Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu...

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Gaya Hidup "Ngangkring", Romansa ala Jogja

12 Juni 2010   16:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:35 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memang, kesenjangan sosial masih belum terelakkan. Akan tetapi kesamaan minat, selera, dan pandangan terhadap nilai tambah membuat acara Makan Malam di Jogja terasa lebih ngeuh rasa kekeluargaannya. Begitulah kesan yang tertangkap dalam perjalanan singkat saya mengitari Kota Jogja malam ini (12/6). Dari area Jogja utara sekitaran kampus FE UII dan UPN Veteran hingga pucuk selatan di Malioboro dan Alun-alun, ada romansa tersendiri yang mungkin tidak akan ditemui di kota lain. Romansa tersebut adalah "acara makan malam" bersama di pinggir jalan alias "Ngangkring". Angkringan, tempat makan jenis PKL berupa sebuah gerobak ukuran sedang dengan ciri khusus bertudungkan tenda yang terbentang lebar dari atap gerobak hingga hampir menyentuh tanah, dengan suasana hangat remang-remang dari lampu minyak yang menerangi bermacam panganan murah mulai dari nasi bungkus koran harga Rp 1000 hingga sate telur puyuh dan wedang jahe panas, saat ini terbukti menjadi "trademark" tersendiri dalam lika-liku wisata kuliner di Jogja. Sejarahnya yang panjang dan berkarakter membuat masyarakat memiliki pandangan dan manifestasi tersendiri terhadap angkringan. [caption id="attachment_165335" align="aligncenter" width="300" caption="Angkringan. Warung gerobak tenda yang "menyatukan" orang-orang dalam perbincangan yang tidak melulu soal selera makan. (dari http://bamburuncing.wordpress.com/2007/12/02/angkringan-miring/)"][/caption] Kita yang sudah mengerti mungkin paham betul bahwa untuk mendapatkan kebersamaan "Ngangkring" ini, kita tidak harus datang dengan seseorang atau beberapa orang ke Angkringan. Mengapa? Karena pada hakikatnya "Ngangkring" adalah melebur. Melebur dengan kehangatan minuman dan obrolan orang-orang tetangga makan, melepaskan penat dan sejenak memelorotkan jenjang sosial untuk merakan kesamaan. Bagi yang pernah merasakannya, Ngangkring lebih pada berbagi rasa. Yang makan jadi tahu rasanya menjadi Tukang Angkringan dan tahu certa-ceritanya, sebaliknya juga begitu. Tukang angkring jadi mengetahui isu-isu yang berkembang di sekitar kampus (misalnya) tanpa harus ia jadi mahasiswa. Saat ini Jogja termasuk salah satu daerah yang memiliki apresiasi tinggi terhadap perkembangan industri kuliner. Dan lebih bagusnya lagi, perlindungan ini tidak hanya ditujukan bagi para pengusaha kuliner tertentu, akan tetapi merata. PKL memiliki hak yang hampir sama dengan restoran, peraturan tidak hanya mengekang para pedagang yang "kurang berdaya". Hal ini pulalah yang menstimulasi menjamurnya Angringan di Jogja. Tidak bisa dipungkiri, menjamurnya tempat makan "merakyat" ini menjadi salah satu warna dalam pemenuhan kebutuhan kuliner masyarakat Jogja yang notabene sebagian besar adalah kalangan mahasiswa dan pelajar sejenis. Malam minggu di Jogja selalu spesial. Hari Sabtu adalah hari di mana Angkringan menyiapkan diri untuk meraup keuntungan lebih. Para pengusaha Angkringan menyediakan stok lebih untuk para calon pembeli, terutama yang beroperasi di sekitar lokasi-lokasi yang menjadi titik strategis kota bagi wisatawan. Disiapkan pula beberapa gulungan tikar tambahan jika sewaktu-waktu pengunjung membludak dan terpaksa harus lesehan di trotoar Malioboro dan sekitaran Stasiun Tugu. "Sudah kota wisata, kota kuliner juga. Bagaimana nggak untung mas?", celoteh salah seorang pengusaha Angkringan yang sempat ditanyai saat sela-sela "Ngangkring". Dan memang, kalau sudah namanya romansa, tidak peduli Anda berkantong tipis ala mahasiswa atau berdompet tebal ala pengusaha, "Ngangkring" selalu membawa kesan damai dan setara itu. "Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi", kira-kira begitu ungkapan yang sesuai. Apalagi, kesan nostalgia yang kental tidak jarang mengikatkan sebuah rantai pertemanan jangka panjang antara tukang Angkringan dan pelanggannya. Seorang pengusaha "Ngangkring" mengenang masa-masa dulu ia mahasiswa, eh, ternyata sekarang tukang angkringannya masih sama, masih yang dulu. Begitu pula yang dialami oleh Butet Kartaredjasa, status ekonomi dan sosialnya saat ini tidak akan menghalanginya untuk rutin "Ngangkring" di sekitaran Stasiun Tugu Jogja. [caption id="attachment_165339" align="aligncenter" width="300" caption="Angringan Lik Man, salah satu tempat "Ngangkring" terkenal di Jogja, disebut-sebut merupakan penerus Angkringan generasi pertama puluhan tahun lalu. (dari yogyes.com)"][/caption] GAYA HIDUP. Itulah istilah yang cocok untuk mendefinisikan keterkaitan emosi antara masyarakat Jogja (atau masyarakat pecinta Jogja) dengan Angkringan. Saat ini yang terlihat adalah "Ngangkring" diartikan tidak lagi sebatas kegiatan mengisi perut, akan tetapi lebih luas mencakup gaya hidup yang sarat akan nilai-nilai yang beragam dan didefinisikan sendiri-sendiri oleh penggemarnya. "Anda tidak perlu jadi "orang susah" untuk makan di Angkringan." Semua ini terjadi dan tercatat karena faktanya, puluhan tahun terakhir gaya hidup "Ngangkring" sudah menemani perjalanan hidup kita, dari seorang mahasiswa hingga kepala rumah tangga, dari pembantu di Jogja hingga TKI di Singapura. Semua kebersamaan ini yang membaut Angkringan dan gaya hidupnya masih bertahan dan terus diminati. Hal ini pulalah yang menjadi "landmark" baru yang mendelegasikan kota Jogja di mata dunia. Semua karena kita bisa menikmati apa saja di Jogja. "Karena di Angkringan, Anda dan Saya sama." [Selamat menikmati hidup.]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun