Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Senyuman Jero Wacik: Bukan Nasionalis Emosional

6 September 2014   14:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:28 1430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1409963278639834610

Karen Agustiawan selaku direktur utama Pertamina lewat berbagai media sudah kerap menegaskan bahwa kapasitas dan sumber daya Pertamina sudah sanggup untuk mengelola Blok Mahakam, kawasan migas besar di Kalimantan yang masih dikelola perusahaan asing dari Italia dan Jepang itu. Meskipun, prosesnya bertahap dan kemungkinan menerapkan pola kemitraan di lima tahun pertama, dengan skema bagi-kelola 50:50, Pertamina masuk sebagai “murid baru”, dan dibimbing oleh dua perusahaan terdahulu. Sementara, posisi supervisor utama yang menentukan jajaran direksi bisa dinegosiasikan kemudian. Tetapi dengan skema itupun, Jero belum memberi kepastian.

Yang paling membuat gusar Jero Wacik ternyata bukanlah keyakinan Karen dan Pertamina mengelola Blok Mahakam. Menurutnya Pertamina bukan anak kecil lagi, dan siapapun mesti menyokongnya terus tumbuh. Hanya saja, secara intuitif (entah hitung-hitungan teknis), Jero ragu dengan kapasitas kapital Pertamina. Perusahaan ini besar namun masih jauh dari tangguh. Jero tidak mau Pertamina ngos-ngosan mendadar dirinya di Blok Mahakam, menggali sumur-sumur minyak baru, mempelajari skema teknis baru, sementara keteteran mengelola dan menyalurkan kapasitas energi lain yang selama ini sudah stabil untuk masyarakat, sebut saja BBM untuk konsumsi dan BBG untuk industri.

Kalian tahu tidak, biaya pengeboran minyak itu?” Jero mengisyaratkan seruangan agar menunjuk tangan jika ada yang tahu. Tidak mahasiswa tidak pula dosen berani menebak-nebak. “Enam puluh (60) juta dolar! Setara enam ratus milyar. Itu sekitar itu… satu kali mengebor, minyak.” Jero akhirnya menjawab sendiri. “… Itu kalau di darat. Kalau offshore (lepas pantai), biayanya bisa sampai 100-150 juta dolar. Satu kali mengebor. Iya kalau langsung dapat. Kalau ternyata sumur kering? Butuh dua, tiga, empat kali mengebor tapi kepastian dapat minyak tidak ada. Ada perusahaan yang 15 kali mengebor, tidak juga memperoleh minyak, kemudian pulang. Bayangkan berapa modalnya habis jadi tanah kering.”

Alasan kesiapan kapital inilah yang tampaknya jadi batu sandungan Pertamina meyakinkan sang birokrat. Sungguhpun, Direktur Pengembangan Pertamina Satoto Agustono beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa biaya pengeboran per sumur minyak (hanya) sekitar Rp150 milyar.

Caturdarma butir kedua, menurut Jero, adalah Kurangi Impor BBM. Khusus untuk hal ini, Jero menjelaskan bahwa pemerintah dalam posisi sulit, apalagi untuk menutup keran impor BBM. “Sumberdaya dan kapasitas kita masih jauh dari mencukupi. Meski begitu sebisa mungkin impor menguntungkan kita, tidak bikin buntung.”

Caturdarma ketiga dan keempat tiap-tiapnya membahas Peningkatan Energi Baru dan Terbarukan --sebuah program yang sedang gencar-gencarnya pula dikampanyekan Pertamina dan Kementerian ESDM, dan Pola Hidup Hemat Energi.


Jero agaknya mulai mengeluh dengan gaya hidup masyarakat kita yang masih abai dengan perlunya penggunaan energi secara tepat, baik itu minyak, gas, ataupun listrik. “Hemat energi itu konsep keadilan sosial, sudah lama kita percaya, cuma sulit dihidupkan. Mengapa? Saya juga bingung. Mungkin karena semua dari kita ingin merasakan AC yang dingin dan minyak yang murah sekaligus.” Sampai-sampai, lewat sebuah inspeksi mendadak pada 27 Agustus lalu, sang Putra Bali membuat dua-tiga pengendara mobil mewah gugup gelagapan karena kepergok mengisi premium dari sebuah SPBU di Jakarta Utara.

Sementara pemerintah bingung menambah kapasitas listrik yang saat ini sekitar 50.000 megawat (pada 2004 hanya sekitar 25.000), di sisi lain tuntutan penggunaan energi baru-terbarukan mulai mendesak. Indonesia menurut data Kementerian ESDM 2013, memiliki proyeksi stok energi baru-terbarukan sekitar 150.000 megawat.

Sumber energi geothermal yang saat ini masih berpusat di sekitar Gunung Salak di Jawa Barat dan tanah tinggi Dieng di Jawa Tengah menyumbang sekitar 30.000 MW, energi tenaga-hidro sekitar 70.000 MW, dan energi surya plus biomassa menyumbang sekitar 50.000 MW. Dengan angka-angka ini, bisa dipastikan keterpenuhan energi Indonesia aman sampai setidaknya 30 tahun mendatang. Sayangnya, lagi-lagi, semua terkendala kapital domestik. Mungkin tidak cuma Jero yang khawatir. Bujuk-rayu perusahaan asing memang mulai panas jelang dibukanya gerbang Pasar Bebas 2015.

Jero Wacik mengaku mencintai Pertamina. Dalam pidato yang sama ia memberi jaminan bahwa siapapun yang berniat memajukan sektor energi Indonesia, dan sanggup, ia secara pribadi maupun lembaga akan terdepan mendukung, dan membelanya untuk urusan pertimbangan apapun. Hadirin bertepuk tangan, tak terkecuali beberapa dosen --yang menurut bisik-bisik teman-- akan segera merapat ke jajaran pejabat BUMN plat merah.

Dalam sebuah laporan Rakyat Merdeka Oktober 2012 lalu, Jero tidak mau disebut sebagai seorang pejabat yang sekadar nasionalis. “Saya ini nasionalis, tapi juga berpikir rasional. Saya bukan nasionalis emosional yang asal-mendukung semua kebijakan popular, dipuja-puji rakyat, tapi luput mempertimbangkan hitung-hitungan masa depan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun