Sesaat setelah melewati salah satu gerbang batu kuno di kompleks Masjidil Aqsa, pandanganku disambut oleh hamparan pelataran suci dengan Kubah Shakhrah (Dome of the Rock) yang berkilau keemasan di bawah langit sore Yerusalem. Hati saya bergetar; inilah Masjidil Aqsa, masjid tersuci ketiga dalam Islam, yang selama ini hanya bisa saya bayangkan dalam doa. Napas saya tercekat oleh haru, akhirnya kaki ini menginjak tanah yang menjadi saksi peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW, tempat di mana beliau shalat sebelum naik ke langit ketujuh. Air mata menetes tanpa bisa saya bendung. Dengan penuh syukur, saya melangkah perlahan, menyadari bahwa tempat ini dulu merupakan kiblat pertama umat Islam sebelum arah kiblat dipindahkan ke Ka'bah di Mekkah. Di setiap jengkal batu yang saya pijak, ada getar sejarah dan spiritual yang luar biasa kuat.
Saya menengadah, menyapu pandangan ke sekeliling Al-Haram asy-Syarif, sebutan untuk kompleks Masjidil Aqsa yang luas ini. Terlihat beberapa menara azan (minaret) berdiri tegak di penjuru kompleks, dan pepohonan zaitun tua menghiasi halaman, seolah menjadi saksi bisu waktu. Langit Yerusalem cerah; sinar matahari sore menyepuh batu-batu krem kuno di pelataran dengan cahaya keemasan lembut. Di kejauhan, tampak peziarah lain duduk bersila di bawah naungan pohon, ada yang berdoa khusyuk, ada pula yang membaca Al-Qur'an. Hati saya kembali diliputi haru melihat saudara seiman dari berbagai penjuru dunia berkumpul di tempat suci ini. Dengan suara bergetar, bibir saya berbisik, "Subhanallah, alhamdulillah," memuji kebesaran Allah atas kesempatan yang diberikan. Setiap langkah memasuki area masjid saya awali dengan basmalah, meresapi aura sakral yang menyelimuti udara. Terbayang di benak saya kisah Khalifah Umar bin Khattab yang pertama kali membangun tempat shalat sederhana di area ini pada abad ke-7, tepat di selatan Batu Fondasi yang diyakini sebagai titik Nabi Muhammad SAW naik ke Sidratul Muntaha. Kini, berabad-abad kemudian, saya berdiri di sana, dikelilingi bangunan-bangunan yang megah namun tetap memancarkan aura kesederhanaan dan ketakwaan para pendahulu.
Shalat Ashar Berjamaah di Masjid Qibli
Adzan Ashar berkumandang merdu dari pengeras suara di menara, menggema di seluruh kompleks. Suaranya memantul lembut di antara lengkung-lengkung arcade batu. Bergegas saya menuju Masjid Qibli, yaitu bangunan utama Masjidil Aqsa yang berkubah abu-abu perak di sisi selatan kompleks. Di tangga menuju pintu masjid, saya melepas sepatu sambil menenangkan hati yang masih berdebar. Begitu memasuki ruang dalam masjid, semerbak karpet dan udara dingin batuan menyapa. Saya berdiri terpaku sejenak: interior Masjid Al-Aqsa begitu agung. Langit-langitnya tinggi dengan kubah besar di tengah, dihiasi ornamen dan kaligrafi indah berwarna emas dan biru. Pilar-pilar marmer putih berjajar kokoh menopang lengkungan-lengkungan besar di sepanjang ruang. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela kaca patri berwarna warni memancarkan kilau temaram yang spiritual di lantai dan dinding masjid.
Saya berjalan menuju saf terdepan dan mengambil tempat di belakang beberapa jamaah lokal. Tepat di hadapan saya tampak mihrab masjid, sebuah ceruk indah penanda arah kiblat. Mihrab itu berhiaskan mozaik rumit bernuansa hijau emas dan ukiran kaligrafi Arab yang menghiasi tepian lengkungnya. Di sebelahnya berdiri mimbar Salahuddin yang termasyhur, sebuah mimbar kayu berukir cantik dengan motif geometris dan kaligrafi halus hasil karya pengrajin abad ke-12. Konon mimbar asli itu dibuat atas perintah Sultan Nuruddin Zanki dan ditempatkan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi setelah membebaskan Yerusalem. Saya teringat kisah bahwa mimbar bersejarah tersebut pernah hangus terbakar dalam peristiwa kebakaran tahun 1969, namun kemudian Kerajaan Yordania menggantinya dengan replika mimbar baru yang sesuai aslinya. Menyadari saya sedang berdiri di tempat imam pernah menyampaikan khutbah dari mimbar ini, kembali mata saya terasa panas menahan haru.
Tak lama, shalat Ashar berjamaah pun dimulai. Suara imam melantunkan takbir pembuka mengalun mantap, menggema di ruang masjid yang luas. Saya tenggelam dalam shalat, rukuk dan sujud dengan segenap khusyuk yang belum pernah saya rasakan sedalam ini. Ketika dahi menyentuh lantai sajadah Masjidil Aqsa, air mata jatuh membasahi kain. Dalam hati terlintas: Ya Allah, inilah sujudku di tempat suci-Mu, tempat Rasul-Mu pernah bersujud. Setiap ayat Al-Fatihah yang kubaca terasa begitu syahdu, seolah malaikat turut hadir mengamini. Di tengah shalat, saya sempat mencuri dengar isak halus di sana-sini, rupanya bukan saya saja yang menangis terharu. Rasa persaudaraan menjalar hangat; kami semua berbeda bangsa dan bahasa, namun di sini kami bersatu dalam doa kepada Tuhan yang sama. Usai salam terakhir, saya duduk berdoa panjang, mengucap syukur berulang-ulang sambil menatap lantai masjid yang telah dibasahi air mata. Beberapa jamaah di samping saya mengulurkan tangan, menyalami dan memeluk saya seraya berucap "taqabbalallahu minna wa minkum". Mungkin mereka tahu saya adalah musafir yang terharu bisa beribadah di sini. Sungguh, suasana sakral dan hangat itu sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Menjelajahi Masjid dan Halaman Sekitarnya
Selesai shalat, saya tidak langsung beranjak keluar. Saya duduk sejenak mengamati detail interior masjid yang megah. Di atas mihrab, kubah Masjid Qibli menjulang dengan lukisan dekoratif dan kaligrafi Qur'an melingkar di sekelilingnya. Lampu-lampu gantung kristal besar menghiasi langit-langit, memancarkan cahaya temaram keemasan. Ukiran ayat suci tampak melingkar di tepian dalam kubah, menegaskan kebesaran Allah yang menaungi tempat ini. Beberapa anak kecil bersarung tampak berlari kecil di sela pilar, diikuti teguran lembut ayah mereka, pemandangan yang menghidupkan aura masjid dengan keceriaan, namun tetap terjaga adab. Saya menyapu sisa air mata di pipi, kemudian bangkit untuk berkeliling.
Keluar dari ruang shalat utama, matahari telah condong ke barat namun masih terang. Saya melangkah ke halaman tengah kompleks Al-Aqsa yang luas, menuju ke arah Kubah Shakhrah yang berkilau bagai puncak emas. Hati kecil saya berbisik penuh kagum ketika mendekati bangunan berkubah emas itu: inilah Dome of the Rock yang begitu tersohor itu. Bangunan berkaki delapan (octagonal) dengan dinding berlapis keramik warna biru, hijau, dan emas ini berdiri anggun di atas Batu Sakhrah, batu fondasi tempat Nabi Muhammad SAW memulai perjalanan Mi'raj ke Sidratul Muntaha. Di dekatnya terdapat sebuah kubah kecil berwarna abu di atas beberapa pilar, itulah Qubbat as-Silsilah (Kubah Rantai) yang juga menambah keanggunan arsitektur halaman masjid.Â
Saya menaiki beberapa anak tangga marmer, mendekati pintu masuk Dome of the Rock. Pintu berukir dengan kaligrafi dan pola floral menghadang di depan, namun area dalam kubah sudah ditutup pada jam ini, sehingga saya hanya bisa mengintip sedikit ke dalam melalui celah. Meski tak dapat masuk, saya sudah merasa cukup bersyukur dapat menyentuh dinding luarnya. Kubah emas itu sendiri memesona mata: pantulan sinar matahari membuatnya berpendar, menampakkan detail ukiran ayat suci di sekeliling kubah. Saya teringat bahwa kubah ini dibangun pada akhir abad ke-7 oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan menjadi salah satu ikon arsitektur Islam paling dikenal di dunia. Meski mendapatkan pengaruh dari seni Bizantium dalam desainnya, kubah emas ini memadukan elemen Islam yang menekankan keesaan dan keagungan Tuhan. Berdiri di hadapannya, saya merasa seolah berada di titik pertemuan langit dan bumi, persis seperti filosofi kubah itu sebagai simbol kedekatan antara dunia dan akhirat.
Saya kemudian berjalan menyusuri pelataran utara, melewati lorong-lorong beratap (riwaq) dan taman kecil. Di beberapa sudut, saya melihat jamaah sedang berwudu di sebuah air mancur bersegi delapan kuno, dikenal sebagai Sabil atau tempat wudu bersejarah. Air jernih memercik di batu yang sudah halus termakan waktu. Saya membasuh wajah dengan air, merasakan kesejukan yang memulihkan tenaga. Lalu saya duduk di undakan batu dekat situ, memandangi panorama sekeliling. Terlihat Tembok Barat (Western Wall) menjulang di luar kompleks, mengingatkan bahwa tempat ini juga suci bagi penganut agama lain.Â
Burung-burung merpati terbang rendah melintasi pelataran, beberapa hinggap di kubah-kubah kecil di sekitar Dome of the Rock. Angin petang bertiup lembut, membawa serta lantunan ayat-ayat Al-Qur'an dari pengeras suara, mungkin ada yang tengah bertadarus di dalam masjid. Dalam benak, saya merenungi perjalanan sejarah tempat ini: betapa dahsyat ujian zaman yang telah dilalui Masjidil Aqsa. Saya teringat bagaimana tentara Salib pernah mengubah Masjid Al-Aqsa menjadi istana dan Dome of the Rock menjadi gereja di abad ke-12, membayangkan betapa pilunya tempat suci ini kala itu. Namun Allah menakdirkan Shalahuddin Al-Ayyubi menaklukkan Yerusalem pada 1187 dan mengembalikan fungsi seluruh kompleks ke asalnya sebagai tempat ibadah umat Islam. Kisah-kisah itu terbayang hidup di pelupuk mata saya saat jemari saya menyentuh dinginnya dinding batu yang kokoh, seolah bisa merasakan sisa-sisa jejak peradaban silam yang terpatri di sana.