Saat itu kami belum mengenal teknologi bernama handphone. Sepulang dari sekolah kami habiskan waktu dengan bermain bersama. Melihat Teletubbies yang tayang tepat jam 10 pagi, bersepeda di depan rumah, bermain petak umpet, gobak sodor, congklak dan permainan tradisional lainnya. Kami tidak takut kotor dan tidak takut kepanasan. Bersenang-senang, itulah yang kami pikirkan.
Media bermain kami juga sangat sederhana. Bukan permainan modern dengan barang-barang mahal. Pecahan genteng di sebelah rumah kami manfaatkan sebagai piring saat bermain masak-masakan. Batu bata kami susun menjadi kompor. Daun singkong atau bunga tanaman hias milik tetangga kami jadikan bahan memasak. Meskipun ujung-ujungnya kena marah karena merusak tanaman milik mereka.
Kami banyak belajar dari alam. Bermain dalam hujan maupun teriknya matahari, yang mungkin membuat kami lebih kebal. Saat ada teman yang terluka atau jatuh, cukup kami carikan daun wedusan (bandotan) yang telah digulung dan kami tempelkan pada bagian tubuh yang terluka. Bisa juga getah daun yodium yang ampuh untuk menghentikan pendarahan.
Oh ya, ada juga hal yang paling kami benci saat itu, namun paling kami rindukan saat dewasa. Yups yaitu tidur siang. Ketika ada teriakan dari para orangtua kami, artinya kami harus meninggalkan segala permainan dan bersiap untuk tidur siang. Yang menurutku sangat menyebalkan.
"Nanti kalau sudah besar kamu ingin jadi apa?" Tanya gadis kecil berponi.
"Jadi apa? Ya jadi manusia lah." Jawabku sambil berpikir keras.
"Bukan seperti itu. Kalau aku ingin jadi dokter." Bantah gadis kecil berponi sambil menyeruput es teh nya.
"Aku ingin jadi apa ya? Polisi aja deh biar bisa menangkap penjahat." Balasku.
Begitu lah kami mulai membahas cita-cita meskipun sering berubah-ubah seiring waktu.
"Eh, dari teman sekelas ada yang kamu suka nggak?" Tanya gadis kecil berponi kepadaku.
"Aku suka semuanya." Jawabku tanpa pikir panjang.
"Loh nggak boleh harus ada satu orang yang disukai."
"Kenapa seperti itu? Hmm, yaudah aku suka Marks aja deh. Soalnya dia punya banyak permen."
"Kalau aku suka sama Alfan. Berarti mulai sekarang aku pacarnya Alfan, kamu pacarnya Marks." Balas gadis kecil berponi sambil senyum-senyum.
"Pacar itu apa ya?" Tanyaku polos.
Begitu lah masa kecil kami habiskan. Berimajinasi dan membayangkan hal-hal yang menyenangkan dengan pemikiran polos dan lugu. Bersekolah, makan, tidur, bermain, mengaji, dan bersenang-senang. Kami belajar banyak hal dan tumbuh dengan baik.
Ah, saat itu memang masa-masa menyenangkan yang sulit ditemui saat ini. Sekarang dengan semakin majunya teknologi, anak-anak lebih suka bermain gadget dibandingkan bermain diluar rumah. Permainan-permainan tradisional juga sudah banyak dilupakan.
Mungkin kami generasi 90-an beruntung karena masih sempat bertemu dengan masa-masa itu. Disamping itu kami juga beruntung karena bisa menikmati kemajuan teknologi yang sangat bermanfaat bagi kehidupan seperti saat ini.
Eits, tapi masa-masa itu masih bisa diulang lagi kok. Coba deh sesekali ajak adik ataupun anak anda bermain seperti yang kita lakukan dulu. Sejenak menjauhkan anak-anak dari gadget dengan permainan tradisional seperti congklak, gobak sodor dan sebagainya. Pasti seru.
Malang, 29 April 2020