Beberapa waktu lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sudah memaparkan empat program kebijakan pokok pendidikan di periode kepemimpinannya.Â
Mas Nadiem, sapaan akrab baru beliau, menyampaikan konsep Merdeka Belajar terkait perubahan sistem Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).Â
Perihal PPDB sendiri sebenarnya Mas Nadiem masih "menganut" konsep zonasi sebagaimana yang diinisiasi oleh Mendikbud terdahulu.Â
Namun yang sedikit memantik kontroversi adalah sistem zonasi ala Mas Nadiem justru dianggap mengembalikan "era kasta-kasta" sekolah seperti yang dulu pernah terjadi. Bagaimana bisa?
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menilai bahwa penerapan sistem zonasi dengan proporsi kuota jalur prestasi mencapai angka 30% sebagai bentuk kemunduran sistem pendidikan.Â
Menurut beliau, penambahan kuota ini hanya akan membuat pemerataan pendidikan yang diupayakan selama ini menjadi sia-sia belaka.
Sebagai perbandingan, pada sistem zonasi yang saat ini berlaku porsi untuk jalur prestasi hanya sekitar 15% saja. Apakah ini artinya Mas Nadiem menolak adanya sistem zonasi? Atau mungkinkah sistem zonasi ini hanya dijalankan setengah hati saja?
Hal ini memang sangat mungkin terjadi setiap kali kebijakan baru diterapkan.Â
Masyarakat masih membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri. Hanya saja memang kekhawatiran publik itu harus tetap diperhatikan serta diberikan konfirmasi yang memuaskan.
Kembali terkait kebijakan baru sistem zonasi oleh Nadiem Makarim yang dipertanyakan beberapa kalangan, hal ini sebenarnya masih patut diperdalam lagi serta dilakukan konfirmasi ulang kepada mas menteri.Â
Mas Nadiem dalam memberikan pernyataan bahwa jalur prestasi mendapatkan porsi dengan range 0-30%. Ini artinya ada kemungkinan bahwa jalur prestasi tidak mendapatkan porsi sama sekali.
Secara lengkapnya, Mas Nadiem memberikan penjabaran terkait PPDB zonasi ini yaitu proporsi minimal 50% untuk jalur zonasi, minimal 15% untuk jalur afirmasi, maksimal 15% jalur perpindahan, serta 0-30% untuk jalur prestasi yang disesuaikan dengan kondisi daerah. Sehingga tidak ada fiksasi terkait porsi jalur prestasi ini.
Semua disesuaikan dengan kondisi yang ada di daerah. Sepertinya hal ini perlu dijabarkan lebih lanjut dan lebih detail lagi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) khususnya kepada IGI dan pihak-pihak terkait.Â
Masyarakat selaku "objek" utama sistem pendidikan mesti diberikan pemahaman yang memadai agar tidak salah tafsir.
Kekhawatiran IGI cukup beralasan jikalau memang jalur prestasi mencapai rentang atas pada proporsi yang ditentukan pada PPDB zonasi.Â
Mas Nadiem mesti bijak menyikapi hal ini bahwa ada semangat penting perihal pemerataan pendidikan yang diusung oleh pelaku pendidikan era sebelumnya.
Mas Nadiem tidak boleh mengabaikan aspek pemerataan pendidikan ini atas nama kemerdekaan belajar. Justru pendidikan harus bisa dinikmati secara adil oleh segenap putra-putri bangsa ini.Â
Bukan saatnya lagi yang pintar semakin pintar dengan dukungan fasilitas mumpuni dari beberapa institusi pendidikan tertentu, sedangkan sebagian yang lain harus rela gigit jari gagal menikmati fasilitas pendidikan bermutu oleh karena mereka "dianggap" tidak terlalu cerdas.Â
Justru tujuan pendidikan adalah mencerdaskan yang kurang cerdas sehingga menjadi lebih cerdas dan cakap.
Jangan sampai gagasan Merdeka Belajar ini hanya menjadi sebuah slogan semata tapi minim esensi.Â
Bagaimanapun juga, kemerdekaan dalam belajar yang sesungguhnya adalah ketika segenap warga negara bisa menikmati layanan pendidikan secara layak dimanapun mereka berada serta bagaimanapun kondisi mereka.Â
Jika sudah demikian, maka patutlah kita menyebut bahwa sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang berkeadilan.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :Â [1] ; [2] ; [3] ; [4]