Â
Bulan juli lalu, laman medsos saya mendadak riuh. Orang tua memposting kabar gembira (juga sedih), perihal keberhasilan (atau kegagalan) anaknya masuk sekolah dituju. Dua tahun belakangan, status di medsos dibarengi pro kontra pemberlakuan sistem zonasi.
Ya, sejak tahun 2017, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan zonasi dalam sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB). Targetnya pemerataan akses layanan pendidikan, sekaligus pemerataan kualitas pendidikan.
Sistem zonasi memungkinkan, siswa dengan tempat tinggal dekat sekolah, memiliki peluang lebih besar diterima di sekolah terdekat.
Saya dulu (saat SD, SMP) merasakan, keuntungan bersekolah dekat rumah. Berangkat dan pulang bisa jalan kaki, hemat biaya transportasi dan waktu tempuh lebih singkat. Kalau sehari saja hemat transport dan jajan, (misal) sepuluh ribu rupiah, kalau sebulan kan lumayan.
Tapi sekolah saya kan di daerah, jumlah sekolahan relatif sedikit. Â Berbeda dengan kota besar seperti Jakarta, Jumlah sekolah sampai ratusan. Sekolah tertentu menjadi ter-favorit-kan, tempat siswa dan guru berprestasi berkumpul.Â
Memang bagus saja ada sekolah favorit, pada sisi lain akan memicu terjadinya kesenjangan kualitas. Anak pintar yang tinggal di daerah (misal) Jakarta Selatan, pasti memilih sekolah favorit meskipun jauh di daerah  (misal) Jakarta Timur. Padahal banyak sekolah, ada di sekitar atau dekat rumah anak pintar tersebut.
Kebijakan sistem zonasi diambil, sebagai respon atas terjadinya 'kasta' dalam sistem pendidikan. Sehingga siswa-siswi pintar tersebar di setiap sekolah, memungkinkan sekolah punya kompetensi dan daya saing yang baik.
Namun, pemberlakuan zonasi, tidak serta merta menghapuskan SKTM (surat keterangan tidak mampu) dalam PPDB. Mengingat hal ini diatur dalam PP 66 tahun 2010, terdapat prosentase 20% siswa masuk melalui SKTM.
Rupanya celah ini (SKTM), dimanfaatkan orang tua mendadak memiskinkan diri. Ada kejadian lucu di lapangan, orang tua keceplosan ketika ditanya panita apakah membawa SKTM. "Sebentar ketinggalan di mobil," cetus si orang tua tidak sadar. Bayangan, orang memiliki SKTM tetapi punya mobil.
Bagaimana mengadukan kejadian di lapangan seperti ini? Baca sampai tuntas ya.
-o0o-
Silang pendapat soal zonasi marak, masyarakat awam beradu argumen. Kalau kita mau, bisa mencari jawaban dari sumber berkompeten. Termasuk saya lakukan, dengan hadir pada acara Nangkring Kompasiana bareng Kemendikbud, dengan narasumber Dr. Ir. Ari Santoso, DEA, Kabiro Komunikasi dan Layanan Masyarakat -- Kemendikbud.
(Acara semula "Kompasiana Prespektif bersama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI", menghadirkan Menteri Pendidikan Mujadjir Effendy, karena Pak Menteri ada keperluan mendadak, konsep acara dirubah menjadi Nangkring)
Otonomi artinya, Kemendikbud tidak bisa langsung menyentuh ke bawah (daerah). Tidak semua masalah pendidikan, bisa ditangani Kemendikbud secara langsung. Â 63 %Â anggaran pendidikan ditransfer ke daerah, sehingga daerah memiliki peran strategis dalam mengawal pendidikan di Indonesia sesuai UU No 23 tahun 2014. Kalau ada sekolah (misal) di Depok atau Tangerang rusak, sudah menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Terkait kebijakan zonasi, akan mendorong sebuah kelas lebih heterogen. Kreatifitas guru dituntut, untuk mendidik anak dengan tingkat kepintaran berbeda.
Selain mendekatkan lingkungan sekolah dengan tempat tinggal peserta didik, menghindari terjadinya ekslusifitas dan diskriminasi, membantu distribusi jumlah siswa  lebih berimbang.
Bagaimana kalau ada kasus, contohnya rumah saya di daerah Ciputat (masuk Provinsi Banten), tapi dekat dengan sekolah di Petukangan- Jakarta Selatan.
"Butuh koordinasi antar provinsi, antar kota dengan sangat intensif" Jelas Ari Santoso.
-0o0-
September- 2017- Alifia Kamelia, siswi kelas 4 SDN Karangrejo 3 Banyuwangi. Sejak masuk TK, gadis manis ini sudah mengenakan alat bantu dengar hingga saat ini. Besar harapan Ainur Joyo - ayah kandung Alifia-, agar anaknya bisa bersosialisasi dengan murid di sekolah umum. Â Si Ayah bertambah senang, mendapati guru dan teman di sekolah memahami kondisi buah hatinya.
Menurut Yayuk Prayuwati, Kepada sekolah SDN Karangrejo 3, penerapan sekolah inklusi  sudah berlangsung sejak delapan tahun silam.  Apalagi di daerah tersebut, cukup jauh jarak untuk mencapai Sekolah Luar Biasa (SLB). Seminggu sekali didatangkan guru SLB, memberi pelajaran tambahan kepada murid berkebutuhan khusus, serta bekerja sama dengan terapi dan psikolog anak.
(disarikan dari Kompas.com )
Pemberlakuan sistem zonasi, sangat mungkin sekolah umum menerima anak inklusi. Â Bisa jadi dari sekolah berat, menerima anak dengan penanganan khusus. Tentu ada pekerjaan tambahan, menciptakan situasi sekolah ramah terhadap anak istimewa tersebut. Bagi siswa umum, bisa melatih kepekaan menghargai teman berkebutuhan khusus.
"Bagi siswa inklusi bagus bagi perkembangan psikologisnya," tambah Ari santoso.
Melalui Kabiro Komunikasi dan Layanan Masyarakat, Mendikbud berharap, tahun ajaran baru 2019 tidak ada lagi orang tua kebingungan. Orang tua bisa mendaftarkan anak, di sekolah yang terdekat dengan rumahnya.
Terkait penyalahgunaan SKTM, memang seharusnya dibarengi dengan aturan lebih ketat. SKTM sebagai produk hukum, bagi yang menyalahgunakan bisa dijerat sanksi hukum.
Selanjutnya Pak Ari mengajak peran serta masyarakat, berpartisipasi dan atau melaporkan apabila ada pelanggaran di lapangan. Seperti mengetahui praktek jual beli kursi, menemui pungutan liar, atau mendapati orang tua murid berkecukupan, tapi memakai SKTM sebagai senjata.
Masyarakat bisa mengadukan, melalui ult.kemdikbud.co.id . Jangan lupa setiap laporan disertai bukti akurat, tidak sekedar bersumber katanya. Â "Setiap aduan dijamin identitas pelapor tidak bocor," imbuh Ari Santoso.
-0o0-
Saya mengoleksi novel 'Laskar Pelangi" karya Andrea Hirata, kisah tentang anak-anak nelayan  dan buruh tambang. Mereka bersekolah SD Muhamadiyah Belitung, hidup dalam keterbatasan ekonomi dan akses pendidikan. Keadaan tak mematahkan harapan, bercita-cita bisa sekolah ke luar negeri.
Novel Laskar Pelangi dibuat tetralogi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov. Khusus pada buku ketiga Edensor, dua tokoh bernama Ikal dan Arai akhirnya meraih beasiswa kuliah di Perancis.
Bagai mukjizat, betapa dahsyatnya mimpi dengan segala energi dan kekuatan. Pepatah"Emas akan tetap emas meski dalam kubangan lumpur," rasanya memang benar adanya.
Lima langkah Kemendikbud, sebagai tindak lanjut PPDB 2018 (sistem zonasi). Yaitu : 1. evaluasi Pelaksanaan zonasi 2018 ; 2. Mengumpulkan praktek baik pelaksanaan sistem zonasi di daerah ; 3. Pemerataan daya tampung (sekolah/ruang kelas) dengan jumlah populasi usia sekolah ; 4. Pemetaan dan perencanaan bantuan sarana dan prasarana ; 5. Analisis perhitungan kebutuhan, distribusi dan peningkatan kualitas guru (perencanaan guru) -- salam - Â Â