Mohon tunggu...
agam kurniawan
agam kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Pamulang

Mahasiswa akuntansi perpajakan yang tertarik pada dunia kebijakan publik dan isu generasi muda. Menulis untuk menyuarakan pemikiran dan membuka ruang dialog.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Fenomena #KaburAjaDulu dan Realitas Ketenagakerjaan Indonesia

28 Juni 2025   10:00 Diperbarui: 28 Juni 2025   09:42 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena #KaburAjaDulu dan Realitas Ketenagakerjaan Indonesia

“Pergi dulu, pikir belakangan?”


Mengapa Tagar #KaburAjaDulu Viral?

Akhir-akhir ini, linimasa media sosial, khususnya X (dulu Twitter), ramai dengan tagar #KaburAjaDulu. Ungkapan ini bukan sekadar candaan, tapi cerminan dari keresahan banyak anak muda Indonesia terhadap dunia kerja yang mereka hadapi: gaji minim, pekerjaan tidak sesuai bidang, dan tekanan hidup yang tak kunjung reda.

Bukan satu-dua yang merasa begini. Mulai dari fresh graduate hingga mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja pun turut mempertimbangkan pilihan yang sama: "Apa mungkin kalau kerja di luar negeri, hidup bisa lebih baik?"


Apa Kata Statistik?

Sebelum kita ikut-ikutan "kabur", mari tengok kondisi nyata di tanah air berdasarkan data BPS terbaru (2025):

  • Pertumbuhan ekonomi: 5,03% di 2024 (stabil, tapi belum spektakuler).
  • Tingkat kemiskinan: 8,57% per September 2024 (turun, tapi tetap ada 24 juta orang miskin).
  • Tingkat pengangguran terbuka (TPT): 4,76% per Februari 2025 (menurun).
  • Rata-rata upah buruh: Rp3,09 juta per bulan.

Secara angka, semuanya terlihat membaik. Tapi realitas di lapangan berkata lain: lulusan S1 atau bahkan S2 banyak yang menjadi ojek online, kasir, hingga admin freelance. Ini pertanda jelas: ada mismatch antara pendidikan, keterampilan, dan lapangan kerja yang tersedia.


Sisi Pro: Kenapa Banyak yang Memilih "Kabur"?

1. Peluang Kerja Nyata di Luar Negeri

Negara seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, hingga negara-negara Timur Tengah kini membuka pintu lebar bagi tenaga kerja Indonesia. Misalnya:

  • Jepang: Program Specified Skilled Worker (SSW) untuk perawat lansia, manufaktur, konstruksi, dll.
  • Korea Selatan: Program Employment Permit System (EPS).
  • Australia: Program pekerja musiman di sektor pertanian.

2. Gaji Jauh Lebih Tinggi

Negara

Kisaran Gaji/Bulan

Jepang

¥150.000–¥250.000 (~Rp16–27 juta)

Korea Selatan

KRW 1,8–2,2 juta (~Rp20–25 juta)

Australia

AUD 3.000–4.000 (~Rp30–40 juta)

Indonesia

Rp3,09 juta (rata-rata)

Tak heran jika banyak yang merasa kerja di luar negeri adalah jalan keluar untuk hidup yang lebih sejahtera.

3. Dampak Positif: Dari Remitansi ke Skill

Uang yang dikirim pekerja migran (remitansi) menjadi penyumbang ekonomi nasional. Banyak yang pulang dengan tabungan, bangun rumah, buka usaha. Di sisi lain, mereka juga pulang dengan soft skill dan hard skill yang jauh meningkat.


Sisi Kontra: Apa Risiko di Balik “Kabur”?

1. Risiko Sosial & Hukum

  • Jauh dari keluarga = risiko kesepian dan tekanan mental.
  • Masih ada modus TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) dan penipuan agen ilegal.
  • Biaya keberangkatan bisa memberatkan calon pekerja jika tak direncanakan dengan matang.

2. Perlindungan Masih Perlu Diperkuat

Meski pemerintah melalui BP2MI dan Kemnaker sudah memberikan pelatihan, asuransi, hingga hotline pengaduan 24 jam, pada praktiknya belum semua pekerja benar-benar terlindungi. Edukasi tentang hak dan kewajiban pun masih perlu terus ditingkatkan.


“Kabur” Bukan Solusi Semua Orang

Fenomena #KaburAjaDulu bisa jadi sinyal alarm: sistem ketenagakerjaan kita butuh reformasi menyeluruh. Pemerintah tak cukup hanya bangga dengan angka statistik, tapi juga harus:

  • Mendorong penciptaan lapangan kerja yang berkualitas.
  • Meningkatkan link and match antara pendidikan dan industri.
  • Menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja migran.


Bagi yang ingin bekerja di luar negeri, pastikan:

  •  Gunakan jalur resmi dan agen legal (terdaftar di BP2MI).
  •  Pahami hak dan kewajiban sebagai pekerja migran.
  • Siapkan mental, fisik, dan finansial secara matang.


Pergi dengan Persiapan, Bukan Pelarian

Bekerja di luar negeri bisa menjadi lompatan hidup—asal dilakukan dengan persiapan matang dan informasi yang benar. Tapi jangan sampai kita terjebak dalam ilusi bahwa "kabur" selalu lebih baik. Yang terpenting adalah di mana pun kita bekerja, pastikan kita tetap punya kontrol atas hidup dan masa depan kita sendiri.

Referensi:

  • BPS (2025): Data pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pengangguran, dan upah.
  • BP2MI, Kemnaker: Informasi program dan perlindungan pekerja migran.
  • Data program migrasi tenaga kerja: SSW (Jepang), EPS (Korea), Seasonal Worker (Australia), dll.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun