Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Cerita di Balik Verifikasi Biru

2 November 2014   19:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:52 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14149158291752506103

[caption id="attachment_371406" align="aligncenter" width="600" caption="Verifikasi Biru Kompasiana/Kompasiana"][/caption]

Mendebatkan sebuah pembaruan merupakan bukti kepedulian. Mengkritik fitur adalah satu cara menguji pemahaman kepengelolaan. Sementara menemukan cerita-cerita di baliknya bisa jadi kesenangan tersendiri  meskipun, tak melulu harus dibarengi pembenaran ataupun penerimaan. Seperti kata para ilmuwan, inovasi selalu dimulai dari masalah. Tak terkecuali yang satu ini, yang cerita latarnya justru terangkum dalam sebuah kopi darat sederhana yang melepas rindu.

Sabtu 1 November 2014 kemarin, lebih dari 150 kompasianer, wartawan, dan mahasiswa berkumpul di aula utama Bank Indonesia Kantor Perwakilan Yogyakarta dalam acara Nangkring Spesial berjudul: “Stabilitas Sistem Keuangan”. Sebuah tema yang cukup mengerutkan jidat --yang reportasenya akan menyusul atau mungkin sudah mulai ditulis beberapa teman. Dan demi melonggarkan kembali otot-otot di kepala dan melemaskan sendi-sendi setelah duduk lama di dalam ruangan berpendingin udara, kompasianer memutuskan kembali ke kodrat batiniahnya: berkumpul, ngobrol ngalor-ngidul, tertawa, makan-makan, dan mencari cahaya (tentu saja untuk foto-foto).

Maka begitu saja, sekeluar dari aula di ujung sore, segerombol kompasianer (di antaranya saya, Enggar Murdiasih, Selsa, Ratih Purnamasari, Septi Yaning, Dwi Suparno, Ang Tek Khun, Dimas Suyatno, Anang Setiawan, Hendra Wardhana, Jhon Man Wagiman, Aziz Abdul Ngashim, Arif L. Hakim, berembuk di dekat meja makan biar tahu ke mana kaki akan melangkah. Sayangnya, beberapa kompasianer lain seperti Dyah Restyani, Arifah Wulansari, dan Iswanto Junior harus pulang lebih dulu karena alasan berbeda-beda. Sementara pak kepala suku Isjet, sang community editor dan satu-satunya yang dandanannya masih rapi dengan kemeja garis merah muda yang ujungnya dimasukkan ke celana dan rambut klimis mengkilap, manut-manut saja ke mana kami akan menculiknya. Walhasil, sebuah angkringan ala Pendopo Ndalem di daerah Ngasem jadi yang beruntung. Iring-iringan sepeda motor kami tiba setengah jam sebelum waktu buka.

Di meja makan, berbagai bahasan ditukarkan lewat mulut dan telinga. Butir-butir kacang porak-poranda jadi tumbal sambil menunggu hidangan utama. Hati mengangguk-angguk pelan saat ada yang masih ngganjel ataupun yang perlu ditanyakan tapi tiba-tiba lupa. Bunda Selsa banyak menanyakan teknis dashboard yang kerap menyulitkannya; Pak Ang Tek Khun memberi masukan terkait prospek bisnis Kompasiana, sementara Hendra Wardhana dengan senang hati menceritakan pengalamannya berurusan dengan sebuah stasiun televisi baru yang memakai foto karyanya tanpa etiket. Sisanya nostalgia dan canda-tawa.

Di selingi cerita-cerita pendek dan kilat-kilat foto, kemudian dibahaslah beberapa poin penting terkait “isu hangat” di Kompasiana, tidak terkecuali Verifikasi Biru, yang ujicobanya baru bergulir belum sebulan ini. Community Editor Iskandar Zulkarnaen mengaku mengikuti dan memahami perdebatan di kalangan teman-teman kompasianer perihal fitur baru ini. Tapi alih-alih mengomentari langsung, Isjet justru bersedia menceritakan awal-mula ide Verifikasi Biru ini lahir.

“Waktu itu saya lagi ngisi latihan kepenulisan di sebuah perusahaan (BUMN?), dan dapat pertanyaan menarik dari peserta.” Isjet membuka ceritanya dengan narasi yang tulus, seiring air mukanya mulai serius. Kulit-kulit kacang dan iPhone 5 kesayangan mulai diabaikannya.

Pertanyaan itu, aku Isjet, berbunyi kurang lebih begini: “Banyak yang anggap konten tulisan di Kompasiana itu tidak bisa dipercaya…”

Pernyataan yang klasik sebenarnya, dan sebagiannya saya pikir mengandung kebenaran. Tapi pertanyaan intinya bukan itu, melainkan yang berikut: “Bagaimana sih kita menandai…membedakan… tulisan-tulisan di Kompasiana… antara yang kredibel (bisa dipercaya, YES), dengan yang tidak?”

Membedakan tulisan yang kredibel dengan yang tidak.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Isjet mengaku bingung harus menjawab apa. “Memang kita akui, ada banyak tulisan di Kompasiana yang muatannya sulit dipercaya,” ujarnya. Isjet tidak mengungkapkan jawaban apa yang diberikannya waktu itu dan apakah jawabannya itu memuaskan peserta pelatihan. Tetapi suatu hal paling tidak telah terjawab: latar masalah timbulnya Verifikasi Biru: keragu-raguan atau ketidakpercayaan.

Segera setelah pelatihan itu, Isjet berembuk dengan anggota admin membahas “bagaimana” menjawab ketidakpercayaan pembaca terhadap konten. Dari situlah konon, tercipta ide verifikasi biru, sebagai jalan untuk memudahkan pembedaan kepercayaan konten di Kompasiana.

“Sudah sejak awal ide itu kami bahas (di tim admin), dan langsung sadar bahwa (kebijakan) ini mungkin akan tidak popular. Ada admin juga yang mengingatkan kebijakan-kebijakan di masa lalu yang imbasnya begitu dahsyat sampai banyak kompasianer memilih berhenti menulis. Tetapi setelah ditimbang-timbang lagi, pangsa pembaca Kompasiana yang semakin luas, kami harus beri pilihan bagi mereka. Verifikasi biru akhirnya lahir untuk pembaca, sebagai alat bantu kemudahan bagi mereka biar tahu mana-mana konten yang tidak perlu lagi dicek ulang kebenarannya.”

Sebuah fitur menganggur di slot tim TI Kompasiana akhirnya dipakai untuk meloloskan tampilan centang biru di akun-akun yang dipilih.

“Oh… saya awalnya kirain centang biru itu error tampilan,” tiba-tiba Aziz Abdul Ngashim menyeletuk. Pemenang Lomba Blog “Film Batas” berhadiah jalan-jalan dan Hometrip ke Entikong Kalbar pada Mei 2012 ini memang sudah tidak sesering dulu menulis (senang bisa ketemu lagi, Zis).

Isjet lalu menjelaskan, lantaran masih dalam tahap ujicoba, tim admin terus bekerja untuk memilih akun-akun yang layak diberi verifikasi biru. “Tanpa tahapan pengajuan lagi, Kompasianer hanya harus menjaga kualitas kontennya, kami akan kasih verifikasi biru.”

Ketika akhirnya Isjet melemparkan pertanyaan kepada kami, “Kalau teman-teman di sini, apa tanggapannya soal verifikasi biru?” Suasana hening sejenak, hanya terdengar centong nasi dan bunyi minyak beradu wajan di kejauhan… tidak satupun menjawab (rahasia hati masih disimpan sendiri-sendiri juga tidak apa-apa). Mas Arif lalu menyelamatkan keadaan, “Kalau menurut saya positif ya. Jadi tanda bagi Kompasiana yang sekarang sudah besar, kalangan pembacanya sudah luas.”

Perbincangan sore kemarin memang bukan melulu serius menampung tanggapan atau membahas solusi. Sedikit banyak, obrolan klarifikasi atau “cerita dari sudut pandang yang lain” akan memberi bentuk penilaian lain ketimbang hanya merespon lewat penglihatan sekilas. Tak terkecuali Verifikasi Biru, ke depan masih akan banyak pembaruan yang dijanjikan tim admin bagi kenyamanan penulis dan juga pembaca Kompasiana. Karena bagaimanapun, situs-situs tandingan mulai bermunculan dan berupaya mengikuti kesuksesan Kompasiana sebagai media warga. Inovasi atau mati.

“Bisnis media, sebagaimana bank, adalah bisnis kepercayaan,” saya tetiba teringat penjelasan Heru Murgiyanto, wartawan Kompas.com yang begitu berapi-api mengisi materi dalam sesi kedua acara nangkring satu jam sebelumnya. “Anda jaga kepercayaan pembaca, sampai kapanpun Anda akan menebarkan inspirasi.”

Isjet menjanjikan beberapa inovasi ke depan bagi Kompasiana dimulai 2015 (saya anggap sebagiannya off the record dan menunggu pengumuman resmi admin lewat tulisan). Selama lebih dari 2 jam duduk-makan dan mengobrol di Pendopo Ndalem itu, memang tidak banyak hal serius yang dibahas. Tapi dari yang sedikit ini, saya sebagai penulis mungkin merasakan hal yang sama saja dengan Pak Khun yang duduk persis di samping saya, atau dengan Bu Enggar yang di banyak kesempatan asyik mengobrol sendiri bareng Bunda Selsa di ujung meja satunya.

Kalau kecintaan pada hobi sifatnya mutlak, maka kecintaan pada Kompasiana seperti kisah abege yang masih mencari-cari, gampang marah tapi lama-lama berpisah ya rindu juga. Saya suka tersenyum sendiri setiap membaca tulisan “Saya pamit” dari satu-dua teman yang mengaku kuciwa dengan kebijakan admin. Tetapi senyuman yang sama terkembang juga sewaktu seminggu kemudian, melihat lagi akun-akun mereka muncul kembali dan memuat tulisan baru. Bukti jelas, hobi yang dibumbui koneksi sulit diredam atau dibendung. Bukannya itu alasan kenapa bisnis media sekarang membentuk komunitas serupa untuk saing-menyaingi?

Akhirnya begitu saja, acara nangkring selalu menyisakan cerita dan tanya. Teh rempah dan bungkus-bungkus nasi kucing pemanis cerita dan penghias foto. Tidak semualah kegusaran harus terjawab. Termasuk, kegusaran saya melihat Isjet yang rapi pulang dibonceng motor tanpa pakai helm. Semoga tidak kena tilang polisi di malam minggu.

------------------------

Baca juga:

Verifikasi Biru Kompasiana di Mata Saya (Pemula) Biyanca Kenlim

Kompasianer Bicara Centang Biru | Masluh Jamil

Verifikasi Biru, Lingkaran Biru, dan Bajaj Biru | Novaly Rushans

*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun