“Maaf kalau kamu menganggap aku terlalu aneh, tapi jujur aku nggak suka kalau ada cewek lain yang deket sama kamu, aku nggak mau perhatianmu buat aku terbagi. Terserah kalau kamu menganggap aku aneh, kamu boleh menjauh dariku kalau kamu tak suka sikapku.”
Bodoh, mendengar ucapanmu dalam tangis yang makin menjadi aku semakin bodoh, saat itu butiran air mata yang keluar dari matamu menjadi-butiran benih-benih harapan dihatiku yang semakin lama kian membesar.
Terlanjur aku menyayangimu, untuk menjauh darimu itu sungguh tak mungkin, saat itu aku merasa kau semakin butuh atas hadirnya diriku di hidupmu, maka, aku memilih kamu, dibanding wanita yang jelas-jelas menaruh harapan besar atas diriku. Gadis itupun menjauh, seiring sikapku yang semakin tak acuh.
Bulan berlalu semenjak pristiwa itu, aku berusaha semakin mengerti dirimu, begitupun kamu yang semakin menunjukan perhatiannya atas diriku.
Hingga pada akhirnya, aku merasakan perubahan sikapmu, setelah aku yakin sepopotong hati ini akan ku jaga hanya untuk cinta yang tak pernah terungkap, tapi tirai yang menghalangi semakin tersingkap.
Tapi apakah yang terjadi? Aku merasa kini sedang kau jauhi. Apakah ada sikapku yang membuatmu tatu ati? Ah! Mungkin itu hanya perasaanku sebagai efek atas rasa yang semakin menyayangi. Mungkin saja kini kau tengah sibuk dengan pekerjaanmu yang membuatmu tak sempat lagi minta ditemani.
Aku mencoba bertahan, meskipun semakin hari perubahan sikapmu semakin ku rasakan, ingin bertanya takut membuatmu tidak nyaman, terlebih mengaku rindu, sungguh diri ini tak memiliki keberanian karena memang dari dulu aku dan kamu tak pernah ada kata pacaran, jadi biarlah rindu ini ku tahan, bertahan dalam rasa penasaran, yang ternyata berujung benar-benar menyakitkan karena tanpa ada angin tanpa ada hujan tiba-tiba aku melihat storymu telah bertunangan.
Pedih, sebagai seseorang yang selama ini dekat denganmu, aku samasekali tidak tahu kabar bahagiamu, meskipun menyakitkan bagiku setidaknya tidak gara-gara ini kau menjauh. Apa salahnya memberi kabar padaku tentang kebahagiaanmu? Terlebih aku yang bertahun-lamanya menjadi buku harianmu. Hmm, benar-benar nazibku seperti buku, dihias, ditulis, dibuka setiap hari, tapi itu saat dibutuhkan, setelah habis kau corat-coret, aku terbuang dan terlupakan.
Maaf aku menghilang tanpa mengucapkan kalimat sayonara, tapi aku rasa itu perlu untuk menata hati yang telah porak-poranda. Kau tertawa, dan mengatakan tulisan ini terlalu berlebihan dan mengada-ada, itu semua karena kau tak tahu pedihnya terluka. Atau kau akan mengatakan ini perasaan yang aneh? Hmm yang aneh itu dirimu,, cowok dijadikan buku harian setiap hari, merupakan cowok normal jika tumbuh rasa sayang.
Cukup lama aku menghilang dari hidupmu, hingga suatu hari kau kembali datang.
“HP kamu bunyi, niih! Berisik! Angkat dong!” ucap kawanku dengan lantang.
Aku yang lagi nyuci baju di belakang nyaris jatuh terjengkang. Aku berlari dan ngecek siapa yang telpon, kaget saat tau yang menelponku nomor yang sampai saat ini masih ku hafal diluar kepala.
Whatsapp dari nomor ini telah ku blokir, tapi telpon selulernya belum, sehingga nomor ini masih bisa telpon menggunakan seluler.
“Halo,” ucapku dengan ragu-ragu, dalam hati masih meyakinkan diri, benarkah ini kamu yang menelponku?