Mohon tunggu...
Adytia Prayoga NIM 55525110033
Adytia Prayoga NIM 55525110033 Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Mercu Buana

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diskursus Manajemen Pajak PPh Pasal 22 dan Studi Kasus Interprestasi Makna dan Hakekat Menggunakan Pemikiran Martin Heidegger Being And Time

9 Oktober 2025   18:14 Diperbarui: 9 Oktober 2025   18:14 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2. Dasein Pajak: Wajib Pajak sebagai Dasein dalam Dunia Pajak

Heidegger menyatakan bahwa manusia (Dasein) selalu berada dalam dunia, tidak pernah “di luar” dunia. Oleh analogi, wajib pajak sebagai agen ekonomi adalah Dasein pajak yang “ada” di dunia pajak yang sudah memegang horizon aturan, risiko, sanksi, moral, dan temporalitas.

Sebagai Dasein, wajib pajak tidak sekadar entitas ekonomi pasif, melainkan dialektis: ia memiliki pemahaman awal (pra-pemahaman) atas pajak, mengalami kecemasan terhadap audit, mengambil keputusan strategis, dan merespons horizon perlakuan fiskus. Demikian pula instansi pajak — sebagai “dunia hukum pajak” — mempunyai cara melihat, menafsirkan, dan menerapkan aturan berdasarkan horizon institusionalnya.

Relasi antara Dasein pajak (wajib pajak) dan dunia pajak memunculkan “kesenggangan” (gap) antara makna regulatif dan praktik teknis. Wajib pajak mungkin hanya melihat angka, tetapi instansi pajak mungkin melihat legalitas dan compliance — inilah pergeseran antara makna dan fakta.

3. Temporalitas dan Manajemen Pajak

Konsep waktu sangat fundamental bagi Heidegger: Dasein selalu terikat waktu — masa depan, masa kini, masa lalu. Dalam praktik manajemen pajak, keputusan hari ini (menerapkan strategi, mengajukan pembebasan, menyusun dokumen) adalah ekstrapolasi dari masa depan (bagaimana audit, sanksi, reputasi) dan pembayangan masa lalu (catatan historis, pengalaman audit).

Misalnya, ketika wajib pajak mengajukan fasilitas pembebasan PPh Pasal 22, keputusan ini tidak hanya bersifat “sekadar sekarang”, melainkan dipandang dalam horizon masa depan: apakah ini merugikan cash flow, apakah audit kemudian akan mempersoalkan, apakah kredibilitas akan terganggu. Inilah temporalitas eksistensial: setiap tindakan dalam manajemen pajak adalah “anticipation” (ke depan) yang menyiratkan keterbukaan eksistensi terhadap masa depan yang belum terjadi.

Demikian pula instansi pajak, dalam menetapkan kebijakan atau penafsiran regulasi PPh Pasal 22, mereka harus mempertimbangkan data historis, tren ekonomi, korelasi fiskal ke depan — semua dalam kerangka waktu.

4. Interpretasi Makna Hermeneutik Pajak

Heidegger berfokus pada pemahaman (Verstehen) sebagai aktivitas interpretatif yang dipengaruhi horizon pemahaman yang sudah ada. Dalam ranah pajak, interpretasi norma pajak (UU, PMK, keputusan Dirjen) oleh otoritas dan wajib pajak juga bersifat hermeneutik: perbedaan latar pemikiran, budaya korporasi, pengalaman audit, dan paradigma fiskal mempengaruhi cara norma itu dipahami dan diterapkan.

Dengan demikian, ketika wajib pajak menafsirkannya hanya sebagai beban operasional, atau instansi pajak menafsirkan sebagai instrumen kekuasaan fiskal semata, keduanya mungkin “salah pemahaman” terhadap hakikat pemungutan pajak. Interpretasi makna sejati pemungutan—yakni sebagai relasi keadilan, kontribusi negara, dan tanggung jawab sosial—sering tenggelam di belakang interpretasi teknis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun