-o0o-
Silang pendapat soal zonasi marak, masyarakat awam beradu argumen. Kalau kita mau, bisa mencari jawaban dari sumber berkompeten. Termasuk saya lakukan, dengan hadir pada acara Nangkring Kompasiana bareng Kemendikbud, dengan narasumber Dr. Ir. Ari Santoso, DEA, Kabiro Komunikasi dan Layanan Masyarakat -- Kemendikbud.
(Acara semula "Kompasiana Prespektif bersama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI", menghadirkan Menteri Pendidikan Mujadjir Effendy, karena Pak Menteri ada keperluan mendadak, konsep acara dirubah menjadi Nangkring)
Otonomi artinya, Kemendikbud tidak bisa langsung menyentuh ke bawah (daerah). Tidak semua masalah pendidikan, bisa ditangani Kemendikbud secara langsung. Â 63 %Â anggaran pendidikan ditransfer ke daerah, sehingga daerah memiliki peran strategis dalam mengawal pendidikan di Indonesia sesuai UU No 23 tahun 2014. Kalau ada sekolah (misal) di Depok atau Tangerang rusak, sudah menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Terkait kebijakan zonasi, akan mendorong sebuah kelas lebih heterogen. Kreatifitas guru dituntut, untuk mendidik anak dengan tingkat kepintaran berbeda.
Selain mendekatkan lingkungan sekolah dengan tempat tinggal peserta didik, menghindari terjadinya ekslusifitas dan diskriminasi, membantu distribusi jumlah siswa  lebih berimbang.
Bagaimana kalau ada kasus, contohnya rumah saya di daerah Ciputat (masuk Provinsi Banten), tapi dekat dengan sekolah di Petukangan- Jakarta Selatan.
"Butuh koordinasi antar provinsi, antar kota dengan sangat intensif" Jelas Ari Santoso.
-0o0-
September- 2017- Alifia Kamelia, siswi kelas 4 SDN Karangrejo 3 Banyuwangi. Sejak masuk TK, gadis manis ini sudah mengenakan alat bantu dengar hingga saat ini. Besar harapan Ainur Joyo - ayah kandung Alifia-, agar anaknya bisa bersosialisasi dengan murid di sekolah umum. Â Si Ayah bertambah senang, mendapati guru dan teman di sekolah memahami kondisi buah hatinya.