Mohon tunggu...
Adolf Izaak
Adolf Izaak Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sulit untuk Tidak Mengatakan "Astaga" untuk Markobar

18 Januari 2017   11:13 Diperbarui: 18 Januari 2017   21:36 5633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket foto : Warung Markobar milik Putra RI-1, mas Gibran yang tampil bersahaja (dokumentasi pribadi)

Mengatakan kepada seorang rekan keinginan kuat menikmati Markobar jelang liburan ke Solo, mendapat tanggapan “ngapain jauh-jauh, di jakarta juga ada”. Ooo beda dong kalau dari kota asalnya, sahutku.

Markobar, singkatan Martabak Kota Baru, menjadi target utama saat transit singkat di kota Solo sebelum melanjutkan ke kota lain. Harus kesana!! Penasaran berat! Fans berat martabak ya? Secara selera ngga terlalu fanatik untuk kudapan satu ini. Namun ada sesuatu yang lain yang membuat sengaja ngotot ingin ke sinil

Keinginan yang tak tertahankan berawal secara tidak sengaja membaca salah satu tulisan di Kompasiana: “Surat Terbuka Untuk Gibran Rakabuming”, yang di tulis Ryo Kusumo. Setelah membaca secara tersirat hhhhmmm berarti saya harus siap kecewa jika mengharapkan sesuatu yang “wah”, untuk salah satu usaha bisnis milik Gibran Rakabuming, putra Presiden RI sekarang.

Pertanyaannya, masa iya sich tidak “wah”, khan anak pejabat? bukan cuma anak pejabat, tapi RI-1 lho. Jangan main-main. Ah semakin penasaran. Seperti apa sich bisnis kuliner mas Gibran. Seperti apa sich rasa dari Martabak yang dijual. Terakhir, apakah benar saya akan “kecewa” seperti kesan setelah membaca tulisan Ryo Kusumo.

Tempat Aslinya
Driver mobil rental membawa kami ke sebuah Mall. Kalau tidak salah Solo Grand Mall. Dari pinggir jalan sudah terpampang tulisan besar “MARKOBAR”. Ooo disini. Namun masih ada rasa kurang puas. Apakah di sini termasuk wilayah Kota Baru? tanya ku ke driver. Dijawab, kalau di Kota Baru masih di sana, tidak jauh dari hotel, sahutnya. Maksudnya hotel tempat saya menginap. Di sana pertama kali ada, katanya lagi. Oke kalau begitu kita ke sana, balas ku menutup percakapan.

Astaga! tidak salah nich di sini, spontan ku berucap kepada driver di sebelah saya saat mobil parkir di Jalan Moewardi. Sang Driver meyakinkan saya saat terkejut tadi, “Benar pak disini. Ini yang pertama kali ada. Ini di Kota Baru” Lah gimana ngga terkejut melihat warung makan dengan tenda besar bertuliskan “MARKOBAR”. Letaknya di pinggir jalan. Sepintas tidak ada bedanya dengan warung-warung kuliner di kiri-kanannya. Tidak ada yang spesial dari segi fisik. Tidak ada yang meng-ciri-khas bahwa pemiliknya anak penguasa.


Saat terpana melihat tempatnya, lagi-lagi saya harus yakin ini tempat jualan anak RI-1. Spontan Terkejut, berucap: Astaga…, mungkin sesuatu yang lebay. Mungkin juga wajar. Ya saya merasa wajar dengan keterkejutan ini. Masih terbayang seperti apa bayangan anak-anak pejabat pada umumnya. Mewah, elite, eksklusif.

Menilik asal usul Markobar, pertama kali ada mulai tahun 1996. Pemilik awal seorang warga Solo. Warga biasa. Ngga terkenal. Bukan pengusaha besar di kota Solo. Kemudian usahanya diteruskan anaknya. Hadirlah mas Gibran yang tertarik bermitra sekaligus untuk membesarkan usaha ini. Visi mas Gibran sederhana aja, ingin memajukan jajanan lokal agar dapat meningkatkan baik dari sisi bisnis maupun selera rasa. Maunya Martabak semakin disukai dan menjangkau banyak kalangan. Lokasinya tidak cuma di kota Solo aja tetap juga bisa membuka cabang di kota-kota lain di Indonesia.

Oke, tadi terkejut dengan rupa fisik. Sekarang bicara seperti apa sich martabak yang di jual di Markobar. Yang menjadi ciri khas apa? Manis sudah pasti. Lalu ? Variasi dan cara penyajian yang berbeda.

Umumnya martabak yang banyak di jual, racikan di letakan di loyang berbentuk lingkaran yang bawahnya ada kompor. Setelah matang dan panas, berturut-turut diolesi mentega, ditaburi coklat meses, kacang, keju, wijen dan susu. Variasinya bisa pilih coklat atau keju, atau coklat-keju, yang lebih komplit coklat-keju-kacang-wijen. Setelah di taburi lalu di potong 2, dilipat. Setelah itu di potong kecil dan di masukan ke kotak dus kecil baru diserahkan ke konsumen.

Saya termasuk suka meski tidak sering beli. Belinya pun kebanyakan di “gerai” sederhana pinggir jalan. Sangat nikmat di makan masih panas. Pinggirnya yang garing salah satu favorit. Biasanya selagi masih garing mengambil yang di pinggirnya dulu baru inti-nya.

Yang membedakan Markobar dengan yang lain, pertama penyajiannya tidak dilipat 2 melainkan utuh bundar lingkaran seperti pizza. Kedua, pilihan rasa lebih variasi. Bisa memilih 6 atau 8 rasa yang berbeda. Pilihannya: coklat meses ceres, kacang cokelat, keju polos, keju cokelat, keju kacang, cokelat, Delfi, Oreo, Silverqueen, Cadburry, Nutella, Kit Kat, Van Houten. Kondisinya tidak di campur seperti martabak pada umumnya. Khan tidak dilipat. Sudah di pisah-pisah menjadi 6 atau 8 sesuai pesanan. Terakhir di masukkan dalam kemasan dus seperti Pizza baru diserahkan ke konsumen. Kira-kira begitu. Harganya berkisar 60 – 80 ribu.

Sederhana

Tidak mengecewakan setelah menikmati di kamar hotel. Sebenarnya bisa saja santap di tempat. Sekalian menikmati menu lain seperti Martabak telur dan variasi minuman lain. Kebetulan termasuk suka nongkrong berkuliner di warung-warung pinggir jalan. Cuma saat tiba di sana perut sudah kenyang terisi kuliner yang lain. Selain itu hujan deras mengguyur saat tiba di lokasi. Lebih baik bawa dan makan di hotel saja.

Bagi saya sebenarnya yang lebih dari ke-terkejut-an dari Markobar adalah kesederhanaan. Tidak terbayangkan putra Presiden masih mengelola usaha yang boleh dibilang sederhana. Dibandingkan bisnis milik artis, keluarga pejabat-pejabat lain, rasanya tidak level. Padahal seperti salah satu yang di tulis mas Ryo Kusumo,

“Anda kan anak Presiden, seharusnya anda lebih cocok ada di deretan pemegang saham BUMN, deretan pemegang saham Indofood, Astra, berkolaborasi dengan pengusaha Singapura, atau tentunya duduk bersama dengan para Emir Kerajaan Arab untuk membahas proyek Petrochemical di Indonesia, dengan saham terbesar adalah trah keluarga anda”.

Saya pun terbawa suasana kutipan di atas. Saya tidak kecewa namun masih terbayang warung yang sangat sederhana, yang dikelola bukan warga sembarangan. Sungguh sangat kontras dengan bayangan saya perihal bisnis anak pejabat. Apalagi saat menunggu pesanan tadi hujan deras turun. Cipratan air hujan sempat masuk menerobos tenda yang terpasang.

Teringat seorang netizen yang pernah menyindir usaha jualan Martabak sebagai sesuatu yang kampungan. “Apa susahnya sebagai anak Presiden mendapat soft loan milyaran untuk membangun dinasti kerajaan bisnis kuliner besar. Ngga sulit membangun sebuah resto kaliber internasional yang tamu-tamunya dari kalangan elite”. Ini sich bukan nyindir tapi cemohan kasar. Sempat heboh di dunia maya. Nekad bener ya nulis begitu.

Bukannya tersinggung eee malah mendapat tanggapan santai dari adiknya, Kaesang. “Gapapa, yang penting dari jualan martabak bisa untuk bayar sekolah di Singapore. Saya hepi, Markobar juga hepi,” tulis Kaesang.

Gara-gara Markobar saya jadi tertampar manakala menilik salah satu kehidupan pribadi saya. Menyadari meski bukan dari keluarga pejabat, kepingin sekali menjadi orang elit seperti anak-anak pejabat. Meski sehari-hari sudah akrab dengan kesederhanaan, kepingin sekali keluar dari zona ini. Melepas kesederhanaan beranjak ke status yang lebih oke.

Pelajaran berharga dari jalan-jalan singkat dan mampir di warung Markobar: Sederhana itu indah. Sederhana itu bukan aib yang harus ditinggalkan. Sederhana itu tidak menutup untuk menjadikan hidup berguna. Tuhan bisa memakai manusia yang sederhana menjadi manusia yang memberikan manfaat bagi orang lain minimal di sekitar kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun