Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Resonansi: Kegelapan

12 Mei 2015   12:28 Diperbarui: 29 Agustus 2019   16:30 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sebelumnya di sini) *

Adang dibawa menyusuri setapak kecil berlumpur, yang di ke dua sisinya berbaris hanoi, ber-arsitektur dominan kayu dan beberapa di antaranya berlantai dua dengan tangga mengurai sebanyak delapan enam langkah ke bawah. Bebatuan sungai melingkar sebagai pagar, dan babi-babi kecil berkeliaran dengan moncong mereka yang basah dan kotor. 

Pukul delapan pagi, dan ia sama sekali belum tahu apa yang hendak dilakukan oleh lelaki paruh baya. Galeng, lelaki itu, memintanya menunggu sebelum menghilang di sudut sebuah rumah, dan kembali dalam keadaan rambut basah, namun sedikit lebih rapi. Kulit durian ia gunakan sebagai penyisir dan senyumnya tersungging lebih lebar kini, walaupun tetap nampak aneh dan berhawa dingin seperti kabut di ubun-ubun bukit.

Setelah serangkaian “ritual penyambutan” dengan dedaunan berbunga, air kelapa berwarna keruh dan biji-biji kerang bakar pengganjal perut, Adang Turiakti mulai tenang. Oleh Galeang ia lalu diarahkan membersihkan badannya di bawah guyuran air gunung yang mengalir tak jauh di landaian atas, bermandi hawa dingin tetapi menyerah pada ketenangan yang tiada tandingannya. 

Adang menyeka rambutnya dengan jari, merasakan bebatuan lebih rapat di telapak kakinya, menelan air banyak-banyak, bahkan mengabaikan sabun berbungkus plastik yang teronggok di tasnya. Tubuh telanjangnya seperti bebas, dan di dalam kolam kecil berdinding batu-batu sungai, ia biarkan ekosistem mencerna setiap kotoran di kulitnya. 

Ia mengalah, ia menengadah, sesekali menenggelamkan kepalanya dan menahan napas selama mungkin di bawah air, lalu melempar punggung jatuh dan menatap dedaunan hutan yang mencelah-celah pandangannya pada langit. Sapuan air serupa pijatan, dan tanpa kesadaran penuh ia merasa seperti di rumah sendiri, bernikmat atas kehendaknya sendiri.

Singkong rebus terasa asing saat dikunyah, tapi sensasi seperti itu terasa lengkap lantaran tak banyak lauk berasa yang dihampar di atas daun pisang gosong yang masih berasap. Ada parutan kelapa dan buah pepaya, tapi Adang lebih tertarik pada keong-keong bakar yang ia selipkan ke dalam potongan singkongnya, kemudian ia jepit lalu makan seperti hotdog

Burung-burung kakatua jambul kuning beradu koloni dengan rangkong hasil migrasi Jawa di ujung-ujung pohon. Desisan ular terdengar di kejauhan, dan cecakan hewan melata menyibak-nyibak rumput di bawah kaki. Adang lahap seakan-akan lupa kapan terakhir kali ia makan berat.

“Mereka orang-orang sini?” Adang coba membuka obrolan. Lelaki tua telah memberinya petunjuk jalan, menyediakannya air mandi dan menawarkan baju hangat. Pastilah tidak aneh jika mereka coba mengakrabkan diri.

Galeang melihat ke arah langit barat laut, di mana sisa-sisa asap hitam tipis bergeliat naik dari sela-sela pepohonan di tebing. “Ya,” jawabnya. “Mereka pantas mati.”

“Apa maksudnya? Pantas mati?”

Galeang menyeringai. Dari jarak sedekat itu, dan di bawah cahaya pagi yang mengemas, rupa wajahnya terbentuk sempurna lengkap dengan cekungan dan garis-garis kasar. Matanya setajam elang, lubang hidungnya terlalu besar dan rambut-rambut menjulur tajam dari dalamnya. 

Rupa pemangsa yang mengenali setiap jengkal lansekapnya, dan tahu di mana ia bisa berkuasa atas apapun. “Mereka menyerah pada tanah, Pak Adang. Mereka purna, mereka menyatu dengan angin, mereka terbang. Tidak ada yang menghalangi mereka sekarang. Mereka pergi untuk kebaikan.”

“Maksudnya, Anda membebaskan mereka?” Adang coba mengatakan itu sehalus mungkin, alih-alih menebak bahwa lelaki di depannya telah menghabisi mereka. Perasaannya bergidik dan ia mulai yakin rasa asin di lidahnya bukan tanpa sebab. “Anda membantu mereka pergi? Terbang bersama angin?”

“Saya membunuh mereka, jika itu maksud pernyataanmu yang kebingungan. Pak Adang, waktu jalan turuni lereng dan sampai di lembah, tentu Pak Adang tahu seperti apa tempat ini. Lihat sekeliling, kehidupan tersisa tinggal kita berdua, dan derit-derit jauh dari hewan melata yang lebih mengerti kenapa mereka hidup. Pak Adang pernah bertanya pada diri sendiri, kenapa saya hidup?”

Adang tidak menjawab. Meski jelas jawabannya ‘tidak’, ia yakin gerak-gerik spontannya sudah cukup jelas memberi petunjuk. 

“Hutan bukanlah rumah di sini. Orang-orang kota saja sering masuk ke banyak tempat dan berpura-pura itulah rumah mereka. Mereka membangun tenda, tidur semalam dan bercinta di bawah rimbun daun, mengakui bahwa itu membebaskan mereka dari ‘kekangan’ tugas sehari-hari, dan percaya bahwa hutan tempat mereka kembali. 

Tidak, hutan bukanlah rumah yang bisa kau rindui dan bercakap-cakap pada teman lalu muncul ide lestari, bertanam bibit dan bertepuk resmi. Tidak, hutan bukan seperti itu. 

Anda di sini, hutan bukanlah rumah. Hutan adalah makhluk hidup, hutan adalah teman itu sendiri. Saya sendirian, tapi saya tidak sendirian. Ada hutan menemani. Sama seperti saya, dia punya wajah, kaki, kepala dan mata. Dan dia bernapas, sama seperti saya, dan Pak Adang. Kita bernapas.” 

Galeang menggayung kedua tangannya seakan-akan mengangkat angin naik ke lubang hidungnya. “Hutan juga bernapas. Kita tidur, dia juga tidur. Kita berjalan, dia tidak ke mana-mana. Karena itu manusia, makhluk, seperti hewan-hewan melata ini, tahu ke mana mereka bisa selamat. Kita menyelamatkan diri sesuai naluri. Sayangnya, hutan tidak pernah melangkah terlalu jauh. Ia tidak sanggup berjalan. Begitu kaki-kakinya dilukai, cacatlah dia.”

“Jadi…” Adang menelisik obrolan. Penjelasan barusan sekan menamparnya, mendengungkan telinganya dan mencambuk lapisan otaknya. Di banyak kesempatan ia menulis dan mengabadikan acara-acara berlabel pelestarian, tanam sejuta pohon, abadi mangrove, satu bibit satu oksigen untuk sepuluh orang, energi hijau. 

Tapi benar, tak satupun dari semua acara itu menyentuh akar dari proses hutan sebagai ekosistem, kecuali sebatas tanam-menanam lalu tinggalkan, pohon tumbuh kerdil justru karena tempelan merek perumahan dan nama ibu negara menghalangi dahannya dari sinar matahari. “Jadi, kematian mereka adalah cara alam menerima?”

“Pak Adang benar soal itu. Kita hidup tidak lama, tapi hutan bisa sepuluh generasi lebih tua dari kita. Manusia serakah, menghabiskan separuh hutan sendirian di paruh usianya, tak sadar kalau empat generasi setelahnya tidak akan punya apa-apa tersisa.”

“Manusia makhluk paling jahat.”

“Bukan, bukan itu maksud saya. Manusia luhur, suci, bersih, tetapi lemah. Iblis yang jahat. Iblis, paling tahu kelemahan. Dari sudut mata ia bisa masuk, dan dari getaran lutut saja ia bisa mengendalikan langkah kita. 

Seperti alasan sama, tidak ada yang tahu mengapa Pak Adang datang jauh-jauh ke Mur, melewati tiga hutan dan dua gunung, meninggalan orang-orang dan membayar mereka pergi. Mungkin juga tidak mengatakan apapun pada siapapun tentang hutan dan jalan menuju kemari. Jadi, apa yang Pak Adang cari di sini?”

“Saya…” 

Adang kehilangan kata-katanya karena menyadari Galeang menarik senyumannya, menelannya jauh-jauh. Air muka hangat dan ramah yang sempat memancar sejenak tadi kini runtuh ditelan bumi. Vivir lelaki tua itu melengkung ke bawah, bergetar-getar. Cekungan matanya merendah dan pupilnya terhimpit di atas, menyorot tajam seperti elang yang kehilangan akal. 

“Saya…,” Adang menguatkan diri agar bisa berbicara, tapi lidahnya kaku. Ia kehilangan kata-kata, dan kepalanya tiba-tiba kosong. Sorot mata Galeang tak mau lepas dari matanya. 

Singkong di atas daun sudah kotor. Sesuatu di dalamnya memancing semut berkerumun. Tak berapa lama, Adang mengantuk, kepalanya terasa berat dan telinganya berdengung-dengung. Angin berhembus dari dalam hutan dan tak butuh waktu lama sampai awan gelap bergemuruh di atas kepala.

Adang terkesiap. Lelaki tua di depannya sudah tidak ada.

“Ayo, kita harus menyelamatkan mereka.” 

Sadar sesuatu telah terjadi, di tengah sapuan angin Adang bangkit dari duduknya, mengikuti Galeang yang sudah menghilang ke ujung perkampungan. Rambut putih orang tua itu berkibas-kibas ke belakang, tetapi langkah kaki telanjangnya seperti menghentak-hentak, mengancam bumi agar kembali seimbang. “Ayo, Pak Adang! Saya perlu bantuan.”

**

Map merah berisi log kerja beberapa nama dibanting ke atas meja. 

Kantor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia jalan Gatot Subroto Jakarta berbentuk kapsul dengan puncaknya yang datar. Meski begitu, isinya tak melulu bernuansa akademik, malah lebih banyak perabotan khas kantor pemerintah dengan permukaan mahal mengkilap tapi tidak terlalu fungsional. 

Ada tujuh ratus orang bekerja pada pemerintah untuk memecahkan teka-teki ‘zamrud khatulistiwa’ berabad-abad, tapi hanya sepuluh persen dari semua pekerja itu benar-benar seorang peneliti. 

Dan dari kelompok abdi itu, hanya setengahnya yang benar-benar bersemangat menggali ilmu pengetahuan di tanah Nusantara, sementara sebagian lainnya lebih bersemangat mengekor paper orang-orang Kaukasia yang datang dengan seperangkat alat canggih dan dana beratus ribu dólar, kemudian nampang nama di setiap pemberitaan penemuan. Meski begitu, ruangan seorang peneliti tetap mewakili obsesi, dengan gambar-gambar, skema, dan piagam penghargaan di mana-mana. 

Kepala Kantor bagian Dokumentasi Penelitian Profesor Effendi Singgalang terhentak dari gerakan pena di tangannya, menurunkan kacamata dari hidungnya sebelum menatap heran pada tamu yang baru saja melempar berkas-berkas ke tengah mejanya. “Haris, lama tidak bertemu. Ada apa ini?”

“Adang Turiakti melewatkan kewajiban laporannya selama tiga hari. Dia ke mari?”

“Mas Adang, ya. Dia datang dengan rencananya meliput, em… apa itu… Eugeissona utilis! Palem Bertan endemik! Ya, dia bilang begitu. Saya tandatangani suratnya. Joel Brandt, peneliti Australia, menemukan varian barunya dua pekan yang lalu--astaga, baru dua puluh tiga tahun dan dia… kapan kita bisa segigih itu. Mas Adang bilang akan ikut batch tiga rombongan IPB, perwakilan dosen mereka ada di sana.”

“Profesor Andini Suhendar?”

“Kalau saya tidak keliru, ya. Dia itu.”

“Nah, saya sudah konfirmasi ke dia, dia tidak bertemu dengan Adang Turiakti sudah berbulan-bulan. Anak itu tidak ke sana. Lalu ke mana dia?”

Effendi Singgalang tak sanggup berpikir. Ia menyadari apa yang terjadi. “Tunggu. Tunggu… Tapi. Mas Adang bilang…”

“Telepon Profesor Andini sekarang, pastikan.”

Profesor tua itu mengangkat telepon di mejanya kemudian berbicara sejenak kepada seseorang yang ia hubungi di seberang sana. Setelah menganggauk berterima kasih dan lalu meletakkan gagang, ia menyeka keningnya dengan lelah, kemudian menggeleng.

“Saya agak sibuk hari itu, persiapan rapat Bappenas, laporan ke presiden soal Polypedates pseudotilophus, katak bertanduk. Saya… saya tidak begitu membaca….”

“Apa guna surat itu?”

“Tumpangan gratis, saya kira. Dia jurnalis, surat itu bisa membawanya ke mana saja, atas restu LIPI. Oh, dan… ini bahaya. Dia bisa mengklaim setiap penemuan spesies baru atas namanya, dan LIPI tidak bisa membantah.”

“Ya dia freelance, dan saya yakin dia ke sana bukan untuk liputan majalah.”

Pintu dibanting dan Haris Nasution sudah menghilang dari ruangan. Di meja, Profesor tua itu masih tidak percaya. Pekerjaan tiga puluh enam tahun kerap mempertemukannya dengan kelalaian, tapi ia masih menebak-nebak mengapa yang satu ini sampai membuat seorang editor senior yang sekaligus temanlamanya begitu panik. 

Di koridor menuju mobilnya, Haris Nasution mengelurkan telepon genggam, memencet beberapa tombol sebelum berbicara di balik kemudi. Suara layanan masyarakat membalas syahdu di seberang, sebelum Haris menegaskan suaranya. “Halo, Haris Nasution dari Harian Episentrum, Jakarta. bisa sambungkan dengan Inspektur Satu Odeng Pamuntjak? Ya, Kasat Reskrim. Terima kasih, ya saya tunggu.”

**

Galeang berteriak teriak. “Pak Adang! Ayo… sebelah sini!” Lelaki tua itu menderap-derapkan kakinya yang sering terpeleset di atas lumpur, menarik daun dan berbelok ke atas bebarisan batu bertingkat. Sepuluh meter di belakangnya, Adang merem-melek menghalau air hujan yang mulai berat menderu dari daun pepohonan, memberisik turun menuruni banyak batang. 

Langkah-langkah Adang gesit menghindari tupai-tupai yang melompat, dan berusaha tetap imbang walaupun kecepatannya coba ia tambah. Langit semakin gelap dan matahari yang beberapa menit lalu menghangatkan kulitnya seperti tertelan pergi. 

Suara langkah jauh di depannya kini berhenti, dan berganti dengan gelondongan bunyi-bunyi kayu yang dibanting ke tanah, longsor bersama lumpur. Adang menghindar batang besar dahan yang hampir menghujam kakinya. Saat menengadah ke atas, langit gemuruh menghujami matanya, dan di tengah bayangan di ketinggian, lelaki tua itu mencak-mencak. “Pak Adang, Ayo! Saya butuh bantuannya!”

Adang beranjak semakin dekat, mendaki tangga-tangga batu menuju tebing pembakaran yang tadi dilewatinya sewaktu pertama kali masuk ke desa. Di puncak bebatuan Galeang mengangkat kayu lalu membuangnya, menyingkirkan semua konstruksi tungku yang menghalangi jalannya air. “Ini harus dihanyutkan. Semua harus dihanyutkan. Ayo, cepat!”

“Ah, baik.” Terengah-engah dan masih tidak mengerti, Adang urun mengangkati kayu dan menyingkirkan dahan-dahan hangus yang menyerakkan abu. Serbuk hitam sekejap saja sudah mengotori tangan dan pakaiannya, dan ia terlibat semakin ke dalam. Batang-batang pohon hangus, dahan berkelok yang ujungnya patah, serta beberapa batu menggelinding saat ia lemparkan, bahkan sebagiannya menghilang ke lubang tebing, dan menyatu dengan aliran air yang baru saja terbentuk di dasar sana. Ponselnya jatuh tanpa ia sadari.

“Abunya,” ujar Galeang memecah hujan. “Abu ini harus hanyut bersama air, pergi ke sungai, terus ke hilir. Ayo, Pak. Sedikit lagi.” Galeang terus-terusan mengoceh, menyebut beberapa bahasa yang sulit dimengerti dan sesekali bersenandung seperti mengejek langit. “Kau menghujani tanah dan menyingkirkan kayu serta batu, tapi menghidupi hutan dan menyambutnya tumbuh. Turun… turunlah. Hujani bumi. Bawalah jiwa-jiwa malang dari anak-anak alam ini, biarkan mereka kembali ke Shudra. Menyatu dengan muasalnya. Ambillah!” Lalu lelaki tua itu tertawa.

Lalu dalam sekejap saja, hujan bertambah deras. Gemuruh di langit bersahut-sahutan dengan kemilau kilat yang menggelitik ujung dedaunan tinggi. Adang berkali-kali melihat ke langit, tapi tangannya tetap sibuk menghalau kayu-kayu. Saat akhirnya abu pembakaran mayat itu mulai menipis dan hanyut ke hilir, ia terduduk begitu saja, menyerah pada hujan dan bersandar pada batu tinggi yang tak jelas bentuknya. Lalu, suara itu muncul lagi. 

Intonasi naik turun seperti seruling besar yang ditiupkan malaikat. Senandungnya panjang, tanpa celah tempo dan bahkan terdengar lebih nyaring daripada sejak ia mendengarnya pertama kali dari dasar sungai tadi. Pohon berayun semakin goyah, agak miring menyerah pada angin. Makin tinggi nada suara, makin rendah pohon-pohon membungkuk. 

Kebingungan dan ketakutan, Adang bangkit, mencoba menaiki batu yang lebih tinggi, dan mencari Galeang. Tapi, orang tua itu tidak ada di manapun ia mencari. Deru angin datang dan tarikan dedaunan pohon berbalik ke arah yang berlawanan. Pusaran angin terlihat di bagian hulu sungai. Adang merasakan tanda bahaya dan kemudian beranjak turun meninggalkan bukit, mungkin desa lebih aman, pikirnya. 

Ia mulai berteriak-teriak memanggail Galeang, tetapi sosok tua itu tak ditemuinya di manapun. Abu pembakaran telah titis dan kayu-kayu mulai hanyut ke sungai. Adang goyah, langkahnya makin berat, tubuhnya terhuyung-huyung. Ia berusaha menembuskan pandangannya melewati bulir hujan tapi jalur hutan yang akan dilewatinya menuju desa tampak makin menjauh. Batu-batu di bawah kakinya membesar dan mengecil, dan aliran air bertambah riuh seperti akan menghisapnya. 

Adang berlari, meninggalkan tebing batu dan mencoba menapak apapun yang bisa dilewatinya di dalam hutan. Ia masih ingat jalan pulang ke desa, dan ia yakin arahnya tidak keliru. Hanya saja, pandangannya mengabur dan semakin kabur. Ia kira itu karena air hujan, hingga akhirnya ia merasakan pening hebat menjalar di kepalanya. Rasa nyeri itu mencengkeram dan tiba-tiba menyengat rongga telinganya, menekan sisi kepalanya sampai benar-benar ia berhenti melangkah.

Adang Turiakti berteriak-teriak meminta tolong, tapi tak satupun makhluk di hutan itu mengenalinya. Sementara, satu-satunya orang yang menyambutnya, kini menghilang. Suara lantunan aneh itu kembali menyeringai, mendekat, dan terbang seperti hendak membawanya pergi. Adang berlutut dan kesakitan, memegangi kepalanya dan tidak menghiraukan apa-apa lagi. Ia lupa mengapa ada di tempat itu, dan tak sedikitpun celah waktu untuk menyadari apapun. Apa yang kucari di sini?

Kemudian Adang menyerah. Daun pinus yang hanya sejengkal di depan matanya tidak menghiraukannya sedikitpun. Hingga, kegelapan membawanya pergi.

(bersambung...)

------------------------

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun