Mohon tunggu...
Agiska Melani Putri
Agiska Melani Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah Mahasiswi semester 3 jurusan PGMI di UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hubungan Toxic : Saatnya Melepas Demi Kesehatan Mental dan Pendidikan

20 September 2025   22:05 Diperbarui: 20 September 2025   22:05 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Kenapa masih dipertahankan kalau hanya membuatmu sakit?" Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana, tetapi jawabannya seringkali rumit. Banyak orang bertahan dalam hubungan toxic karena takut sendiri, khawatir tidak menemukan yang lebih baik, atau sekadar terjebak dalam rasa nyaman yang semu. Padahal, dari sudut pandang psikologi pendidikan, hubungan toxic justru bisa menjadi batu sandungan serius dalam proses belajar dan perkembangan diri.

Psikologi pendidikan menekankan pentingnya kondisi emosional yang stabil untuk mendukung konsentrasi, motivasi, serta prestasi akademik. Teori Hierarchy of Needs dari Abraham Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan akan rasa aman dan cinta adalah dasar penting sebelum seseorang bisa mencapai aktualisasi diri. Jika hubungan justru penuh konflik dan manipulasi, maka kebutuhan dasar itu tidak terpenuhi. Akibatnya, energi untuk belajar dan berkembang jadi tersumbat.

Selain itu, Vygotsky dengan teori social development menegaskan bahwa perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial. Artinya, lingkungan sosia termasuk pasangan seharusnya berfungsi sebagai support system yang membantu tumbuh kembang. Dalam konteks ini, pasangan yang toxic bukan hanya gagal menjadi pendukung, tapi malah menjadi hambatan yang menghalangi proses belajar.

Banyak mahasiswa atau pelajar mungkin pernah merasakan, ketika sedang ribut dengan pasangan yang toxic, tugas terasa berat, konsentrasi buyar, dan semangat belajar hilang. Energi yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan diri justru habis untuk memikirkan konflik yang tidak sehat. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berdampak pada rendahnya pencapaian akademik, kesehatan mental yang memburuk, dan kepercayaan diri yang terkikis.

Lalu bagaimana jika sudah terlanjur cinta? Inilah yang sering disebut "cinta itu buta dan tuli." Cinta bisa membuat seseorang menutup mata terhadap luka yang dialami, dan menutup telinga dari nasihat orang sekitar. Namun, sejatinya cinta yang sehat tidak buta dan tidak tuli. Cinta yang sehat membuka mata untuk melihat kebaikan dan kekurangan pasangan secara jujur, serta membuka telinga untuk saling mendengar dan bertumbuh bersama. Jika cinta justru menutup jalan untuk berkembang, maka itu tanda bahwa hubungan tersebut tidak lagi mendukung, melainkan merusak.

Karena itu, melepaskan hubungan toxic bukanlah tanda menyerah, melainkan keberanian untuk mencintai diri sendiri lebih dulu. Dengan melepas, seseorang memberi ruang untuk tumbuh, fokus kembali pada pendidikan, serta membuka peluang bertemu dengan lingkungan sosial yang lebih suportif. Dalam psikologi pendidikan, support system yang sehat adalah fondasi penting. Artinya, jika pasangan tidak bisa menjadi bagian dari support system, lebih baik berpisah daripada terus terjebak dalam lingkaran yang melemahkan diri.

Pendidikan sejatinya bukan sekadar soal nilai dan ijazah, tetapi perjalanan panjang membentuk manusia yang tangguh, sehat mental, dan berkarakter. Hubungan toxic hanya akan menjadi penghalang. Maka, ketika cinta berubah menjadi beban, langkah terbaik adalah melepaskan.

Ingatlah, cinta sejati tidak buta dan tidak tuli. Ia melihat dengan jernih, mendengar dengan hati, dan tumbuh bersama tanpa melukai. Jika sebuah hubungan menghalangi pendidikan dan kesehatan mentalmu, beranilah berkata: aku layak untuk bahagia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun