penayangan di beberapa media sekaligus. 

Iklan terakhir seingat saya tentang event fun bike, kemudian setelah itu kami (sekira satu tahun) tidak berinteraksi sama sekali -- pernah coba hubungi, terindikasi nomor telepon bapak ini ganti.


Hingga satu saat terbetik kabar, ramai diberitakan media, bahwa pejabat daerah (yang iklannya pasang di beberapa media - termasuk media saya) tersangkut kasus korupsi.

Siang itu, tiba-tiba ada telepon masuk, melihat nomor berderet di layar, ternyata belum saya simpan "Hallo mas, apa kabar" ujar suara dari seberang sesaat setelah diangkat. 

Meski terbilang lama tidak berkomunikasi, saya mengenal suara ini, "Hallo Pak, Alhamdulillah kabar baik" balas saya

Kami ngobrol basa-basi seperlunya, sesekali menyinggung masalah pekerjaan dan kemudian membuat janji untuk ngobrol lebih panjang.

-------

Sungguh, saya sempat dibuat tak percaya dengan pemandangan di depan mata, betapa drastis naik turun kehidupan tejadi nyata. Lelaki bermata sipit itu, tampil dengan tubuh kurus kering, ketika kami bersalaman, saya merasakan tulang menonjol pada jari jari di tangannya.

Tidak ada lagi tubuh kekar, tegap penuh daging, air muka yang segar berapi api itu, kini cahayanya redup  berbalik seratus delapan puluh derajad.

Tetapi watak keras itu, tetapi kilatan sorot mata muslihat itu, tetapi tekanan suara bernada intrik itu, masih saja saya rasakan sepanjang pertemuan.

"Saya bangkrut, habis semua, istri saya ceraikan," kisahnya pilu "perempuan nggak berguna, maunya kerja di rumah nggak menghasilkan uang, padahal kalau dari dulu dia mau kerja kantoran, kan bisa bantu suami pas jatuh kayak gini" selebihnya saya tak menyimak omelan panjang itu.

Entahlah, apa maksud dibalik ajakan ngobrol siang itu, saya sendiri masih menebak-nebak sepanjang pertemuan tengah berlangsung.  Apalah saya, sampai dijadikan tempat curhat masalah pekerjaan dan rumah tangga, untuk orang sekelas bapak satu ini.

Sampai akhirnya handphone saya hilang dan ganti nomor, komunikasi kami terhenti dan  sampai sekarang kami tidak lagi berkabar.

Istri Memilih Menjadi Ibu Rumah Tangga

"iya juga sih, Istri kalau kerja kantoran, bisa mengaplikasikan pengetahuan selama  sekolah, sementara masalah  gaji biar menjadi dampaknya saja" jelas seorang teman kantor.

Kok saya yakin ya, perdebatan antara perempuan yang memilih menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT) dan menjadi pekerja kantoran tak akan ada selesainya.

Masing-masing pilihan akan lebih unggul di mata pemilihnya, karena masing masing melihat dari sudut pandang berbeda -- jadi nggak pernah ketemu.

Persis, seperti perdebatan antar pemilih dua Capres pada Pilpres 2019 sekarang ini, kubu A pasti mengunggulkan capres pilihannya, demikian juga dengan kubu B.

Goreng menggoreng berita menjadi bahasan di medsos saban hari, selalu melihat satu kejadian/ peristiwa dari dua sudut pandang berbeda, bantah-bantahan  dan tidak pernah ketemunya -- sudahlah.

*back-to-topik -- Kebetulan, Istri saya memilih menjadi IRT, dan saya mendukung keputusan itu, meski dulunya sempat menyayangkan. 

Pernah terbersit di benak, apa gunanya ijasah kuliah dengan nilai bagus diraih, kalau akhirnya tersimpan di lemari tidak digunakan (seperti omelan Bapak di atas).

Seiring berjalan waktu, keraguan itu perlahan-lahan berhasil saya tepiskan (tentu dengan proses yang tidak instan), sembari sama-sama berbenah dan saling mengoreksi diri sendiri.

Saya membuktikan sendiri, bahwa menjadi IRT (sebenarnya) bukan hal mudah (pun menjadi wanita pekerja).

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Menjadi IRT, bukan halangan untuk tetap bisa berkarya, bahkan bisa menghasilkan (menurut saya) lebih dari sekedar uang. Seorang IRT bisa membuka usaha dengan berjualan di rumah (atau onlineshop), tanpa harus berjauhan dengan anak-anak di rumah.

IRT mempunyai keleluasaan untuk mengatur waktu sendiri, kapan saatnya mengatur rumah, kapan mengurus anak-anak atau kapan berjualan.

Tapi dibalik keenakan-keenakan yang tampak dan dibahas dalam perdebatan dii berbagai Group WA, sejatinya banyak tantangan dihadapi untuk menjadi IRT.

Demikian pula yang memilih menjadi perempuan pekerja, pasti ada keenakan dan ketidakenakannya (semoga di artikel selanjutanya saya bisa ulas).

Kehidupan memang menyediakan pilihan, manusia diberi kebebasan memilih sesuai keyakinan dan kemampuan masing-masing dan hasilnya akan dirasakan sendiri.

-----

Hidup tak selalu sejalan, dengan apa yang kita inginkan, tapi kita manusia diberi ruang belajar untuk mensyukuri apa yang didapatkan. 

Jangan cepat under estimate dengan pilihan istri, meskipun tidak selalu selaras dan sejalan dengan kehendak suami.

Menjadi IRT memang (sekilas) tidak menghasilkan uang, tetapi para suami sebaiknya melihat dari sisi positif dan benefit didapatkan.

Memiliki istri yang IRT, suami bisa berhemat lho, berangkat kantor ada yang memasak dan menyiapkan sarapan, kemudian membawakan bekal untuk makan siang.

Anak-anak di rumah mendapat perhatian penuh dari ibunya, bagi yang masih balita tidak perlu dititipkan ke day care atau diasuh asistant rumah tangga.

Anak-anak yang sudah masuk masanya bersekolah, ada yang mengantar dan menjemput pun mengawasi dan mengajari untuk mengulang pelajaran di sekolah.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Tapi kan, tetap saja istri nggak menghasilkan uang?, -- Oke, kalau uang menjadi masalah utama,  sekarang mari kita sama-sama berhitung *SiapinKalkulator. 

Siap, dimulai ya,-- Berapa upah sebulan menyewa asistan rumah tangga, *TekanTandaTambah, uang makan siang di kantor harus dikeluarkan selama duapuluh hari kerja , *TekanTandaTambah, dana disiapkan untuk anak dititip ke day care, *TekanTandaTambah, atau ongkos antar jemput sekolah anak, *TekanTandaTambah bayar guru lest privat (ini belum selesai lho, kalau mau diteruskan masih banyak dan panjang, bagaimana mau diteruskan ?).

Istri yang IRT, sudah melakukan dan mengcover biaya untuk semua keperluan tersebut,  tanpa menuntut suami mengganti atau membayar sepeserpun atas pengorbanannya. 

Coba kalau hal ini dikaji dan disyukuri, saya yakin tidak akan ada suami yang memandang sebelah mata, ketika istrinya memilih menjadi IRT (please, sudut pandang positif juga diterapkan untuk istri yang memilih menjadi pekerja ya).

Setiap pilihan ada konsekwensinya, sebaiknya kita terus belajar melihat sesuatu dari sisi positifnya agar hati berdamai dengan keadaan. Persis seperti Pilpres saat ini, kubu ini dan ono, melihat dari sisi baik Capres jagoannya, setuju kan ?? 

Happy Weekend, Samoga Bermanfaat !!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun