Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilkada 2020 Ditunda, Saatnya KPU Mencoba E-Voting?

8 April 2020   07:20 Diperbarui: 9 April 2020   08:40 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilihan elektronik. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Beberapa bulan mendatang, tepatnya September 2020 Indonesia akan mengadakan hajatan demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Namun, even tersebut sepertinya harus ditunda terkait masih merebaknya pandemi covid-19 di Indonesia yang entah sampai kapan akan berakhir. 

Fokus perhatian pemerintah sepenuhnya tercurah pada penanganan pandemi, demikian juga alokasi anggaran diutamakan untuk meanggulangi semua efek yang ditimbulkannya. 

Sehingga, keputusan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu lalu adalah menyatakan bahwa pilkada akan ditunda sampai waktu yang belum ditentukan.

"Untuk pilkada serentak 2020 ini kita hampir pasti tidak bisa menerapkan konsep vote from home baik itu dengan pemanfaatan big data E-KTP ataupun dengan cara mengirim surat suara sebagaimana yang diusulkan di AS." 

Sebuah keputusan yang bisa dibilang tepat mengingat saat ini pemerintah tengah juga menggalakkan kebijakan physical distancing atau social distancing. Di rumah saja. 

Padahal selama ini ajang pemilihan umum dilakukan dengan memfokuskan pada titik tertentu, berkumpul, berkelompok. Sesuatu yang terbilang "haram" dilakukan pada masa pandemi virus seperti sekarang ini. 

Akan tetapi bagaimanapun juga hak masyarakat untuk berdemokrasi tetap harus mendapatkan porsi yang semestinya meski tengah berada dalam situasi pandemi. 

Menunda adalah opsi yang rasional untuk diambil, karena tidak menghilangkan hak untuk memilih warga negara. Sebatas dialihkan pada waktu yang lain. Konsekuensinya tentu "pemoloran" periode masa jabatan kepala daerah yang menjadi tidak tepat waktu.

Dalam ranah birokrasi situasi ini tentu memberikan dampak tertentu, biarpun hal itu sebenarnya harus dimaklumi mengingat saat ini kesehatan dan keselamatan warga negara adalah yang terpenting. 

Bahkan seandainya pun hajatan demokrasi tetap dipaksakan berjalan pada waktu yang ditentukan, maka hasilnya mungkin akan sangat jauh dari harapan. 

Jika memperhatikan rilis informasi yang dilakukan oleh Google dengan covid-19 Community Mobility Report Tracker, sebagian besar warga negara di dunia cenderung lebih kerasan di rumah.

Hasrat untuk mengunjungi tempat "vital" seperti berbelanja ke supermarket atau membeli obat ke toko farmasi pun sudah sangat jauh berburang. Mereka lebih memilih opsi membeli secara online, dan barang kebutuhan dikirim di rumah tanpa mereka harus melakukan kontak dengan banyak orang. 

Bukan tidak mungkin hal ini akan membuat bilik suara sepi pengunjung atau bahkan kosong meompong dari para warga yang hendak memberikan suaranya selama masa pilkada. 

Seandainya memang harus dilakukan pilkada sesuai waktu yang ditentukan sebelumnya maka jalan keluarnya hanya satu, "Vote From Home". Memilih dari rumah atau e-vote.

Vote From Home
Wacana terkait pemilihan "jarak jauh" sebenarnya sudah digulirkan oleh negara lain seperti Amerika Serikat (AS). Mereka menyebutnya vote by mail atau memilih lewat surat. 

Kebetulan AS akan mengadakan Pemilu Presiden pada bulan November 2020 mendatang. Demi mengupayakan pemilihan bisa dilakukan tepat waktu maka Partai Demokrat menyerukan agar surat suara disebar merata untuk kemudian dipilih dan dikumpulkan kembali kepada komisi pemilihan AS melalui pengiriman via pos atau sejenisnya. 

Meskipun hal ini masih mendapatkan pertentangan dari kubu Partai Republik setidaknya gagasan terkait memilih dari jauh ini merupakan opsi yang paling realistis ditempuh untuk menunaikan hajatan pemilu di tengah pandemi virus. 

Bagi negara sebesar AS tentu menjadi masalah tersendiri tatkala pesta demokrasi sebesar pemilu presiden harus tertunda. Sehingga opsi vote from home dinilai sebagai jalan keluar yang efekitf.

Pandemi telah memaksa kita untuk berfikir dan bertindak diluar kebiasaan. Bahkan Indonesia termasuk "lupa" mempertimbangkan kemungkinan efek pandemi yang sampai harus membuat hajatan pilkada serentak tertunda. Karena sejauh ini keputusan penundaan pilkada serentak sampai batas waktu yang belum ditentukan itu masih "mengambang". 

Belum ada payung hukum yang kuat untuk mengayomi keputusan Rapat Kerja / Rapat Dengar Pendapat antara Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait penundaan pilkada. 

Undang-undang pilkada yang ada saat ini belum ada yang mampu menjawab situasi pandemi yang berimbas pada penundaan pilkada serentak.

Langkah paling mungkin adalah mendorong presiden untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang statusnya setara dengan undang-undang pilkada yang berlaku.

Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan nantinya terkait keabsahan hasil pilkada yang dilakukan diluar kebiasaan. Penundaan pilkada oleh karena pandemi membutuhkan dasar hukum jelas agar sengketa birokrasi tidak timbul di kemudian hari.

Namun sebenarnya Indonesia memiliki opsi lain terkait dengan hal ini. Melakukan yang mirip dengan "cara Amerika Serikat". Vote From Home. 

Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa menerapkan hal ini bisa jadi membutuhkan persiapan yang jauh lebih kompleks. Karena gagasan sederhana vote from home tidaklah sesederhana implementasinya. 

Banyak faktor risiko yang mesti diperhatikan. Dengan fokus yang terpecah karena penanganan situasi pandemi, sudah barang tentu energi yang tercurahkan untuk menata konsep vote from home tidak maksimal. Salah-salah justru semakin amburadul.

Peran E-KTP dan "Big Data"
Kalau bisa dibilang sebenarnya kita memiliki peluang yang cukup besar untuk menerapkan gagasan vote from home ini dengan cara yang lebih canggih ketimbang mencoblos/mencontreng surat suara dari rumah lalu dikirim via pos. 

Sekarang adalah era teknologi, era digitalisasi. Hal inilah yang sebenarnya bisa kita berdayakan untuk menunjang vote from home dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Tanpa surat suara tercetak alias paperless. Bagaimana mekanismenya?

Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) adalah kunci utama basis data dari setiap warga negara. Segenap informasi penting tentang data diri seseorang semestinya tertuang disana. Nama, alamat, tempat tanggal lahir, telepon, email, jenis kelamin, dan bahkan sidik jari atau tanda tangan. 

E-KTP bisa mencari "kode unik" masing-masing orang dalam mengakses informasi penting perihal negara ini. Salah satunya yaitu menyalurkan suara pemilihan pada masa pemilihan umum.

Dengan didukung aplikasi yang mumpuni, sumber data yang terlindungsi, server yang kompeten, serta tingkat kemanan data yang tinggi maka vote from home dengan satu "klik" saja bukan mustahil lagi untuk dilakukan. 

Cukup satu "jentikan jari" tanpa antre, tanpa berdesakan, tanpa bergerombol, tanpa keharusan menjaga jarak, dan tanpa khawatir terpapar virus dari orang lain di sekitar. Semua seakan menjadi lebih praktis.

Hanya saja gagasan ini membutuhkan sumber data dan sumber dana yang tidak sedikit untuk menunjang kesiapan mekanisme pemilihan via online. 

Terlebih juga akses teknologi informasi masih belum merata ke segala penjuru negeri. Jikalau seluruh warga negara sudah bisa mengakses internet dengan gampang, dan tidak hampir seluruh warga negara dengan hak pilih tidak gagap teknologi maka vote from home berbasis digital ini sangatlah mungkin untuk dilakukan.

Pandemi Covid-19 Mungkin Bukan yang Terakhir
Dalam berbagai pemaparan yang dilakukan oleh para ahli kesehatan, pakar epidemiologi, dan lain-lain menyebutkan bahwa situasi seperti sekarang ini bisa jadi bukan yang akan terakhir terjadi. Masih sangat mungkin pada waktu-waktu mendatang "badai" serupa akan datang. 

Virus dari keluarga corona jumlahnya tidak satu atau dua. Tapi cukup banyak. SARS sudah terlebih dahulu menyerang manusia beberapa tahun lalu. Kini giliran Covid-19 yang melanda. 

Bahkan jauh lebih luar biasa dampaknya. Sangatlah mungkin untuk muncul ancaman serupa di kemudian hari. Bill Gates sudah memperingatkan. Sehingga mau tidak mau kita semua pun harus bersiap agar tidak kedodoran lagi seperti sekarang. Termasuk dalam hal pemilu.

Big data pemanfaatan E-KTP adalah peluang besar yang sebenarnya tidak hanya membantu pelaksanaan tatacara pemilu dengan lebih modern, akan tetapi juga sangat berperan dalam melakukan kontrol terhadap penanganan pandemi itu sendiri (baca: Urgensi "Big Data" dalam Mengatasi Pandemi Virus). 

Untuk pilkada serentak 2020 ini kita hampir pasti tidak bisa menerapkan konsep vote from home baik itu dengan pemanfaatan big data E-KTP ataupun dengan cara mengirim surat suara sebagaimana yang diusulkan di AS. 

Satu-satunya jalan adalah menunda periode pemilihan atau memundurkannya. Dan ini adalah sebuah indikasi bahwa kita, khususnya pemerintah terkait harus berfikir lebih maju untuk bergerak selaras dengan tuntutan zaman.

Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi: [1]; [2]; [3]; [4]; [5]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun