" Baru beberapa hari ini Om. Ayo Om, dicoba rempeyeknya. Murah kok 5000 satu , Om ambil 10 saya kasih 45 ribu. Sekalian sama pelecingnya ya Om," jawabnya sembari terus menawarkan.Â
Saya cukup terkesima. Dalam hati, wanita ini meski diajak ngobrol, tujuannya tetap gimana caranya agar dagangannya laku. Mantapp ni jiwa marketingnya
" Bantu saya Om, baru keluar tadi jam 10, belum ada penggarus," pintanya lagi
Saya akhirnya membeli dua bungkus rempeyek. Satu bungkus diberi pada teman -teman satpam. Satunya saya buka dan coba rasakan.Â
"Enak ya Om? Saya buat sendiri, ndak ngambil ke orang, " katanya lagi. Ekspresi wajahnya seakan -akan menanti jawaban soal rasa dari mulut saya.Â
"Belum juga digigit...sudah ditanya," ujar saya sedikit tersenyum.Â
" Yeah Om...dari mana asalnya. Kayanya dari timor -timur  ya," tanya nya lagiÂ
Adodoeh...ini kok tanya sampai ke situ. Hmm....
Rempeyeknya lumayan renyah dan gurih. Namun tak segurih jalan hidup si pedagangnya. Karena setelah gigitan pertama dan kedua, mengalirlah kisah pilu mengenai perjalanan hidupnya. Berangkat ke pulau terbesar di NTB ini demi menyekolahkan sang anak yang diabaikan oleh suaminya. Sang pasangan menghabiskan harta yang diperoleh dari hasil berdagang berpuluh tahun di sebuah stasiun KA (Kereta Api) di sebuah kota di Pulau Jawa dengan sephianya alias selingkuhannya. Â Â
Tak ingin dimadu dan tak ingin terus menjadi korban, dia berlari. Lari dari kenyataan. Lari dari kepahitan hidup. Lari dari tekanan batin yang menderanya bila terus ada di sana. Itu lebih baik mungkin daripada tinggal terus sekota dengan orang yang dulu dicintai, namun kini membuat dia kadang galau. Seperti lagunya Teh Ratih Purwasih : Benci Tapi Rindu.Â
Aroma benci tapi rindu itu memuncak mana kala sang anak yang kini ikut dengannya mencurahkan rasa kangen terhadap ayahnya. Namun rasa sakit hati yang sama besarnya, membuat dia mengabaikan rasa kengen sang anak.Â