Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Warung "Suka-Suka" dan 4 Sisi Keunikannya

12 September 2020   15:04 Diperbarui: 13 September 2020   06:01 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warung suka-suka (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Just Sharing....

Warung suka-suka adalah istilah untuk sebuah lapak dagangan yang hari ini buka, besok bisa tutup. Tak tentu. Bahkan dalam satu hari, bisa dari pagi hingga siang masih melayani pembeli. Sore mau belanja lagi, eh rombongnya sudah tak ada. Bila itu warung permanen, pintunya sudah tertutup dan digembok pula. Hehe...

Pernah lihat warung kentucky (baca kentaki) seperti itu? Ini bukan gerai makanan Kentucky Fried Chicken (KFC) berlauk ayam goreng asal Amerika itu. 

Kentaki kepanjangannya adalah kentara kaki. Jadi warung kentaki adalah lapak kuliner di pinggir jalan, yang mana kala seseorang sedang makan, dapat terlihat bentuk fisik kaki penikmat kulinernya.  

Dahulu warung makan pinggir jalan hanya di tutupi spanduk melingkat atau persegi (mengikuti luas dan areal warung). Mereka yang membeli dan makan langsung di warung tersebut, bisa duduk di sebuah bangku berbahan kayu atau kursi terbuat dari plastik. Saat menyantap makanan, kepala hingga pinggang tak terlihat lantaran tertutup pembatas berbahan kain atau terpal, sebaliknya yang terlihat hanyalah lutut hingga kaki.

Dengan hanya mengamati bentuk dan rupa kaki, entah berlapis celana atau rok, atau mungkin tak berbalut apapun. Bisa mulus atau berbulu. Kita akan mudah memperkirakan pemiliknya bisa berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, usianya anak-anak atau orang dewasa.

Bertahun berlalu, kini warung kentaki yang umumnya berlokasi di sisi jalan, telah berubah menjadi warung-warung kekinian. Meski sebagian masih konservatif dengan tampilan jadul. Lokasinya bisa tetap di pinggir jalan namun bangunanya sudah tak lagi kentara kaki. Melainkan kentara kendaraannya dan kentara status sosialnya.

Duduknya di dalamnya pun sejuk karena angin sepoi-sepoi dari kipas angin atau hembusan AC. Lalu, diiringi pula alunan musik dan suara merdu penyanyi yang yang berasal dari radion maupun aplikasi digital. Sebagian lain mengusung modernitas dengan pilihan menu lebih beragam.

Irisan di antara tipe kentaki lawas dan kentaki modern adalah kentaki semi jadul, yang bisa dibilang warung suka-suka. Mau buka mau tutup, tergantung "orang dalam". Dilarang protes, apalagi nyinyir...hehe.    

Warung Suka-suka dan Keunikannya
Tepat di depan kantor terdadat sebuah warung makan, belum ada satu tahun berdiri. Tak ada karyawan yang bekerja di warung tersebut karena dikelola langsung oleh pemiliknya. 

Warung tersebut merupakan usaha milik keluarga, jadi bila beli makanan di sana, kadang yang melayani di pagi hari bisa sang Ibu, siangnya anak perempuannya, sedangkan sore hingga malam giliran anak laki-laki.

Ibarat ronda siskamling atau hotel yang kerjanya shift, beda waktu beda pelayan. Namun terkadang juga, si ibu menunggu (wanita berusia 60-an tahun yang menjadi pemiliknya)

"Anak saya yang cewek sudah nggak jagain warung. Pulang ke Medan akhir bulan lalu ke tempat suaminya. Kemarin terbang dengan pesawat", jawabnya kala saya tanyakan mana si mbak berambut pendek berkulit putih yang biasanya ngelayanin pembeli.

Dilayani sama Si Bunda, sebut saja demikian, tentu jadi ramai, sebab Si Bunda banyak banyak bicara bila diajak ngobrol. Hal yang dibahas pun banyak, mulai dari soal kisah khas seputaran anak, cucu, menantu dan keluarga, sampai harga cabe dan bawang di pasar yang harganya selalu turun naik. Bagi saya hal tersebut menarik karena saya jadi dapat informasi harga komoditas hasil bumi dari pelaku usaha rumahan langsung dan pastinya info yang saya dapat lebih cepat dari baca di koran, hehehe...

Selain perihal obrolan, warung suka-suka pun memiliki lauk yang bervariasi namun nampak serupa (berubah dikit-dikit), semisal hari ini ayam goreng tanpa bumbu, besok ayam goreng pedas. Lusa balik lagi ayam goreng biasa. Demikian juga sajian hasil laut, semisal hari ini cumi, besok ikan tongkol goreng, lusa udang dan ikan teri. Gitu -gitu saja selama seminggu. Begitu pula dengan sayur, sebelas dua belas. Kalau tidak santan, ya bumbu rica-rica. Begitulah makanan khas NTB, memang cenderung pedas, banyak rasa dan untungnya cocok dengan lidah saya. 

Karena warung ini satu-satunya yang paling dekat dengan kantor, akhirnya jadi pilihan darurat saya dan rekan karyawan lain. Dibilang darurat karena masih ada warung lain di seputaran kota dengan menu lebih variatif. Cuma ya itu kendalanya, malas keluar kantor apalagi kalau kerjaan lagi banyak. Akhirnya warung Si Bunda menjadi tempat kami berlindung dari godaan lapar. 

Warung Si Bunda yang berjarak tak lebih 15 langkah kaki dari parkiran depan, ibarat lapak kuliner P3K (Pertolongan Pertama Pada Kelaparan atau Kehausan). 

Warung tipe tersebut termasuk warung suka-suka, yang dikelola langsung oleh pemiliknya. Dagangannya lebih spesifik menyasar kuliner, produk makanan, dan minuman.

Sayangnya, sudah 4 hari ini warung Si Bunda tutup. Tak ada tanda-tanda akan dibuka. Dampaknya sudah 4 hari juga saya dan beberapa teman kelimpungan kala didera keroncongan. Ternyata warung darurat kami benar -benar sedang "darurat".

"Kalo mau ngopi bisa. Kalau makan, ndak ada yang masak. Anakku semua ke Mataram, belum balik, tak bisa kerja sendiri. Maaf ya Om", tutur Si Bunda tadi pagi kala aku sambangi buat ngopi. 

Hmm...jadi ini penyebabnya. Wajar ya, selain faktor umur, rasanya repot juga bila ngelakuin sendiri. Jangankan orangtua usia segitu, yang muda juga belum tentu bisa melakukan semuanya tanpa bantuan anggota keluarga.

Tiba-tiba terlintas pikiran, untuk mengambil foto dan menulis perihal warung suka-suka berbalut usaha keluarga yang hampir selalu ada di sekitar kita, yang mana usahanya tak lagi kentara kaki, namun kentara menu. 

Lapak jualannya pun bisa di tepi jalan, atau masuk ke dalam gang dekat kompleks perumahan. Dan dari hasil pengamatan saya, akhirnya saya menemukan 4 keunikan dari warung suka-suka tersebut.

1. Layanan buka tutup, tergantung "orang dalam", bisa buka hari ini dan dua hari lagi bisa jadi tutup
Karena dikelola langsung oleh pemilik dan keluarganya (anak, cucu, keponakan) dalam satu rumah, maka buka tutupnya warung tergantung kondisi orang dalam. Misal bila suatu saat sang orangtua sedang sakit dan si anak sedang kuliah atau sekolah, bisa jadi warung tutup dan tak ada yang melayani pelanggan. 

Termasuk bila pengelolanya sedang liburan keluar kota atau mengunjungi anaknya di luar pulau. Bahkan kadang konflik internal di dalam rumah tangga, bisa berimbas warung ditutup sementara waktu, sembari menunggu gencatan senjata dan agenda perdamaian...hehe. Bila sudah demikian, dipahami aja ya:)

2. Lokasi usaha langsung di rumah sendiri atau area halaman depan rumah yang sudah dimodifikasi
Ini adalah salah satu ciri, kenapa dinamakan warung suka-suka. Lha wong tak ada biaya sewa kontrak tempat bulanan atau tahunan. Pelataran tempat tinggal dapat saja jadi lahan bisnis, desain membentuk interior dan tampilan dapat menyesuaikan selera dan kreativitas keluarga. Bahkan tak jarang terdapat foto keluarga yang dipajang di dinding. 

3. Menu makanan atau minuman, cenderung mutar-mutar di situ saja dan tak banyak pilihan
Seperti kisah warung di depan kantor saya itu. Saya kadang kepikiran, apakah pengelolanya cuman tahu menu-menu itu saja? 

Apa karena harga makanan dan minumannya yang ditawarkan relatif murah, sehingga tak banyak improvisasi menu dan tambahannya? Atau sebenarnya sudah memodifikasi menu, namun ternyata tidak cocok dengan lidah pelanggan?

Mungkin karena menu rumahan, bisa jadi apa yang dijual menyesuaikan dengan menu makan pemilik rumah alias sekalian masak buat orang rumah juga...haha. Semoga itu praduga yang bersalah ya :)

4. Ada kedekatan emosional dengan pelanggan, tak seperti di warung modern
Ini sisi menarik lain, mengapa Si Bunda bisa begitu asyik ngobrol apa saja dengan saya di warung depan kantor, bisa jadi karena ada kedekatan dengan saya dan teman-teman.

Pernah belanja di warung jus atau warung makan di kompleks yang masih satu perumahan dengan Anda? Sudah pasti sang pemilik dan pembeli saling kenal karena tetanggaan. 

Satu RT atau satu RW, membuat guyonan dan obrolan makin ringan dan lama, bahkan setelah pesanan di bungkus. Bahkan bisa jadi ajang curhat sesama ibu-ibu atau ajang ngomong soal politik sesama bapak-bapak. Manfaat lain dari kedekatan sosial ini, kemungkinan bisa dapat harga diskon besar atau harganya tetap sama cuma porsinya dibanyakin. 

Hehe...tetangga emang gitu. Asal jangan jadi ajang gosip. Bisa saingan sama Bu Tejo:)

Keberadaan warung suka-suka adalah fakta sosial berbalut ekonomi. Di satu sisi, berimbas positif pada pemberdayaan ruang tempat tinggal sebagai alternatif usaha untuk menambah pendapatan keluarga. 

Di samping ilmu bisnis secara otodidak dan prakteknya, dapat diwariskan orangtua pada anak, secara langsung maupun tak langsung. Kelak akan berguna sebagai bekal bila si anak tertarik mengelola usaha sejenis atau usaha lain di luar itu. 

Dampak lain dari warung model beginian adalah potensi konflik yang dapat terjadi dalam rumah tangga, dan berimbas pada keberlangsungan usaha. Misal konflik soal pemodalan, pembagian keuntungan, hingga kisruh rumah tangga antara anak versus orangtua, atau suami versus istri, karena banyak contoh usaha rumahan yang bubar lantaran konflik internal, padahal pelanggan sudah banyak dan jaringannya luas. 

Kabar baiknya adalah tak ada gading yang tak retak. Setiap usaha dan bisnis, pasti ada risiko, yang terpenting adalah meminimalkan rsiko. Bila perlu, meniadakannya. 

Salam, 

Sumbawa, NTB, 12 September 2020. 

15.25 Wita
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun