Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Senyuman Jero Wacik: Bukan Nasionalis Emosional

6 September 2014   14:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:28 1430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1409963278639834610

Mungkin Jero benar-benar seorang nasionalis. Mungkin juga tidak, karena ia seorang pejabat sekaligus birokrat. Yang jelas ia terlihat begitu emosional setiap kali berbicara mengutarakan pembelaannya terkait perusahaan negara yang paling dicintai dan diandalkan untuk konsumsi energi.

Masyarakat kita yang menyumbang pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen sekadar lewat keterampilan mengonsumsi pun kepingin sang menteri melakukan segala upayanya demi minyak dan listrik dapur, agar motor, mobil, dispenser, dan smartphone tetap bisa bernyanyi. Pertaminalah yang berdarah-darah setiap kali pemerintah ingin menyenangkan warga desa yang gusar dan sosialita kota yang serakah.

Dengan kerugian tahunan sekitar 2,81 triliun dari Gas Elpiji 12Kg saja, Pertamina sebetulnya belum sehat betul. Wacana kenaikan harga belum apa-apa sudah ditentang oleh kementerian. Belum lagi saat sang direktur utama memutuskan hengkang di akhir Agustus untuk berlabuh di sebuah universitas bergengsi di Amerika Serikat, langkah sama yang pernah diambil seorang koleganya “Srikandi” di Kementerian Keuangan. Meninggalkan Indonesia untuk pekerjaan kantor yang minim tekanan praktik politik kotor. Pertamina kehilangan nahkoda berharga bersamaan kementerian energi galau kehilangan teladan.

Jelang tutup pidatonya hari itu, Jero berterima kasih kepada jajaran AKAMIGAS yang lewat kehadirannya pula diresmikan pergantian namanya menjadi Sekolah Tinggi Energi dan Mineral (STEM). Sang menteri menaruh harapan besar agar Cepu yang kaya minyak sejak zaman kolonial, tetap menghidupi bangsa Indonesia lewat keringat dan kecerdasan sendiri. Lebih dari taman Tugu Minyak di kota yang bahkan jalanannya saja berlubang-lubang.

Sang Ketua kampus berterima kasih atas pidato yang menggugah, khusus kepada menteri satu ini. Dan untuk suatu hal lain yang mengejutkan. “Baru dua tahun terakhir ini Menteri ESDM langsung yang melantik wisudawan-wisudawati kami, baru Pak Jero saja. Sebelum-sebelumnya, tidak pernah ada yang kemari untuk acara seperti ini,” ujar sang Ketua kampus bangga. Di beberapa catatan lain menunjukkan bahwa di era menteri Purnomo Yusgiantoro, seremoni ini juga pernah dilaksanakan.

Jero balas berterima kasih, perwakilan kampus sempat mendoakan agar sang Putra Bali tetap menjabat sebagai menteri setelah SBY turun tahta --pernyataan yang membuat seruangan lagi-lagi menggemuruh tepuk tangan. Jero mengangguk tenang, “Saya tidak pernah meminta, tapi saya percaya pilihan rakyat.” Ia coba menunjukkan karakter psikologisnya yang koleris (kepemimpinan) dan bukannya melankolis (sentimentil).


Sejak siang itu hingga tulisan ini ditayangkan, nama JERO WACIK masih tertulis rapi di dinding depan, menjadi nama Gedung Auditorium dan Wisuda STEM Akamigas Cepu, Blora. Entah bagaimana nasib tulisan itu seketika KPK (2/9) mengumumkan sang menteri terlibat dalam skandal pemerasan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sejak 2011 hingga 2013. Mungkin tulisan nama itu akan dihapus demi menjaga kredibilitas kampus, atau tetap di sana sebagai warisan pesan keyakinan dan keteguhan hati seorang mantan pejabat negara yang membawa perubahan.

Bagi saya sederhana saja, senyuman yang terus ditunjukkan sebagai karakter Jero Wacik itu, tidak selalu mewakili kebahagiaan. Mungkin itu wujud kehambaan manusia yang menjalani hidupnya setidak-tidaknya dengan keyakinan bahwa semua hal akan baik-baik saja pada akhirnya, setidak-tidaknya tidak perlu diratapi berlebih. Seorang Jero mesti memahami cara hidup berdasar nilai hakiki ajaran Hindu dan ketenangan bersikap seorang bapak empat anak yang sedang melaju. Pun jika Jero seorang memang nasionalis sejati, tidak ada salahnya menggurat rupa emosional sesekali, seperti ketika memarahi orang-orang Pertamina atau mengenang keterbatasan hidup di masa kecilnya. “It’s okay to cry,” lantun tokoh anak si Barney. Untuk selebihnya kita bisa ingat kata-kata seorang motivator botak: pada akhirnya kesibukan setiap manusia adalah berjuang membangun kepantasan.
*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun