Mohon tunggu...
Adzan Takhyan Firdaus
Adzan Takhyan Firdaus Mohon Tunggu... Teknisi PT. Hade Multi Solusi dan Pelajar di Universitas Pelita Bangsa

Saya memiliki hobi dalam merakit mesin dan mempelajari cara kerjanya, baik mesin-mesin elektronik maupun perangkat keras lainnya. Selain itu, saya juga menyukai dunia programming, di mana saya bisa mengembangkan solusi teknis dan menerapkan keterampilan teknis dalam menciptakan program atau aplikasi. Kombinasi antara minat terhadap teknologi mekanik dan pemrograman memungkinkan saya untuk terus mengembangkan kemampuan analisis dan inovasi di dunia teknik dan perangkat lunak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Benar Cinta kepada Nabi Tanpa Meniru Akhlaknya?

7 Juli 2025   20:31 Diperbarui: 7 Juli 2025   20:42 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Ilustrasi dibuat menggunakan DALL·E oleh penulis. 

Anas bin Malik, salah satu sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah ﷺ, pernah berkata:

“Aku melayani Rasulullah selama sepuluh tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah sekalipun berkata ‘uh’ kepadaku, tidak pernah mencela apa yang kulakukan, dan tidak pernah berkata ‘mengapa kamu lakukan ini’ atau ‘mengapa kamu tidak lakukan itu’.” (HR. Muslim)

Selama satu dekade hidup dalam naungan Nabi, Anas bin Malik menyaksikan langsung akhlak yang luar biasa: kesabaran, kelembutan, dan kasih sayang yang tulus. Ia tidak hanya menghormati Rasulullah karena gelarnya sebagai Nabi, tetapi karena akhlaknya yang memikat dan membuat siapa pun merasa dihormati.

Seperti dikemukakan Hafsa Ahmad dalam laman Al Huda International School, “Umat Islam di seluruh dunia memiliki kecintaan yang mendalam kepada Nabi Muhammad ﷺ. Beliau dihormati tidak hanya oleh umat Islam, tetapi banyak juga non-Muslim yang memuji beliau karena kualitas-kualitas luar biasa dan pesan yang beliau bawa.” (Ahmad, n.d.). Namun, cinta sejati bukan hanya tentang menyebut nama tetapi meneladani pribadi.

Lantas, benarkah cinta kepada Nabi bisa diklaim tanpa meniru akhlaknya?

Konsep Cinta kepada Rasulullah Lebih dari Sekadar Pengakuan

Cinta kepada Rasulullah ﷺ dalam perspektif Islam adalah kecenderungan hati yang memotivasi tindakan. Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa cinta Nabi wajib melebihi cinta pada diri sendiri. Namun, cinta seperti itu bukan sekadar ungkapan lisan.

Kalau kita perhatikan realitas hari ini, banyak orang mengaku mencintai Nabi. Mereka membaca shalawat, mengenakan atribut islami, bahkan membela nama beliau di ruang publik. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari, akhlak beliau jujur, sabar, adil sering tidak tercermin.

Contoh sederhana:
Di media sosial, kita sering melihat orang marah-marah atas nama Nabi, menghina lawan debat, atau merendahkan sesama muslim. Padahal.

Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Artinya, cinta itu tidak bisa hanya berupa klaim. Ia harus diikuti perilaku.

 

Shalawat adalah Ritual yang Menguatkan Kedekatan

Shalawat memang salah satu ibadah yang agung. Al-Qur’an menyebut Allah SWT dan para malaikat bershalawat untuk Nabi. Namun, shalawat bukan sekadar repetisi kata.

Ketika kita membaca shalawat dengan hati yang sadar, itu menjadi pengingat akhlak Nabi. Tapi bila shalawat hanya rutinitas tanpa refleksi, manfaatnya jadi dangkal.

Konteks kontemporer:
Saat ini, teknologi membuat shalawat viral. Audio shalawat di TikTok, status WhatsApp, video YouTube. Ini tentu positif, tapi pertanyaannya: apakah viralitas itu membuat kita lebih sabar seperti Nabi? Lebih jujur? Lebih rendah hati?

Sebagaimana ditegaskan oleh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Sirah:

“Cinta Nabi yang tidak membuahkan amal hanya menjadi slogan yang memudar.”

Akhlak Rasulullah sebagai Bukti Cinta yang Sejati 

Akhlak Nabi ﷺ adalah representasi cinta paling nyata. Jika kita mencintai seseorang, kita ingin menjadi sepertinya.

Dalam hadits Anas bin Malik, kesabaran Nabi menjadi teladan. Ia tidak pernah mencela pelayan meskipun Anas berbuat salah. Ini contoh akhlak yang tinggi, yang jauh lebih sulit dibanding sekadar mengucap shalawat.

Relevansi masa kini:
Ketika umat Islam berinteraksi di ruang digital, ujian akhlak semakin berat. Fitnah, hoaks, caci maki seolah menjadi kebiasaan. Padahal cinta Nabi harus mendorong kita menjaga adab.

Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:

“Cinta sejati akan melahirkan usaha meneladani yang dicinta.”

Inilah yang membedakan cinta sejati dari pengakuan kosong.

Mengapa Kita Harus Meniru Akhlak Nabi?

Kalau kita merenungkan firman Allah:

“Sungguh, pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kamu.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Ayat ini tidak hanya meminta kita mengagumi Nabi, tetapi mengikuti beliau.

Karena itu, pernyataan cinta tanpa teladan adalah kontradiksi. Bagaimana mungkin seseorang mencintai Nabi, tetapi perilakunya justru mencerminkan kebencian dan kesombongan?

 

Argumen logis:

Cinta murni melahirkan keteladanan.

Shalawat memperkuat ikatan batin.

Akhlak membuktikan ketulusan cinta.

Relevansi Cinta Nabi dalam Kehidupan Modern

Di tengah kehidupan modern yang dipenuhi kesibukan dan distraksi digital, cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ sering kali hanya menjadi ekspresi simbolik. Banyak yang merasa cukup dengan mengikuti perayaan Maulid, memakai atribut Islami, atau mengunggah kutipan Nabi di media sosial. Padahal, esensi cinta itu semestinya menumbuhkan perilaku yang mencerminkan akhlak beliau dalam keseharian.

Contohnya, dalam lingkungan kerja atau perkuliahan, kita bisa meneladani kejujuran Rasulullah ﷺ yang konsisten, bahkan ketika sedang menghadapi tekanan. Atau dalam dunia maya, kita bisa meniru kelembutan dan kesantunan beliau dalam menyampaikan kebenaran tanpa mencela orang lain. Inilah bentuk cinta yang actual cinta yang hadir dalam tindakan nyata, bukan sekadar ekspresi emosional sesaat.

Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an, mencintai Nabi berarti “menjadikan beliau sebagai rujukan dalam bertindak dan berpikir” (Shihab, 1999). Dengan kata lain, cinta bukan hanya tentang kagum, tetapi juga tentang ikut menapaki jejak beliau.

Menumbuhkan Cinta yang Mendidik Hati

Cinta kepada Rasulullah ﷺ tidak lahir begitu saja, tetapi tumbuh melalui proses pendidikan hati. Shalawat bisa menjadi pintu masuk untuk mengenal dan mengingat beliau, tetapi proses selanjutnya adalah muraqabah kesadaran untuk mengontrol diri dan bertanya, “Apakah ini mencerminkan pribadi Nabi?”

Cinta seperti ini akan mendorong seseorang untuk tidak hanya fokus pada ritual, tetapi juga memperhatikan akhlak sosial: menjaga amanah, menghormati orang tua, bersikap adil kepada yang berbeda. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa cinta kepada Nabi adalah cinta yang menundukkan ego, bukan membesarkannya. Ketika ego ingin marah, cinta kepada Nabi mengingatkan untuk bersabar. Ketika hati ingin tinggi hati, cinta itu menundukkan agar rendah hati.

Seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Katsir saat menafsirkan QS. Al-Ahzab:21, “Meneladani Nabi adalah bentuk paling nyata dari kecintaan yang benar.” Maka, cinta sejati adalah cinta yang mendorong perbaikan diri secara berkelanjutan.

Cinta kepada Rasulullah ﷺ memang anugerah. Tapi cinta itu baru memiliki nilai bila diwujudkan dalam akhlak. Shalawat adalah bentuk cinta, sedangkan akhlak adalah implementasi cinta. Keduanya tidak bisa dipisahkan.

Jika kita ingin dekat dengan Nabi di akhirat, kita tidak cukup hanya bershalawat. Kita juga harus menjadikan beliau teladan dalam tutur kata, kesabaran, kejujuran, dan kasih sayang.

Semoga tulisan ini menguatkan kesadaran kita bahwa cinta sejati kepada Nabi bukan sekadar klaim, melainkan perjalanan meneladani beliau dalam setiap aspek kehidupan.

Disusun oleh :

Adzan Takhyan Firdaus  (312410043)

Wulan Melinda Sari (312410028)

Nabila Rahmadani  (312410656)

Tiyas Sulis Setyawati  (312410010)

Daftar Referensi

  • Hafsa Ahmad. Love for Prophet Muhammad (SAW) – In the Right Perspective. AISPK – Allama Iqbal School of Pakistan Knowledge. Diakses 2 Juli 2025, dari https://www.aispk.org/love-for-prophet-muhammad-saw-right-perspective/

  • Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen Agama Republik Indonesia.

  • Ibnu Rajab al-Hanbali. Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam. Dar al-Ma’rifah, Beirut.

  • Imam Muslim. Shahih Muslim. Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Kairo.

  • Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Mu’assasah al-Risalah, Beirut.

  • Yusuf al-Qaradawi. Fiqh al-Sirah. Maktabah Wahbah, Kairo.

  • Ahmad Zainuddin. “Budaya Perayaan Maulid Nabi dan Spirit Keteladanan Rasulullah di Masyarakat Muslim.” Jurnal Ushuluddin, Vol. 25 No. 2 (2017). Diakses dari http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ushuluddin/article/view/149

  • Moch. Nur Ichwan. “Religious Symbolism in Urban Muslim Rituals: The Popularity of Shalawat and Majelis Dzikir.” Studia Islamika, Vol. 25 No. 3 (2018). Diakses dari https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/studia-islamika

  • Muhamad Ali. “Constructing the Love of Prophet in Contemporary Indonesia: Between Devotion and Commercialization.” Journal of Indonesian Islam, Vol. 13 No. 1 (2019). Diakses dari https://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/view/784

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun