1. Emas merepresentasikan Keyakinan Empiris. Nilainya dibuktikan oleh ujian waktu yang brutal. Ia adalah filsafat realis: "Aku ada karena aku telah ada."
2. Bitcoin merepresentasikan Keyakinan Rasionalis. Nilainya dibuktikan oleh logika matematika dan desain sistem yang elegan. Ia adalah filsafat idealis: "Aku ada karena aku dirancang untuk menjadi ada."
Kita, sebagai investor dan manusia modern, terjepit di antara dua kutub keyakinan ini. Menolak emas terasa seperti menolak akal sehat sejarah. Menolak Bitcoin terasa seperti menolak akal sehat teknologi.
Mungkin, langkah paling bijaksana adalah menjadi "Agnostik yang Berinvestasi".
Kita mengakui bahwa kita tidak tahu pasti masa depan nilai. Oleh karena itu, kita mendiversifikasi tidak hanya berdasarkan aset, tetapi juga berdasarkan sumber keyakinan.
* Sebagian keyakinan kita titipkan pada batu yang telah membuktikan ketahanannya (Emas).
* Sebagian keyakinan kita titipkan pada kode yang menjanjikan ketahanannya (Bitcoin).
Dengan begitu, kita tidak sekadar berinvestasi. Kita menjadi kurator dari masa lalu sekaligus arsitek bagi masa depan. Kita membangun sebuah "museum keyakinan" dalam portofolio kita, di mana ruang pamer untuk artefak kuno dan ruang eksperimen untuk prototipe futuristik sama-sama mendapat tempat.
Pada akhirnya, nilai tertinggi bukanlah pada emas atau Bitcoin-nya, melainkan pada kebijaksanaan kita untuk tidak memutlakkan salah satu narasi dan merayakan kompleksitas itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI