Saat langit berganti warna, senja terakhir memudar,
Rinduku tak lagi hanya bisik, tapi teriakan yang liar.
"Suka yang mustahil," katamu, dan senyummu bertanya,
Tak kau tahu, mustahilku adalah dirimu, seindah puisi yang tak pernah usai.
Setiap pandang, kau adalah bintang yang tak bisa kugapai,
Cahaya yang abadi, memudar dalam hening hati.
Jarak ini bukan lagi halangan, tapi sebuah janji,
Untuk mencintai tanpa batas, di antara sunyi dan harapan yang abadi.
Mustahilku adalah sebuah keyakinan yang bersemi di kalbu,
Bahwa suatu hari, dalam takdir yang tak terduga,
Garis yang memisahkan kita akan bersatu.
Sebab cinta, lebih kuat dari sekadar jarak, ia adalah takdir itu sendiri.
Maka, biarlah senja menjadi saksi, biarlah rindu menjadi pemandu, Sampai mustahil itu menjadi mungkin, dan kita menyatu, Dalam keindahan yang tak terlukiskan, di bawah langit yang sama.
Seutas senja melukiskan rindu di matamu,
Di antara kata yang melayang, "aku suka yang mustahil."
Senyummu merekah, bertanya, "contohnya?"
Aku tak menjawab, hanya membiarkan angin berbisik.
Kau tak tahu, mustahilku itu adalah keindahan yang tak tergapai.
Ia adalah bintang paling terang, yang kulihat dari bumi.
Jarak itu, adalah tantangan yang kupeluk,
Sebab dalam penantian, ada makna yang tumbuh.
Dan di antara hening, sebuah jawaban meluncur pelan,
"Suka sama kamu."
Saat itu, waktu seakan berhenti.
Mustahilku adalah kamu.
Dan tantanganku, adalah keyakinan bahwa suatu hari,
Mustahil itu akan menjadi mungkin,
Dan langit akan menjadi saksi.
Unnes, 24/09/2025
Afid Alfian A.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI