Di sebuah desa terpencil di Nusantara, terdapat tradisi kuno bernama "Ritual Pengusiran Dosa". Setiap kali musim paceklik tiba atau wabah menyerang, seluruh warga berkumpul di lapangan. Seekor kambing hitam akan dihias dengan kalung bunga kering, lalu para tetua desa akan berdoa sambil meletakkan tangan mereka di atas kepala kambing itu, mengalihkan semua kesialan desa kepada hewan malang tersebut. Kambing itu kemudian diusir ke hutan belantara, sementara warga pulang dengan perasaan lega, yakin masalah mereka telah ikut pergi.
Tradisi ini berlangsung turun-temurun, tanpa pernah ada yang mempertanyakan: mengapa setelah ratusan kali ritual dilakukan, bencana tetap datang silih berganti?
Generasi demi generasi, pola ini merasuk ke dalam nalar sehari-hari.
Dari para petani miskin, seperti Pak Kardi selalu menjadi sasaran empuk. Saat sumur warga kering, mereka berbisik, "Pasti karena Kardi menebang pohon besar di kebunnya tanpa izin. Alam murka!" Padahal, Kardi menebang pohon itu karena terpaksa menjual kayunya untuk biaya berobat anaknya.
Disisi yang lebih terpelajar, ada Bu Dian, guru sekolah desa yang lulusan S1. Ketika metode mengajarnya dikritik, alih-alih introspeksi, dia menghujat di grup WhatsApp, "Dasar orang-orang kampungan! Tidak mengerti pedagogi modern!" Dia menjadikan "kebodohan warga" sebagai kambing hitam untuk menutupi ketidakmampuannya beradaptasi.
Bahkan tingkat elite desa, Kepala Desa dan para tetua melakukan hal serupa dalam skala lebih besar. Ketika proyek pembangunan dam kecil yang dananya digelapkan jebol dan menghanyutkan puluhan rumah, mereka berpidato, "Ini adalah ujian dari Yang Maha Kuasa! Kita harus bersabar!" Takdir sekali lagi menjadi tameng untuk kelalaian dan korupsi.
Suatu hari, bencana terbesar datang. Sebuah longsor dari bukit yang gundul menimbun separuh desa. Dalam kepanikan, mekanisme lama langsung aktif.
Para korban yang selamat, bukannya mengevaluasi mengapa bukit itu gundul setelah puluhan tahun penebangan liar, justru marah kepada Pak Kardi. "Dia yang memulai! Dialah yang pertama menebang pohon besar!" teriak seorang warga.
Bu Dian, yang rumahnya juga tertimbun, menulis status panjang di media sosial. Isinya bukan solidaritas, tetapi umpatan kepada pemerintah kabupaten yang lamban. Kata-kata kasar dan primitif berhamburan dari akun seorang sarjana.
Sang Kepala Desa, dalam konferensi darurat, dengan wajah memelas menyalahkan "ekspektasi warga yang terlalu tinggi". "Bantuan tidak bisa secepat kilat. Rakyat harus memahami kondisi kami," katanya, mengalihkan fokus dari fakta bahwa dana darurat bencana ternyata sudah dikurangi untuk proyek fiktif.