Mohon tunggu...
Farid Muadz Basakran
Farid Muadz Basakran Mohon Tunggu... Administrasi - Advokat

#Advokat #Mediator #Medikolegal I Pendiri BASAKRAN dan GINTING MANIK Law Office sejak 1996 I Sentra Advokasi Masyarakat I Hotline : +62816 793 313

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Marak Outsourcing dan Kerugian Konsumen

10 Juli 2023   08:14 Diperbarui: 10 Juli 2023   08:25 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penulis saat ini sedang melayangkan somasi terhadap sebuah perusahaan ekspedisi atau pengantaran barang besar di Indonesia. Masalahnya adalah surat dan dokumen yang dikirimkan oleh mitra kerja penulis sebagai penegak hukum tidak diantarkan oleh petugas pengantar atau kurir dari perusahaan ekspedisi tersebut. 

Surat-surat dari pihak ketiga tersebut tidak diantarkan oleh petugas kurirnya hingga berbulan-bulan lamanya. Yang terlama adalah 5 (lima) bulan tidak diantar oleh kurirnya. Baru setelah somasi dilayangkan datanglah beberapa surat yang sudah lusuh, kotor, dan berbau lembab ke rumah penulis.

Setelah penulis berdialog dengan petugas kurirnya, yang diperintahkan oleh pihak perusahaan menemui kami sekeluarga dan meminta maaf, terungkap bahwa petugas kurir tersebut awalnya merupakan tenaga outsourcing (alih daya) sebuah Yayasan untuk dialihdayakan pada perusahaan kurir tersebut sejak tahun 2019. Baru 5 (lima) bulan terakhir ini, petugas kurir tersebut beralih status sebagai mitra dari perusahaan tersebut, bukan lagi tenaga outsourcing.

Yang cukup mengagetkan penulis adalah, mitra tersebut hanya dibayar Rp. 1.550,- / Resi, ditambah uang bensin sebesar Rp. 10.000,- / hari, dan data internet sebesar Rp. 50.000,- / bulan. Hal ini tidak lebih baik ketika petugas kurir masih berstatus sebagai tenaga outsourcing, digaji bulanan, namun ketika tidak masuk gajinya dipotong. Bagi penulis tenaga outsourcing atau tenaga mitra seperti tidak lain hanyalah sebuah perbudakan di zaman modern.

Dengan tingkat kesejahteraan seperti itu apalagi ditambah seorang istri dan satu anak saja tidak mungkin mencukupi kebutuhan hidup di desa sekalipun. Tingkat kesejahteraan bagi pekerja yang rendah menimbulkan godaan bagi pekerja atau tenaga outsourcing atau mitra untuk melakukan penyimpangan dan memanipulasi kiriman yang menjadi beban kerjanya. Tidak terkecuali dengan petugas kurir yang perusahaannya sedang penulis somasi.

*****

Siapakah yang dirugikan ? Perusahaan belum tentu dirugikan bahkan cenderung berlepas tangan atau berlepas tanggungjawab, paling tidaknya hanya nama baik perusahaan dan brand perusahaan tersebut yang dirugikan. Kerugian terbesar ada pada konsumen. Akibat dari perbuatan para tenaga outsourcing atau mitra seperti diatas, kerugian terbesar akan dialami oleh konsumen (pengirim dan penerima kiriman) sebagai konsumen dari jasa pengiriman tersebut. 

Penulis pernah menulis mengenai masalah outsourcing ini pada 12 November 2012 dengan judul BUMN Memakai Outsourcing dan Kerugian Bagi Konsumen > https://www.kompasiana.com/advokat-faridmuadz/550972aba33311af4d2e3a0c/bumn-memakai-outsourcing-dan-kerugian-bagi-konsumen. 

Sebelum adanya UU Cipta Kerja, masalah outsourcing terutama di BUMN sudah mulai menyeruak ke permukaan. BUMN-BUMN seperti PLN dan TELKOM memakai tenaga outsourcing untuk pasang atau cabut jaringan ke konsumen. Disamping BUMN lainnya yang juga memakai tenaga outsourcing. 

Bahkan instansi pemerintahan juga akhir-akhir ini memakai jasa perusahaan outsourcing untuk beberapa pekerjaan seperti tenaga security, cleaning service, dan maintenance. Sepanjang tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya itu tidak menjadi persoalan. Namun ketika tindakan tenaga outsourcing itu menimbulkan akibat hukum berupa kerugian bagi konsumen, maka perusahaan pengguna tenaga outsourcing ini akan berupaya semaksimal mungkin berlepas tangan dan berlepas tanggung jawab hukumnya.

*****   

Masalah outsourcing atau alih daya dalam masalah ketenagakerjaan kembali menyeruak ke permukaan ketika RUU Omnibus Law menjadi perbincangan hangat publik antara tahun 2019 hingga pertengahan tahun tahun 2020 hingga terbitnya UURI No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aksi unjuk rasa besar-besaran dilakukan oleh kalangan serikat buruh di Indonesia bahkan ditengah pandemi COVID-19 tengah berlangsung. 

Hal inilah yang membuat sebagian kalangan masyarakat dan serikat buruh kemudian mempersoalkan ketentuan outsourcing dan beberapa masalah krusial lain dalam UURI No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja melalui upaya Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi yang akhirnya melahirkan Putusan Mahkamah Konsitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan bahwa UURI No. 11 tahun 2020 mengandung cacat prosedural pembentukan undang-undang dan  memerintahkan agar UURI No. 11 tahun 2020 diperbaiki. 

Bagi pemerintah Putusan Mahkamah Konsitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 disalahartikan dengan mengeluarkan Perppu No.  2 tahun 2022 yang kemudian disahkan oleh DPR RI sebagai UURI No. 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 tahun 2022 menjadi UU.  Terbitnya UURI No. 6 tahun 2023 kembali menmbulkan reaksi keras dikalangan masyarakat terutama kalangan serikat buruh. Terbitnya UURI No. 6 tahun 2023 ibarat hanya mengganti baju saja, badannya tetap sama. 

Menurut penulis tenaga outsourcing atau tenaga alih daya tidak lain hanyalah sebuah praktek perbudakan modern yang dikemas dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Semoga bermanfaat

FARID MU'ADZ BASAKRAN

Advokat dan Mediator  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun