Mohon tunggu...
Agra Maritime
Agra Maritime Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Optimism Jokowi Diganjal Para Sengkuni, Kurawa & 'Pemuja' Pasar Bebas

1 Juli 2017   13:01 Diperbarui: 1 Juli 2017   13:55 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Video gagasan Revolusi Mental. ©2014 Merdeka.com

Pada suatu waktu, seorang sahabat mengatakan bahwa pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa atau kejadian dalam setiap  sejarah adalah; pertama,meletakkan peristiwa atau kejadian buruk dan atau salah menurut kemanusiaan yang berada sebagai sebuah peringatan agar tidak terulang lagi; dan kedua,meletakkan peristiwa atau kejadian baik dan atau bermanfaat sebagai pengetahuan yang harus diteruskan bagi kelangsungan hidup umat manusia beserta alam kehidupan dunia yang akan datang.

Seorang sahabat baik itu melanjutkan, ada sebuah kisah yang menurut sebagian besar masyarakat di seantero pulau Jawa hingga kepulauan Sunda Kecil cukup dikenang. Kisah itu, pada umum berangkat dari karya sastra Mahabarata yang kemudian banyak dikembangkan sesuai konteks daerah. Meski memiliki latar cerita sesuai dengan wilayah di sepanjang pulau Jawa dan kepulauan Sunda Kecil, tetapi ada kemiripan pesan yang disampaikan ketika muncul persoalan atau polemik dalam kisahnya. dalam konteks itulah kemudian pendekatan dalam menggali kelengkapan informasi melalui pendekatan 5 W + 1 H menjadi penting.

Misalnya, dalam kisah Mahabarata yang diungkap diatas, melalui pendekatan 5 W + 1 H kita dapat menemukan bagaimana karakter Patih Sengkuni dan bala Kurawa yang antagonis dan Pandhawa Lima yang protagonis. Sengkuni dan bala Kurawa adalah sosok yang selalu menggunakan siasat jahat untuk mewujudkan ambisinya. Sementara Pandhawa adalah sosok yang memiliki sifat ksatria, jujur, setia dan berwibawa.

Namun yang perlu menjadi catatan bersama, latar cerita dalam kisah mahabarata tersebut (meski banyak memberikan pelajaran buruk/peringatan dan pelajaran berharga bagi kehidupan modern) adalah kehidupan masyarakat era feodalisme yang belum menganut sistem demokrasi.

"Politik dan Ekonomi Liberal, Rakyat Belum Merdeka"

Sejak memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, negeri kepulauan yang dihubungkan oleh laut ini telah menyatakan diri menganut sistem demokrasi. Oleh karenanya, sejak berdirinya Republik Indonesia itu, pendirian partai politik dan organisasi masyarakat diberikan keleluasaan untuk berkembang. Bahkan dijamin oleh Konstitusi, UUD 1945.

Akan tetapi, demokrasi politik yang dijamin oleh UUD 1945 tersebut, dalam perjalanan sejarahnya memang membuka peluang munculnya kekuatan politik liberal yang tak jarang menyinggung atau mengusik atau menggunakan hal-hal sensitif yang mengandung SARA. Menurut pengamat politik militer, Salim Said, ketika hal-hal sensitif yang mengandung SARA dipakai sebagai strategi politik, itu sama saja dengan membuka 'pandora box' yang akhirnya menguras energi bangsa dalam kurun waktu panjang untuk memulihkannya kembali.

Kejadian serupa dengan situasi di Ibukota dalam kurun waktu sekitar 8 bulan Pilkada Jakarta kemarin, pernah muncul dan berkembang di era Soekarno giat melancarkan strategi non-kooperasi dengan negara-negara bekas penjajah. Provokasi-provokasi berbau SARA dan gerakan bersenjata yang melawan pemerintahan pusat terbukti banyak disokong oleh AS dan Inggris.

Perjuangan Pemerintahan RI untuk melakukan negoisasi utang-utang warisan Belanda dalam KMB, keberadaan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, dll; tak luput dari berbagai gangguan kekuatan politik luar negeri.

Pun demikian dengan ekonomi nasional kita hingga dewasa ini yang lebih banyak didominasi oleh modal-modal besar 'serakah' (juga banyak labrak amanat konstitusi), yang hanya 'sedot & keruk' sumber-sumber kehidupan rakyat, ketika ingin dikoreksi oleh Presiden Jokowi, mulai muncul berbagai gangguan dan provokasi berbau SARA di berbagai lini atau saluran komunikasi dan informasi yang berkembang.

Sementara itu, anggaran subsidi sosial sebagai bagian dari implementasi dari tanggungjawab negara sesuai amanat UUD 1945 pasal 28, 31, 33 dan 34, jika tak diawasi akan selalu menjadi alasan sebagai pemborosan/ tidak produktif sehingga harus dikurangi. Padahal, jika kita periksa secara seksama, pemotongan subsidi bagi barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan pemotongan subsidi sosial lainnya hanya dalih agar terjaganya pos pembayaran hutang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun