Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

[FULL NOVEL] PENDHARAKA: Fantastic Four Nusantara - Bab 1

30 Mei 2025   08:57 Diperbarui: 20 Juni 2025   09:52 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 1: Tanah yang Bergetar

Sebelum lanjut, baca Prolog di sini.

Jika suka dengan cerita ini, jangan sungkan like dan comment, akan sangat berarti bagi tim penulis.

Desa Ciptagelar terhampar damai di lekuk perbukitan Priangan, seolah dilindungi oleh lengan-lengan hijau Gunung Halimun yang menjulang di kejauhan. Udara pagi masih menggigit kulit, namun embun sudah menguap dari pucuk-pucuk padi yang mulai menguning di petak-petak sawah bertingkat. Tanah, pemuda tujuh belas tahun dengan bahu yang mulai melebar dan tangan yang kasar oleh kerja, menancapkan cangkulnya ke bumi gembur. Setiap ayunan adalah doa, setiap gumpalan tanah yang terbalik adalah harapan. Di sampingnya, ibunya, Bi Asih, dengan cekatan menyiangi gulma, sementara adiknya, Laras yang baru berusia tujuh tahun, mengejar capung di pematang.

Tanah adalah anak petani, sama seperti ayahnya, Kang Soma, dan kakeknya sebelum itu. Hidup mereka terikat pada ritme musim: menanam saat hujan pertama turun, memanen saat kemarau memberikan restu. Bagi Tanah, tanah bukan sekadar tempat berpijak atau media bercocok tanam. Ia merasakan denyutnya, kehangatan napasnya setelah hujan, getaran halusnya saat akar-akar merayap mencari air. Ia pemalu, lebih banyak berbicara dengan gerakan dan tatapan mata daripada untaian kata. Namun, di balik sifat pendiamnya, kesetiaan pada keluarga dan desanya terpatri dalam.

Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, dimulai dengan kesederhanaan. Suara lesung bertalu-talu dari kejauhan, aroma singkong bakar menguar dari dapur-dapur sederhana, dan tawa anak-anak yang bermain ucing sumput di antara pepohonan rindang. Kang Soma sedang memperbaiki saluran irigasi yang sedikit mampat, suaranya sesekali terdengar memberi petuah pada Tanah tentang pentingnya menjaga aliran air agar sawah mereka tak kekeringan.

"Ingat, Tanah," ujar Kang Soma, menyeka keringat di dahi dengan punggung tangannya yang kapalan. "Air itu sumber kahirupan. Tanpa air, tanah ini hanya jadi debu. Sama seperti kita, tanpa semangat, kita hanya raga tanpa jiwa."

Tanah mengangguk paham, mencerna setiap kata ayahnya. Ia mengagumi ayahnya, pria sederhana dengan prinsip yang kokoh, yang selalu mengajarkan tentang kehormatan dan kerja keras.

Namun, kedamaian pagi itu terkoyak tanpa peringatan. Dari arah jalan utama desa, suara derap langkah yang berat dan seragam semakin mendekat, diselingi denting logam beradu. Suara yang tak asing lagi bagi penduduk desa, suara yang selalu membawa firasat buruk. Pasukan Kompeni. VOC.

Wajah-wajah ceria seketika menegang. Para perempuan cepat-cepat menarik anak-anak mereka masuk ke dalam rumah. Para lelaki menghentikan pekerjaan mereka, tatapan waspada terpancar dari mata mereka. Kang Soma menegakkan tubuhnya, cangkul masih tergenggam erat di tangannya. Bi Asih mendekat, wajahnya pias.

"Kang..." bisiknya cemas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun