Pendahuluan: Meja Kayu, Asap Kopi, dan Cerita yang Tak Terduga
Hidup sering kali menghadirkan kejutan. Kadang bukan kejutan berupa undian mobil mewah atau hadiah kuis televisi, melainkan kejutan yang membuat kita bengong sambil mengucek mata: bagaimana bisa saya, orang biasa dengan baju Madura sederhana, mendadak duduk semeja ngopi dengan tiga tokoh paling kontroversial di dunia?
Awalnya, saya pikir ini sekadar mimpi setelah begadang kebanyakan nonton berita internasional. Tetapi ketika aroma kopi tubruk menyeruak, gorengan tempe mendoan masih panas di meja, dan suara tawa terdengar begitu nyata, saya sadar: ini bukan mimpi. Ini simulasi kehidupan yang lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.
Sore itu saya duduk di warung kopi bambu sederhana. Tidak ada AC, tidak ada sofa kulit, hanya bangku panjang dari kayu jati yang agak miring. Ketika saya sibuk meniup kopi panas agar bisa diseruput tanpa melukai lidah, seorang pria berbadan tambun dengan potongan rambut "high and tight" masuk. Tidak salah lagi: Kim Jong Un.
Kim tidak banyak basa-basi. Ia langsung duduk, tersenyum tipis, lalu berkata, "Saya dengar kopi di sini bisa bikin orang langsung merasa saudara."
Saya nyaris tersedak. Bukankah biasanya dia bicara tentang rudal dan nuklir? Tapi kali ini, wajahnya lumer seperti gula jawa yang baru dilelehkan. Saya sodorkan secangkir kopi hitam. Begitu ia seruput, matanya berbinar.
"Rudal tidak bisa bikin orang akrab," katanya. "Tapi kopi... ah, ini senjata perdamaian."
Kami pun tertawa. Saya tidak menyangka bisa bercakap ringan dengan sosok yang di berita selalu tampil serius dan misterius.
Baru saja obrolan saya dan Kim mulai hangat, seorang pria dengan wajah dingin, berkacamata hitam, dan jalan penuh percaya diri masuk ke warung. Ia tidak perlu memperkenalkan diri: Vladimir Putin.
Kalau Kim datang seperti tamu yang ingin berbaur, Putin datang seperti pemilik kafe. Ia langsung memesan espresso, tentu tanpa gula. Katanya, pemimpin sejati tidak butuh manis buatan.