Akibat tidak membayar utang kepada teman begitu besarnya, bagaimana kalau tidak membayar utang kepada saudara ?
Berutang ke Saudara dan Menyikapi.
Setelah dewasa kemudian menikah dan beranak pinak, setiap keluarga akan berkutat dengan kebutuhan keluarganya sendiri- sendiri. Kebutuhan setiap manusia berbeda-beda, lazimnya berbanding lurus dengan gaya hidup dan pola pikir diterapkan.
Pun terjadi pada keluarga antar saudara (kakak, adik, keponakan dan sebagainya) juga berbeda, masing- masing menempuh jalan kehidupan yang telah dipilih sendiri-sendiri.Â
Bisa jadi (misal) saudara yang A terlihat tampak berlebih berpunya, sementara si B terlihat biasa saja, semua masih diukur sebatas yang tampak di permukaan atau dalam kepemilikan harta benda.
Dalam bahasa Jawa ada istilah sawang sinawang (saling melihat), maka begitulah keseharian kita antar manusia. Sawang sinawang, ibarat kemampuan untuk menilai sebatas dari yang tampak di luar, tanpa mengetahui kondisi sebenarnya atau proses telah ditempuh.
Dalam proses sawang sinawang ini, sangat mungkin menumbuhkan persepsi yang menggiring pada asumsi tertentu tentang seseorang -- termasuk antar saudara.Â
Namanya juga persepsi bisa saja salah atau bisa (kecil kemungkinan) benar, namun sebaiknya tidak dijadikan patokan.
Berutang bisa kepada siapapun, ke kantor tempat bekerja, ke Bank, ke teman, tetangga, termasuk ke saudara (saudara kandung, om/tante, sepupu, keponakan dan seterusnya).
Berutang kepada perbankan atau kantor, ada prosedur yang dilalui, lebih rumit dan biasanya ada kekuatan hukum di dalamnya. Berutang ke tetangga, teman, kenalan dan seterusnya, didasarkan pada kepercayaan dan atau terselip niat baik pemberi utang untuk menolong.
Berutang ke saudara, menurut saya ada hal-hal yang lebih khusus dan musti dijaga, kalau tidak ekstra hati-hati dampaknya lebih besar dan berlangsung lama. Jangan karena berutang ke saudara, maka si pengutang menggampangkan dalam hal pengembalian/membayar utang.