Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengoreksi Persepsi tentang Menyayangi Diri

22 Maret 2019   11:09 Diperbarui: 23 Maret 2019   04:37 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semalam (sekira pukul 22.00) di perempatan Tomang arah slipi, ketika lampu lalu lintas sedang menyala warna merah. Dua motor di depan saya, berhenti dengan posisi menyentuh ujung garis putih penyebrangan jalan (zebra cross), bunyi gas dipasang meraung seperti ancang-ancang.

 "Ngoooooonggg" sontak asap keluar dari knalpot motor mengepul, berhamburan mengenai bagian luar penutup bening helm saya. Persis seperti sudah saya perkirakan, bahwa dua motor hendak nyolong start, sebelum lampu lalu lintas warna merah berubah menjadi hijau (tanda jalan).

Jalanan malam itu memang tidak padat, polisi lalu lintas sepengetahuan saya tidak tampak berjaga, mungkin menjadi pertimbangan dua motor untuk nyelonong.

Saya menebak-nebak saja, mungkin mereka buru-buru untuk segera sampai rumah, karena ada urusan lain sangat penting atau sudah ditunggu anak istri.

Mendapati aksi nyelong dilakukan aman-aman saja (ya syukur syujur), masalahnya hak kendaraan yang jalan bersilangan sedang berlangsung. Sangat mungkin, tiba-tiba ada kendaraan dari dan menuju arah Roxy melintas, karena lampu hijau memang menjadi bagiannya.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Kalau, "BRUUUK", urusan bisa tambah runyam, panjang dan berlarut-larut.


Lagi pula semenit dua menit menunggu berganti lampu hijau, apa susahnya coba (itu sih pikiran saya), daripada mencuri start dan berdampak macam-macam.

-----

Surabaya pernah menjadi persinggahan, hampir sepuluh tahun merantau di kota pahlawan, nyaris di setiap sudut pernah saya jamah. Sebagai bujangan kala itu, saya punya kebebasan mengatur waktu sendiri, menjalin pertemanan dan mengisi hari dengan aneka kegiatan.

Malam itu, setelah menghadiri undangan acara di Hotel kawasan Tunjungan, (kira-kira) enam atau tujuh bujangan mampir di angkringan daerah Pucang. Mumpung ketemu di acara sama, kami pengin melanjutkan ngobrol, membahas rencana project akan dikerjakan bareng-bareng

Namanya bujangan, ngumpul dan ketemuan bareng geng's, (sebenarnya hanya) menjadi alasan daripada pulang awal dan di kost sendirian. Dan kalau sudah ketemuan di angkringan, (mau tidak mau) apalagi yang dilakukan kalau bukan sambil ngunyah panganan dan atau makan besar.

Padahal belum juga genap dua jam, lambung ini sudah diisi dengan makan malam menu ala Jepang berkonsep prasmanan. Bayangkan, shabu-shabu yang dimasak langsung begitu memesan, dinikmati dengan kuah yang dikepuli asap aroma harum menggugah selera.

Sushi, siapa tak kenal panganan keren ini, gulungan  nasi dan di dalamnya dicampur seafood, sayur dibalut nori (rumput laut). Banyak menu sangat familiar, bisa ditemui kalau datang ke restoran cepat saji Jepang, seperti edamame, tempura, ramen, okonomiyaki, soba dan lain sebagainya.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Dan saya, mencicipi nyaris semua menu tersedia, perut ini rasanya bega sampai tak ada rongga tersedia buat udara. Belum juga saripati makanan ala jepang diserap tubuh, dengan sepenuh kesadaran, saya ngemil bakwan, tempe tepung dan gorengan sejenisnya.

Kebiasaan makan tak kenal porsi tak peduli waktu, saya lakukan berulang-ulang, seperti menjadi kebiasaan dan lama kelamaan menjadi pola hidup.

Pada hari lain, satu dua jam sebelum tidur malam, saya tak enggan makan besar, sambil nonton tipi malam-malam bersanding setoples biscuit.

Pagi berangkat kerja, sarapan nasi pecel menu lengkap plus minum teh manis anget, masih juga tambah kerupuk dan gorengan. Menjelang siang, di kantor ada yang ulang tahun atau datang dari luar kota, membawa makanan ini dan itu dan saya tidak ketinggalan ikut menguyah.

Maka tak mengherankan, menginjak usia seperempat abad, buah dari kebiasaan makan, lemak di badan ini melar kemana-mana. Pinggang tak lagi akrab dengan celana ukuran standar, kaos mulai sempit dan ditengahnya ada buncit menyembul.

Mengoreksi Persepsi Menyayangi Diri

Dari dua contoh kasus di atas, terbetik di benak saya , bahwa pulang buru-buru dan ketemu anak istri atau makan sekenyangnya agar puas, dipandang sebagai cara menyayangi diri sendiri.

Ya, iyalah, apa yang dilakukan atau dikerjakan untuk menyenangkan diri sendiri, berarti sebagai wujud bahwa kita menyayangi diri.

Saya sangat sepakat, tidak ada pekerjaan yang kita lakukan, sedikitpun bertujuan untuk mencelakai atau merugikan diri sendiri. Tetapi perihal cara meraih (hal menyenangkan) tersebut, musti melanggar lalu lintas atau makan banyak dan enak, selama aman-aman saja (mungkin) dianggap sebagai sebuah tantangan.

Padahal, kalau saja dua motor nyalip lampu merah, ternyata di depan ada polisi lalu lintas dan ditilang bukannya justru tidak jadi pulang cepat. Padahal, kalau (misalnya) ada mobil atau motor melaju dari arah bersinggungan, bukannya justru tidak jadi ketemu anak istri justru pulang ke rumah sakit.

Pun dengan makan kenyang dan sepuasnya, memang sih perasaan jadi marem karena bisa mengonsumsi makanan semaunya. Tapi kalau di kemudian hari badan melebar, kemudian disinggahi penyakit ini dan itu, bukannya butuh biaya ekstra untuk berobat.

ilustrasi-dokpri
ilustrasi-dokpri
Menyayangi diri sendiri, bukan berarti membebaskan bertindak apapun sesuka hati, karena kehidupan ini ada mekanisme yang menyertai. Ada hak orang lain musti dihormati, ada sebab dan akibat yang musti diperhatikan, sehingga sistem kehidupan berjalan sebagaimana mestinya.

Ketika pengin selamat di perjalanan, ketika pengin memiliki badan sehat, ada prasyarat yang musti dipenuhi dan dijalani dengan penuh perjuangan.

 - Selamat Hari Jumat -

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun