Mohon tunggu...
Adolf Izaak
Adolf Izaak Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sulit untuk Tidak Mengatakan "Astaga" untuk Markobar

18 Januari 2017   11:13 Diperbarui: 18 Januari 2017   21:36 5633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ket foto : Warung Markobar milik Putra RI-1, mas Gibran yang tampil bersahaja (dokumentasi pribadi)

Yang membedakan Markobar dengan yang lain, pertama penyajiannya tidak dilipat 2 melainkan utuh bundar lingkaran seperti pizza. Kedua, pilihan rasa lebih variasi. Bisa memilih 6 atau 8 rasa yang berbeda. Pilihannya: coklat meses ceres, kacang cokelat, keju polos, keju cokelat, keju kacang, cokelat, Delfi, Oreo, Silverqueen, Cadburry, Nutella, Kit Kat, Van Houten. Kondisinya tidak di campur seperti martabak pada umumnya. Khan tidak dilipat. Sudah di pisah-pisah menjadi 6 atau 8 sesuai pesanan. Terakhir di masukkan dalam kemasan dus seperti Pizza baru diserahkan ke konsumen. Kira-kira begitu. Harganya berkisar 60 – 80 ribu.

Sederhana

Tidak mengecewakan setelah menikmati di kamar hotel. Sebenarnya bisa saja santap di tempat. Sekalian menikmati menu lain seperti Martabak telur dan variasi minuman lain. Kebetulan termasuk suka nongkrong berkuliner di warung-warung pinggir jalan. Cuma saat tiba di sana perut sudah kenyang terisi kuliner yang lain. Selain itu hujan deras mengguyur saat tiba di lokasi. Lebih baik bawa dan makan di hotel saja.

Bagi saya sebenarnya yang lebih dari ke-terkejut-an dari Markobar adalah kesederhanaan. Tidak terbayangkan putra Presiden masih mengelola usaha yang boleh dibilang sederhana. Dibandingkan bisnis milik artis, keluarga pejabat-pejabat lain, rasanya tidak level. Padahal seperti salah satu yang di tulis mas Ryo Kusumo,

“Anda kan anak Presiden, seharusnya anda lebih cocok ada di deretan pemegang saham BUMN, deretan pemegang saham Indofood, Astra, berkolaborasi dengan pengusaha Singapura, atau tentunya duduk bersama dengan para Emir Kerajaan Arab untuk membahas proyek Petrochemical di Indonesia, dengan saham terbesar adalah trah keluarga anda”.

Saya pun terbawa suasana kutipan di atas. Saya tidak kecewa namun masih terbayang warung yang sangat sederhana, yang dikelola bukan warga sembarangan. Sungguh sangat kontras dengan bayangan saya perihal bisnis anak pejabat. Apalagi saat menunggu pesanan tadi hujan deras turun. Cipratan air hujan sempat masuk menerobos tenda yang terpasang.


Teringat seorang netizen yang pernah menyindir usaha jualan Martabak sebagai sesuatu yang kampungan. “Apa susahnya sebagai anak Presiden mendapat soft loan milyaran untuk membangun dinasti kerajaan bisnis kuliner besar. Ngga sulit membangun sebuah resto kaliber internasional yang tamu-tamunya dari kalangan elite”. Ini sich bukan nyindir tapi cemohan kasar. Sempat heboh di dunia maya. Nekad bener ya nulis begitu.

Bukannya tersinggung eee malah mendapat tanggapan santai dari adiknya, Kaesang. “Gapapa, yang penting dari jualan martabak bisa untuk bayar sekolah di Singapore. Saya hepi, Markobar juga hepi,” tulis Kaesang.

Gara-gara Markobar saya jadi tertampar manakala menilik salah satu kehidupan pribadi saya. Menyadari meski bukan dari keluarga pejabat, kepingin sekali menjadi orang elit seperti anak-anak pejabat. Meski sehari-hari sudah akrab dengan kesederhanaan, kepingin sekali keluar dari zona ini. Melepas kesederhanaan beranjak ke status yang lebih oke.

Pelajaran berharga dari jalan-jalan singkat dan mampir di warung Markobar: Sederhana itu indah. Sederhana itu bukan aib yang harus ditinggalkan. Sederhana itu tidak menutup untuk menjadikan hidup berguna. Tuhan bisa memakai manusia yang sederhana menjadi manusia yang memberikan manfaat bagi orang lain minimal di sekitar kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun