Mohon tunggu...
Afzar Harianja
Afzar Harianja Mohon Tunggu... Lainnya - ASN

SHIVADAS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kerukunan Umat Beragama dan Kesadaran Bernegara

27 April 2024   17:31 Diperbarui: 27 April 2024   17:31 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

DAN KESADARAN BERNEGARA

Kerukunan perlu dibicarakan dan diupayakan karena adanya perbedaan. Sebab iu, setiap orang yang berbicara tentang kerukunan haruslah menerima perbedaan. Menerima Perbedaan, dan menerimanya dengan sepenuh hati merupakan prasyarat bagi kerukunan. Tanpa penerimaan seperti itu, kerukunan hanyalah sebuah wacana. la tak akan mewujud menjadi kenyataan.


Pertikaian antara Umat Beragama yang masih sering terjadi, semata karena tidak adanya penerimaan. Kita belum membuka diri terhadap perbedaan. Belum cukup mengapresiasi perbedaan.


Kenapa?

Karena masih adanya rasa iri di daam diri kita: Jumlah Umatku tidak bertambah, sementara jumlah umat dia bertambah. Karena adanya kompleks superioritas: Agamakulah yang terbaik. Kemudian, terjadilah persaingan. Dan, persaingan benih bagi pertikaian, pertengkaran- perang.

Setiap agama menerima kedamaian sebagai nilai luhur. Nilai Kemanusiaan yang Tertinggi. Damai dengan manusia, Damai dengan Alam Semesta, dan Berdamai dalam Tuhan, dalam Kasih-Nya. Namun, adalah kenyataan yang tak dapat dinafikan pula bahwa agama lebih sering menjadi, atau dijadikan alasan untuk berperang. Para pelaku agama, para praktisi agama sering melupakan tujuan mereka beragama.


Penganut agama "X" menganggap agamanya terbaik Seorang pemikir membenarkan anggapan seperti itu: "Tidaklah salah bila seseorang bersikap fanatik seperti itu terhadap agamanya."

Saya berkata: "Salah!"

Fanatisme seperti itu menjadi benih bagi perpecahan. Fanatisme seperti itu muncul dari arogansi kita. Lebih parah lagi, dari ketidaktahuan kita tentang ajaran agama-agama lain, Setiap orang yang mendalami ajaran agama-agama dengan pikiran jernih dan perasaan tulus - menemukan nilai-nilai luhur yang sama dalam semua agama.

Adalah Akidah dan Ritual Agama yang Berbeda. Dan, perbedaan itu tidak menjadi soal sama sekali. Perbedaan itil disebabkan oleh keadaan dan budaya lokal di mana suatll agama tumbuh dan menjadi besar.

Fanatisme tumbuh dalam Otak yang kurang paham. Fanatisme muncul karena kurangnya pengetahuan. Fanatisme adalah bukti kebodohan manusia. Adanya tarik-menarik umat bukan saja antara dua kelompok agama yang beda, tapi antara aliran-aliran dalam satu agama yang sama --- membuktikan bahwa manusia belum cukup cerdas. Apalagi orang yang menggunakan kekerasan untuk menarik umat sungguh bodoh!

Mereka yang lebih halus sedikit, berpendidikan sedikit, barangkali tidak menggunakan kekerasan lagi. Mereka membujuk, merayu. Sami mawon-sama saja. Kelompok terakhir ini, umumnya menolak kekerasan. Namun, mereka tak akan mencela para pelaku kekerasan yang seiman dengan mereka.

Keadaan Dunia Kita Memang Masih Semrawut. Ada kalanya para pelaku kekerasan yang mati tertembak atau dijatuhi hukuman mati, malah dinobatkan sebagai Martyr. Dan pintu surga pun dibuka lebar bagi mereka walau dalam imajinasi saja. Siapa yang tahu pintu surga terbuka bagi siapa, atau surga itu memang berpintu?

Lebih dari 100 tahun yang lalu Svmi Vivekananda menemukan kesemrawutan manusia seperti itu, dan ia berusaha untuk memperbaiki keadaan dengan pidato-pidatonya pada Parliament of Religions yang diadakan di Chicago, Amerika Serikat.

la menjelaskan bahwa Kebenaran bukanlah monopoli agama tertentu saja. la mengulangi ucapan Sri Krsna ribuan tahun sebelumnya: "Semua jalan menuju Sang Aku Yang Satu dan Sama!"


Kiranya Dunia Mulai Sadar, setidaknya belahan barat mulai sadar: Iya, iya, ternyata Kebenaran memiliki banyak facets banyak sisi. Dan, setiap sisi memperindah-Nya. Manusia Barat mulai belajar toleransi. la mulai membuka diri terhadap perbcdaan.


Namun, di balik "toleransi" itu, di balik "pembukaan diri" itu masih tersisa pandangan primordial "Bagaimana pun juga, akulah yang terbaik!"

Dengan cara pandang seperti itulah, manusia modern  tengah mengupayakan kerukunan. Hasilnya yang semu. Pemerintah boleh membuat undang-undang atau peraturan kerukunan antar umat beragama dan kerukunan pun dapat dipaksakan. Tetapi, untuk sesaat saja. "Sesaat" itu barangkali sebulan atau setahun --- tetapi tak akan bertahan lama.


Toleransi, apalagi toleransi yang masih menyimpan arogansi bukanlah landasan yang kuat bagi kerukunan. Kerukunan yang tercipta hanyalah kemunafikan terselubung. Toleransi macam itu hanyalah emosi sementara. Saat ini pasang, sesaat kemudian surut.

Adalah "Apresiasi" atau "Saling Menghargai", "Saling Memahami" --- Pengertian -- yang dapat menjadi landasan bagi Kerukunan. Landasan yang kuat.


Pengertian dalam hal ini bukanlah sebuah pikiran belaka. Tetapi, pengertian yang muncul dari nurani, dari sanubari, dari rasa terdalam. Pengertian yang lahir dari kecerdasan. Pengertian yang muncul dari kesadaran.


Ketika Pengertian seperti ini muncul dalam sanubari para resi, maka mereka menerima wahyu atau Shruti; merek a melihat, menyaksikan sisi-sisi Kebenaran. Aha, Ekam Sat Ternyata Kebenaran itu satu Adanya, walau banyak sisinya.

Pengertian seperti inilah yang dapat mcnjadi landasan  bagi Kerukunan Umat Beragama. Pengertian seperti inilah  Yang semestinya menjadi dasar bagi negara. Dan, para resi di  negeri kita sendiri, Soekarno, Hatta, para founding fathers kita -- memahami betul hal ini.


Kepulauan Nusantara yang Telah Menjadi Rumah bagi  ratusan suku dengan beragam latar belakang tradisi, agama, bahasa, bahkan ras --- membutuhkan dasar yang sangat kuat untuk menjadi Satu Negara, Satu Bangsa... Dan, para founding fathers kita menyimpulkan bahwa hanyalah Budaya yang dapat dijadikan dasar.

Kala itu, ada juga beberapa pemikir, beberapa tokoh bangsa yang menginginkan "Agama" sebagai dasar. Tetapi, setelah perdebatan panjang --- hampir semuanya setuju bahwa doktrin dan dogma-dogma agama yang sulit diperdebatkan malah akan menimbulkan pertentangan. Doktrin dan dogma masing-masing agama memiliki keunikan tersendiri, dan sulit dipertemukan. Justru nilai-nilai budaya yang universal dan telah menjadi basis bagi pola pikir Manusia Indonesia yang dapat mempertemukan agama-agama itu.

Dengan Memaksakan Satu Agama terhadap seluruh masyarakat pun tidak menjamin persatuan. Visi para founding fathers kita sungguh luar biasa. Sehingga Agama Katolik Roma pun menjadi Katolik Indonesia. Sama dengan agamaagama Iain, Hindu Indonesia, Konghucu Indonesia. Pemeluk agama-agama yang beda itu dipersatukan oleh ke-lndonesiaan mereka.



Sebab itu, adalah suatu kemunduran bila Muslim Indonesia bcrkiblat pada Arab; Hindu Indonesia berkiblat pada India; Katolik Indonesia bcrkiblat pada Roma, Vatikan, atau Barat; Agama Buddha berkiblat pada Cina, Jepang Srilanka atau Thailand.

Untuk Menciptakan Kerukunan Antar Agama dan antara agama-agama - adalah suatu kemestian bahwa semuanya haruslah berbasis budaya, berlandaskan budaya. Agama yang menolak budaya, pemeluknya yang menghujat budaya menjadi racun bagi kerukunan bangsa.


Jauh sebelum Bung Karno, Mpu Tantular memahami hal ini. Lewat mahakaryanya berjudul Sutasoma, ia menasihati kita untuk tetap konsisten pada nilai dasar "Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa "- Walau Nampak Berbeda, Kebenaran Satu Ada-Nya. Tiada Dualitas dalam Kebajikan.

Apa yang diberikan oleh Sang Mpu bukanlah sekadar slogan tetapi sebuah pedoman hidup. Pedoman untuk bernegara dan berbangsae Pedoman untuk menjaga kerukunan antar agama dan antar agama-agama.


Ketika Timur Tengah dan Barat Masih Sibuk dengan perang yang mereka anggap "suci", kita sudah membangun negara dan bangsa.

Mereka masih menjarah, masih membenarkan perompakan kita sudah membangun ekonomi negara lewat perdagangan bebas, dengan mengekspor hasil bumi kita. Baca kembali sejarah mereka.

Apa yang sekarang ditcrjcmahkan scbagai _perang sesungguhnya hanyalah "penjarahan"           raids. Satu suku menjarah suku yang lain. Satu komunitas mcnjarah komunitas lain. Dan, hasil penjarahan itu, loot itu, yang kemudian dibagikan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pihak yang berhasil.


Kemudian, Baca Kembali Sejarah Nusantara...


Kita juga sering terlibat dalam peperangan. Tetapi kita tidak menjarah. Ketika seorang penguasa dari wilayaah Indo-Cina mencari gara-gara dengan menghujat raja kita maka yang dihukum hanyalah sang penguasa. Wilayahnya tidak dianeksasi. Kerajaan diserahkan kepada ahli waris. Ini bagian dari Sejarah Sriwijaya.

Bhinneka Tunggal Ika merupakan Celebration of Pluralism. Kita baru dapat merayakan perbedaan ketika kita menemukan benang merah --- the spiritual unity of all things. Adalah hubungan batin, spiritualitas yang mempertemukan kita semua. Tapi, spiritualitas abstrak adanya, tanpa wujud. Spiritualitas masih membutuhkan penjabaran, haruslah diwujudkan. Dan, perwujudan itulah Nilai-Nilai Kemanusiaan yang bersifat universal dan berkembang menjadi budaya.

Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sekadar falsafah kering... Ia bukanlah sekadar pandangan hidup yang hanya dapat diwacanakan. Tetapi, sebuah pedoman yang dapat dipraktikkan dalam keseharian hidup.

Di tengah konflik dan pertikaian yang terjadi di Poso, di Maluku, dan di tempat-tempat lain ---- saat ini kita tidak ada Pilihan lain kecuali kcmbali pada Budaya Asal Nusantara Kembali pada Kcbijakan Leluhur kita. Kcmbali pada landasan yang digunakan oleh raja-raja kita di masa lalu. Kembali pada dasar negara yang dipakai oleh Dinasti Majapahit yang dapat bertahan sclama 400-an tahun. Dasar ini. Landasan ini  yang kemudian ditemukan kembali oleh para founding fathers kita dan dipopulerkan sebagai Lima Nilai Universal --- Pancasila.


Setiap Kali Kita Meninggalkan Dasar Itu, Landasan Itu - kita tercerai-berai. Dan, diperbudak oleh kekuatan-kekuatan asing, sekali lagi, bacalah kembali sejarah kita. Raden Patah meninggalkan landasan ini dan dalam kurang dari satu abad kekuatan-kekuatan asing berhasil memecah-belah dan menguasai kita.

Adanya suara-suara untuk menggantikan landasan budaya tersebut dengan landasan lain --- adalah berita buruk! Berita buruk bagi kita semua, kita yang buta terhadap sejarah masa lalu. Kita yang buta terhadap perkembangan zaman. Kita yang hidup dalam awang-awang... dalam dunia khayalan ciptaan kita sendiri.


Bhinneka Tunggal lka... Saat Mpu Tantular menelurkan pedoman ini ada dua kekuatan besar di kepulauan Nusantara yang dipertemukannya. Kekuatan Pemeluk Agama Hindu dan Kekuatan Pemeluk Agama Buddha. Kedua kekuatan tersebut juga dipertemukannya karena: Tan Dharma Mangrwa... Tiada dualitas dalam Dharma, dalarn Melakoni Kebajikan. Dharma bukanlah agama. Dharma adalah Inti Keagamaan, Esensi ajaran agama. Nilai-Nilai Luhur Agama yang dipraktikkan. Dan, dalam praktik itu, dalam melakoni kebajikan itu --- tidak ada dualitas.

Penggalan kedua, penggalan terakhir dari pcdoman pemberian Sang Mpu ini kiranya belum juga dipahami oleh bangsa dan negara kita.


Dulu, Raja Hayam Wuruk Beragama Hindu. Dan, Mahapatihnya beragama Buddha --- Gajahmada, sebelumnya, Ken Arok beragama Hindu, dan permaisurinya, Ken Dedes beragama Buddha. Sekarang, kita masih belum dapat membayangkan kembali keadaan seperti itu

Seorang penjahat, bahkan seorang karyawan kantor, bisa terhambat kenaikan pangkatnya, posisinya --- karena ia tidak beragama tertentu, ini adalah suatu kenyataan, kenyataan yang tidak dapat ditutup-tutupi. Menutupi kenyataan ini hanyalah membuktikan bahwa kita semua telah bertindak tidak adil, dan tidak ada keinginan di dalam diri kita untuk mengubah keadaan tersebut.


Ribuan Tahun Telah Berlalu... Ribuan tahun sejak para resi di tepi sungai Sindhu mengingatkan kita bahwa Ekam Sat Kebenaran itu Satu Adanya... Vipr Bahudh Vadanti --- Walau para bijak menyebut-Nya dengan berbagai Nama...


Kebenaran itu apa? Hyang Tunggal, Hyang Satu AdaNya itu siapa? Tuhan, The Supreme Energy, Tuhan Hyang Tunggal itu disebut Widhi, Brahman, Allah, Bapa di Surga, Yahweh, Adi Buddha, Tao, Satnaam, Ahura Mazda, Kamisama, dan dengan sederet sebutan lainnya.

Kcsadaran Ini Tidak Membangun Sikap Toleran. Kesadaran ini tidak menciptakan manusia modern.

Kenapa? Karena "toleransi" hanya menolerir: "Baik, aku menolerir kamu." Di balik kata-kata yang terucap itu, adalah segudang kata-kata Iain yang tak terucap: "Bagaimana pun juga, sesungguhnya akulah yang benar. Agamakulah yang lebih superior. Tapi, ya sudah, saya menerima kamu dengan segala kekuranganmu."

kaum moderat Sebaliknya, adalah kaum yang tidak berani bersikap. Banyak orang moderat yang tidak membenarkan aksi teror dengan mengatasnamakan agama. Banyak orang moderat yang tidak setuju dengan penggunaan istilah-istilah, jargon-jargon, simbol-simbol agama demi kepentingan politik dan Iain sebagainya. Tetapi mereka tidak berani untuk menolak. Mereka tidak berani untuk bersuara. Secara tidak langsung, kaum moderat ini justru memberi angin kepada para radikal. Membisunya kaum moderat menjadi kekuatan bagi kaum radikal.

Kesadaran Ekam Sat atau Bhinneka Tunggal Ika berada jauh di atas toleransi dan moderasi. Kesadaran ini menciptakan Kaum Apresiatif. Saya menerima dan mengapresiasi apa saja yang baik, entah dari mana pun sumbernya.


"Apa Saja yang Baik"... Apresiasi tidak mengharuskan kita untuk menerima "yang tidak baik". Seorang teroris adalah penjahat, berlatar-belakang apa pun, ia tetaplah seorang penjahat. Nilai-Apresiasi tidak mengharuskan saya untuk menerima kejahatan yang dilakukannya. Saya akan menerima kejahatan sebagai kejahatan dan akan mcmbiarkan pihak yang berwajib untuk menghukum pelakunya.

Saya tidak akan membela para penjahat dengan membentuk tim pembela, apalagi menggunakan simbol atau nama agama tertentu untuk keperluan itu. Saya tidak akan membenci seorang penjahat, namun saya pun tidak akan berurusan dengannya. Sebaliknya, jika ia mau berubah dan mengharapkan bantuanku --- maka dengan senang hati aku akan melayaninya.


Nilai-nilai seperti inilah yang dapat dijadikan landasan bagi kerukunan, bagi persatuan. Dengan menutup-nutupi kesalahan seseorang atau sekelompok orang hanya karena ia seumat, seiman, atau sesuku denganku --- merusak landasan yang telah dibuat dan diberikan oleh para leluhur kita.

Tuhan Ada di Mana-Mana... Dalam api dan air dan tanah dan angin, udara, serta ruang yang maha luas... Air sungai, air laut dan di selokan --- semuanya ada karena Dia. Namun, kecerdasan yang juga adalah pemberian-Nya menuntunku untuk minum air sungai. Itu pun setelah di-filter, dimurnikan.

Ajaran-ajaran yang bersumber dari Veda, dari Kolam tidak Kebijaksanaan Abadi, dari Kesadaran Murni-Ilahi, Tidak Pernah memaksa kita untuk menerima sesuatu dengan begitu saja. Kita dituntun untuk memahami, baru menerima. Bahkan, untuk meneliti sebelumnya.


Ajaran-Ajaran Inilah yang Sejak Lama Mewarnai seluruh Wilayah peradaban Sindhu, termasuk kepulauan kita. Tidak ada Yang menakut-nakuti kita dengan api neraka, tiada pula janji-janji surga. Adalah kcsadaran manusia akan Hukum-hukum Alam, hukum Aksi-Rcaksi, hukum Sebab-Akibat, hukun Evolusi Raga dan Jiwa yang dibangun.


Adalah rasa tanggung jawabnya yang dibangun, ditingkatkan. Sehingga ia merasakan kedekatannya dengan alam, dengan lingkungan, dengan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan dengan bebatuan. Dengan bintang dan bulan dan langit. Jika kesadaran seperti ini disebut animis, animisme maka aku bangga akan sebutan itu bagi diriku.

Demi Pohon Zaitun, dan Bulan dan Bintang - aku bangga akan sebutan itu. Sebagai animis aku menjadi lembut, aku menjadi lebih peduli terhadap pemanasan global. Aku tidak menjadi teroris. Demi, Ia yang Menggenggam Nyawaku dalam Genggaman-Nya - aku bangga disebut animis.

Kerukunan dan Persatuan mesti dibangun atas landasan yang kuat... Landasan Pengertian, Apresiasi... Landasan di mana seorang animis, seorang hindu, muslim, kristen, buddhis dan para pemeluk kepercayaan-kepercayaan lain, agama-agama lain - semuanya bisa berdiri bersama, berkarya bersama.


Para avatra, nabi, buddha dan mesias, adalah para pemandu. Mereka adalah para penunjuk jalan. Agamaagama adalah jari telunjuk mereka. Dengan jari itulah mereka menunjukkan jalan kepada kita. Janganlah hanya mengagung-agungkan jari-telunjuk itu. Mulailah berjalan, dan kau akan menemukan bahwa tujuan kita satu dan sama --- Tuhan. Menerjemahkan ketuhanan di dalam keseharian hidup - itulah tujuan kita.

Beruntunglal Kita Semua yang hidup dalam Zaman ni. Kemajuan sains dan teknologi telah mencapai point of return, Kita tidak dapat memutar balik jarum jam.  Zaman onta dan kuda sudah berlalu, sekarang zaman kendaraan bemotor dengan kecepatan tinggi. Banyak energi yang telah  terhematkan oleh kecepatan ini, Maka, kita memiliki lebih banyak waktu untuk mengupayakan evolusi batin.


Kita sudah tidak bisa hidup sebagai pulau terpencil. Kejadian-kejadian di belahan dunia mana pun, akhimya memengaruhi kehidupan kita semua. Kita telah memasuki Era  Baru Persatuan. Barangkali, inilah yang disebut Zaman Emas, Zaman Kebenaran atau Sat-Yuga.


Satyaneva Jayate - Kebenaranlah yang Berjaya! Demi  Kebenaranitu, kita-Bangsakita, Manusia lndonesia-memiliki sesuatu yang sangat berharga demi terwujudnya An Integrated World Community - Dunia Baru yang Bersatu, Berintegrasi, Berdiri Setara dan Sejajar. Dan, it adalah kepercayaan kita pada "Bhinneka Tunggal ka -- Tan Hana Dharma Mangrwa sebagai Pedoman Hidup.

 

Manusia Indonesia, kau ditakdirkan untuk mengantar bukan saja bangsamu, tetapi warga sedunia untk memasuki Era Baru, Zaman Keemasan... Janganlah bermalas-malasan, bangkitlah dan berkaryalah demi takdirm itu!"

Sumber :

Anand Krishna. Vedanta : Memaknai Kembali Hindu Dharma. Pusat studi Veda dan Dharma. 2016. 271 hal

 

www.booksindonesia.com

Anand Krishna | Buku Meditasi Anand Krishna, Buku Yoga Anand Krishna (booksindonesia.com)

 

Youtube: Anand Krishna

Youtube : Anand Ashram

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun