Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Air dan Kehidupan Setelahnya

5 September 2019   08:01 Diperbarui: 6 September 2019   09:43 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Air merupakan salah satu sumber kehidupan yang berharga | Ilustrasi gambar : pixabay

Seorang Raja Mesir pernah bermimpi melihat 7 ekor sapi betina gemuk yang dimakan oleh 7 sapi betina kurus serta tujuh bulir gandum hijau dan 7 bulir gandum kering. 

Mimpi yang dirasa aneh oleh Sang Raja ini kemudian dicari tahu maknanya kepada para penafsir mimpi. Hingga pada akhirnya Sang Raja bertemu dengan Nabi Yusuf AS yang dikenal mahir dalam menjelaskan mimpi seseorang. Sang Nabi kemudian memberikan penjelasan perihal mimpi Sang Raja ini. 

Beliau menyampaikan bahwa mimpi itu merupakan peringatan bagi penduduk Mesir agar bercocok tanam selama tujuh tahun. Setelah dipanen, penduduk Mesir harus menyimpan dengan baik-baik hasil panenannya serta makan secukupnya saja dan tidak berlebihan. 

Karena selepas periode masa panen itu akan tiba masa paceklik panjang yang berlangsung hingga tujuh musim. Persediaan pangan akan terkuras habis pada masa itu. Baru kemudian akan tiba kembali masa dimana semua kembali normal seperti sedia kala.

Kekeringan dan Krisis Air Bersih

Kisah penduduk Mesir yang hidup pada musim paceklik tersebut setidaknya menyimpan beberapa pelajaran berharga yang bisa kita ambil hikmahnya, khususnya dalam menjalani hidup di era modern ini.

 Saat ini kita hidup dengan kondisi alam yang sudah sangat jauh berbeda dengan beberapa tahun lalu. Polusi sudah meningkat demikian pesat, kondisi iklim sudah tidak menentu, dan musim berlalu dengan samar. 

Beberapa wilayah padat penduduk saat musim kemarau datang mengalami kekeringan dan kesulitan air bersih. Namun pada saat musim hujan tiba justru mengalami kebanjiran. Musim hujan ataupun kemarau seharusnya mampu menghadirkan suka cita bagi masyarakat. Terlebih bagi kita orang Indonesia yang hidup dengan dua musim ini.

Selama periode waktu musim kemarau ini sebenarnya kita dihadapkan permasalahan terkait kekeringan dan krisis air bersih yang terjadi di beberapa tempat. Pemukiman padat penduduk sudah banyak yang sumurnya mengering. 

Kehadiran musim hujan mendatang diharapkan benar-benar menjadi rahmat bagi kita semua. Terutama dalam memberikan solusi masalah kekeringan yang terjadi saat ini. 

Kehadiran musim hujan harus benar-benar dimanfaatkan untuk "menabung" dan menyimpan sebanyak mungkin pasokan air tanah. Sehingga jumlahnya mencukupi untuk mengisi air tanah yang kelak menjadi harapan dikala tiba musim kemarau.

Berdasarkan perkiraan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), untuk wilayah padat penduduk seperti DKI Jakarta ataupun Jabodetabek, musim hujan kemungkinan akan segera tiba pada bulan Oktober atau November 2019 mendatang. 

Meski untuk beberapa daerah sebenarnya saat ini sudah ada yang mulai turun hujan. Selama ini, ketika musim hujan tiba, pasokan air yang melimpah seolah tersia-siakan begitu saja. 

Menurut catatan sains.kompas.com, pada tahun 2013 saja diperkirakan 72% air hujan di wilayah perkotaan terbuang percuma. Sedangkan dari data dinas Pemerintah DKI Jakarta sendiri, hanya sekitar 13% air hujan yang terserap ke dalam tanah, 20% menguap dari tanaman, dan sekitar 67% terbuang begitu saja ke sungai atau laut. 

Dengan kata lain, semakin banyak air hujan yang terbuang sia-sia. Sedangkan pada saat yang lain kita justru mengalami krisis air. Sungguh sebuah ironi.

Kesadaran Mengelola Pasokan Air
Ketika Raja Mesir memahami maksud dari tafsir mimpi yang disampaikan oleh Nabi Yusuf AS, dia lantas memerintahkan rakyatnya untuk bercocok tanam dengan sebaik mungkin dan menyimpan hasil panenannya itu dengan sebaik-baiknya. 

Ia juga memerintahkan rakyatnya supaya hidup lebih hemat, terutama dalam hal mengonsumsi makanan agar secukupnya saja.

Sekarang ini kita dihadapkan pada situasi yang hampir mirip. Meski tidak dalam kondisi ekstrim akan hadirnya masa paceklik panjang sebagaimana kisah Raja Mesir dan Nabi Yusuf AS tadi. 

Peristiwa kekeringan dan krisis air yang beberapa waktu terakhir sering kita lihat pemberitaannya adalah peringatan bagi kita supaya bersiap untuk situasi dan kondisi serupa dimasa yang akan datang. 

Pada saat menjelang datangnya musim penghujan inilah kesempatan kita untuk bersiap sebagaimana penduduk Mesir yang bersiap "menyambut" musim paceklik berkepanjangan. 

Ketika hujan turun nanti kita mesti mengelolanya sedemikian rupa sehingga ia menjadi "perbekalan" yang mencukupi saat nanti hidup di musim kemarau.

Saat ini, beberapa daerah seperti DKI Jakarta tengah menggalakkan gerakan menabung air melalui sistem drainase vertikal. Sistem drainase vertikal ini memanfaatkan limpahan air hujan yang kemudian ditampung kedalam sebuah lubang seperti sumur yang berfungsi untuk menyimpan air. 

Sistem drainase vertikal ini diharapkan mampu menyimpan sejumlah air limpahan hujan agar tidak langsung terbuang percuma ke sungai dan ke laut. 

Bahkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menyatakan bahwa sistem drainase vertikal ini juga berfungsi penting untuk menanggulangi permasalahan banjir yang selama ini menjadi "momok" kota padat penduduk seperti Jakarta dan sekitarnya.

Sumur Resapan atau Sistem Drainase Vertikal | Sumber gambar : https://timur.jakarta.go.id/
Sumur Resapan atau Sistem Drainase Vertikal | Sumber gambar : https://timur.jakarta.go.id/
Antara Menabung, Berhemat, dan Investasi Air

Adalah sebuah fakta bahwa kita hidup tidak terpisahkan dari air. Komposisi tubuh kita sebagian besar tersusun atas unsur air. Orang-orang bisa bertahan hidup cukup lama tanpa makan, tetapi belum tentu tanpa minum. 

Kehidupan sehari-hari kita pun tidak terlepas dari air. Mencuci, mandi, menyiram tanaman, bahkan membangun gedung atau rumah sekalipun kita butuh air. Air adalah elemen penting yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya.

Sesuatu terasa begitu berharga justru disaat ia tidak ada atau langka keberadaannya. Orang-orang yang hidup di padang pasir lebih memilih sekantong air daripada seonggok emas permata. 

Kelangkaan air adalah bencana yang ingin dihindari semua orang. Oleh karena itu harus ada langkah-langkah bijak agar supaya pasokan air itu tetap terjaga dalam situasi apapun dan kapanpun.

Gerakan menabung air seperti membuat sistem drainase vertikal bisa dibilang sebagai langkah yang tepat untuk menjaga pasokan air. Sistem ini tidak akan optimal apabila berjalan parsial. 

Harus ada kolektivitas dari segenap elemen masyarakat mulai dari bawah hingga atas. Setiap rumah hendaknya mendukung penuh gerakan ini karena melihat sisi manfaatnya yang luar biasa. Bayangkan apabila setiap warga Indonesia bertindak serupa dalam upaya menabung air. Niscaya krisis air bersih bisa dihindari.

Namun, seperti halnya seseorang yang menabung uang kemudian dihambur-hamburkan, maka upaya menabung air menjadi tidak bermanfaat apabila tidak ada kebijaksanaan dalam memanfaatkan air. Penggunaan air haruslah dilakukan secara hemat sehingga kita mampu melewati masa-masa sulit air dengan aman dan nyaman.

 Setelah menabung air kita lakukan, hal itu harus diimbangi juga dengan tindakan menghemat air. Menggunakan air seperlunya saja, dan tidak menghambur-hamburkannya.

Bagaimanapun juga, selamanya kita tetap akan butuh air. Permasalahannya, apakah situasi dan kondisi dimasa yang akan datang masih memudahkan kita untuk mendapatkan pasokan air bersih secara layak? Memang kita harus menjaga kebiasaan menabung dan menghemat air.

 Akan tetapi kebutuhan air yang terus meningkat membuat "ruang gerak" kita dalam mempergunakan air semakin sempit. Tidak menutup kemungkinan demi menghemat air seseorang yang biasanya mandi 2 kali sehari menjadi 2 hari sekali. 

Kondisi ini tentunya tidak ideal untuk terus dipertahankan dalam waktu lama. Harus ada langkah lanjutan untuk menghadirkan pasokan air yang mencukupi kebutuhan masyarakat secara jangka panjang. Dan hal ini hanya mungkin terjadi apabila kita mendorong investasi terkait penyediaan air.

Air tanah tidak bisa selalu terus diandalkan. Kita harus melihat potensi dimana air dalam jumlah besar tersimpan. Hanya ada satu kemungkinan tempat terkait hal ini, yaitu lautan. 

Laut adalah sumber air tak terbatas dan menjadi muara dari seluruh aliran sungai. Bahkan komposisi bumi kita sebagian besar diantaranya adalah lautan. Oleh karena itu sumber air tak terbatas ini hendaknya dimanfaatkan sebagai fokus investasi penyediaan air dimasa depan.

Tantangan Teknologi Penyulingan Air Laut

Arab Saudi merupakan salah satu negara di dunia yang pasokan air bersihnya mengandalkan hasil penyulingan air laut. Instalasi penyulingan air Ras Al Khair memiliki kapasitas sekitar satu juta meter kubik air per hari (kbr.id, 2016), dan menjadi pemasok utama kebutuhan air masyarakat di Arab Saudi termasuk para jamaah haji. Namun teknologi ini tidak bisa dibilang murah. 

Misalnya instalasi penyulingan air laut milik Australia yang dibangun di Sydney beberapa tahun lalu menelan biaya mencapai 2 miliar dolar Australia atau Rp 19,2 triliun rupiah (kurs 1 dollar Australia = Rp 9.600).

 Secara hitung-hitungan bisnis pun penyulingan air laut untuk saat ini masih belum bisa dikatakan menguntungkan. Contohnya adalah pada instalasi penyulingan air laut milik Australia di Sydney tersebut yang dibangun dengan tujuan mengatasi bencana kekeringan parah sekitar tahun 2010 yang lalu. 

Namun pada tahun 2012 saat hujan kembali turun dan mengakhiri periode kekeringan di negara tersebut, instalasi penyulingan air laut pun seakan terlupakan karena Australia lebih mengandalkan pasokan air dari bendungan yang sengaja mereka buat untuk menampung sebanyak mungkin air hujan.

Alat penyulingan air laut | Sumber gambar : https://wartakota.tribunnews.com
Alat penyulingan air laut | Sumber gambar : https://wartakota.tribunnews.com
Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi bangsa kita apabila ingin menerapkan teknologi instalasi penyulingan air laut. Biaya yang tidak murah tentu akan memunculkan banyak kendala dalam implementasinya. 

Barangkali untuk saat ini teknologi penyulingan ini masih cukup sulit dijangkau, terlebih pasokan air juga masih bisa dicukupi dari sumber air tanah atau pengolahan air sungai. Hujan juga masih "menyapa" negera kita setiap tahunnya.

Perlu kita ingat bahwa kondisi alam kita sudah sangat jauh berbeda dibandingkan ketika ia masih "muda" dulu. Saat ini polusi dimana-mana, lapisan ozon berlubang-lubang, dan pepohonan sebagai penyimpan air juga terus tergerus jumlahnya. 

Mau tidak mau kondisi ini suatu saat akan membawa kita menuju masa dimana pasokan air bersih terasa lebih berharga daripada biasanya. 

Mumpung saat ini pasokan air masih cukup mampu memenuhi setiap kebutuhan kita, maka alangkah baiknya apabila riset-riset untuk membuat sistem pengolahan air laut menjadi air layak minum agar lebih digalakkan. 

Diharapkan nantinya akan lahir sistem penyulingan air yang lebih efektif, efisien, dan tentunya lebih murah dalam pembiayaan. Hal itu masih sangat mungkin terwujud. Selain itu, jangan lupakan juga "alat" penyimpan air alami yaitu pepohonan yang mesti terus dijaga pelestariannya.

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi :

[1]; [2]; [3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun