“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa cinta kepada Nabi adalah cinta yang menundukkan ego, bukan membesarkannya. Ketika ego ingin marah, cinta kepada Nabi mengingatkan untuk bersabar. Ketika hati ingin tinggi hati, cinta itu menundukkan agar rendah hati.
Seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Katsir saat menafsirkan QS. Al-Ahzab:21, “Meneladani Nabi adalah bentuk paling nyata dari kecintaan yang benar.” Maka, cinta sejati adalah cinta yang mendorong perbaikan diri secara berkelanjutan.
Cinta kepada Rasulullah ﷺ memang anugerah. Tapi cinta itu baru memiliki nilai bila diwujudkan dalam akhlak. Shalawat adalah bentuk cinta, sedangkan akhlak adalah implementasi cinta. Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Jika kita ingin dekat dengan Nabi di akhirat, kita tidak cukup hanya bershalawat. Kita juga harus menjadikan beliau teladan dalam tutur kata, kesabaran, kejujuran, dan kasih sayang.
Semoga tulisan ini menguatkan kesadaran kita bahwa cinta sejati kepada Nabi bukan sekadar klaim, melainkan perjalanan meneladani beliau dalam setiap aspek kehidupan.
Disusun oleh :
Adzan Takhyan Firdaus (312410043)
Wulan Melinda Sari (312410028)
Nabila Rahmadani (312410656)
Tiyas Sulis Setyawati (312410010)