Seperempat abad lebih merantau, tanah kelahiran tidak pernah terhapus dari benak. Selalu saja ada alasan, untuk bisa mudik melepas kangen. Termasuk di bulan terakhir tahun ini, saya punya jadwal pulang kampung bersama keluarga -- terhitung tahun ini tiga kali saya mudik. Rencana dicanangkan jauh hari, menghadiri acara cukup penting, yaitu adik sepupu (anak dari bulek) hendak melaksanakan ijab kabul.
"Ojo sampai nggak muleh yo, ajak sekalian anak istri" Ibu mewanti-wanti.
Saya mengendus maksud dibalik pesan ibu, yaitu pengin ketemu dengan cucunya. Setelah bersua lebaran pertengahan tahun, anak-anak belum lagi diajak ke rumah mbahnya. Saya meng-iya-kan, mempertimbangkan perasaan ibu kalau dibantah, apalagi beliau sudah cukup sepuh dan butuh perhatian lebih.
Bagi saya pribadi, mudik akhir tahun adalah kesempatan sekalian liburan. Apalagi sekolah anak-anak sedang libur panjang, setelah ujian akhir semester ganjil dilaksanakan. Selain itu menjadi cara tepat mengusir bosan, kasihan kalau anak-anak melewatkan libur hanya di rumah saja.
Mudik bisa sekaligus liburan, sebenarnya tidak selalu mahal, asal tahu strategi dan cara menyiasati (saya akan tuliskan pada artikel lain). Jadi kalau ada yang bilang ongkos mudik (terutama saat peak session) mahal, bisa jadi karena belum tahu cara atau kurang mempersiapkan jauh hari ( tapi standart setiap orang berbeda-beda).
Kesibukan di rumah bulek sudah tampak, sehari sebelum prosesi ijab kabul digelar. Para bapak dan anak muda membahu, memasang tenda dan terpal dilapisi kain warna-warni di bagian dalam. Saya sendiri masih di perjalanan (dengan kereta) pulang, hanya bisa melihat kerepotan melalui foto yang dibagi saudara melalui WA group keluarga.
Kalau saja berkesempatan berbaur, tidak saya sia-siakan merasakan keguyuban bersama warga desa. Kerabat dan tetangga turun tangan, ketika ada yang hendak menyelenggarakan hajatan. Mereka dikoordinir melalui RT, bekerja bakti dengan senang hati, sementara sang tuan rumah cukup menyediakan hidangan.
Teringat situasi yang sama belasan tahun silam, ketika itu saya adalah mempelai yang duduk di kursi pelaminan. Betapa kami sekeluarga terbantu, dengan kebersamaan para tetangga. Warga menyingsingkan lengan, mulai dari persiapan kemudian selama acara berlangsung, bahkan sampai hajatan benar-benar selesai dilangsungkan.
Serunya Hajatan di Kampung Halaman
Acara ijab kabul dilakukan pada senin jam sembilan pagi, jadwal kereta saya sampai stasiun Madiun sebelum adzan subuh berkumandang. Kalau mau berhitung waktu, saya masih punya kesempatan tidur dan istirahat sekedarnya beberapa jam -- anak-anak tidak perlu ikut acara ijab.
Jalanan di depan rumah bulek diportal, tenda besar sudah berdiri rapi dengan panggung pelaminan pada bagian ujung depan. Sebagian besar kursi undangan menghadap panggung utama, sedangkan kursi lainnya berjajar memanfaatkan halaman rumah tetangga.