Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rempeyek dan Wanita Pedagang Bakulan di Halaman Kantor

27 Juli 2020   12:54 Diperbarui: 27 Juli 2020   12:58 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Just Sharing...

Sebut saja namanya Supinah. Bukan nama asli memang. Wanita 40 tahunan itu berasal dari sebuah desa di Jawa Tengah. Kehadirannya di halaman depan kantor membawa kisah tersendiri bagi saya. 

Tentang perjuangan membesarkan seorang anak dan pelarian dari masalah rumah tangga. Diantara dua warna dalam hidupnya itu, ada rempeyek di tengah -tengah.

 Kok bisa rempeyek Om ? tanyakan saja pada Mbok Supinah. Perempuan berkulit sawo matang, berambut lurus dengan aksen khas jawa, memang terlihat polos dan apa adanya kala menceritakan lika -liku hidupnya. Ada air mata bercampur kegetiran. Ada luka bercampur kepahitan. Hidup tak adil? Mungkin demikian bagi ibu seorang putri ini. 

Setahun lalu, dia nampak pertama kali di parkiran kantor. Dari meja saya di ruang depan, saya melihat menembus dinding kaca. Memanggul bakul dan menawarkan ke para satpam yang bertugas di pelataran depan. Rupa fisiknya hampir sama dengan wanita khas Sumbawa. Sebuah pemandangan menarik lantaran hampir dua tahun terakhir, tak ada pedagang model beginian. 

Terdorong rasa ingin tahu, memaksa saya beranjak keluar. 

" Jual apa Mbak," tanya saya.

Dia tak menjawab spontan. Hanya menurunkan bakulnya dan mengeluarkan isinya di depan saya. 

"Ada rempeyek dan pelecing kangkung Om. Rempeyeknya baru dibuat tadi pagi. Pelecingnya juga enak," jawabnya menjelaskan. 

Terdengar sedikit medok ucapannya. Saya tak bisa memastikan apa wanita ini baru datang dari Pulau Jawa ataukah memang asli dari sana namun sudah lama berdomisili di sini. Bukankah banyak dari kita orang Indonesia, meski sudah merantau lama dan tinggal di daerah lain, namun dialek dan intonasi suara, masih tetap mencirikan suku dan asal daerah. 

" Sudah lama jualan di sini Mba ?" tanya saya kembali

" Baru beberapa hari ini Om. Ayo Om, dicoba rempeyeknya. Murah kok 5000 satu , Om ambil 10 saya kasih 45 ribu. Sekalian sama pelecingnya ya Om," jawabnya sembari terus menawarkan. 

Saya cukup terkesima. Dalam hati, wanita ini meski diajak ngobrol, tujuannya tetap gimana caranya agar dagangannya laku. Mantapp ni jiwa marketingnya

" Bantu saya Om, baru keluar tadi jam 10, belum ada penggarus," pintanya lagi

Saya akhirnya membeli dua bungkus rempeyek. Satu bungkus diberi pada teman -teman satpam. Satunya saya buka dan coba rasakan. 

"Enak ya Om? Saya buat sendiri, ndak ngambil ke orang, " katanya lagi. Ekspresi wajahnya seakan -akan menanti jawaban soal rasa dari mulut saya. 

"Belum juga digigit...sudah ditanya," ujar saya sedikit tersenyum. 

" Yeah Om...dari mana asalnya. Kayanya dari timor -timur  ya," tanya nya lagi 

Adodoeh...ini kok tanya sampai ke situ. Hmm....

Rempeyeknya lumayan renyah dan gurih. Namun tak segurih jalan hidup si pedagangnya. Karena setelah gigitan pertama dan kedua, mengalirlah kisah pilu mengenai perjalanan hidupnya. Berangkat ke pulau terbesar di NTB ini demi menyekolahkan sang anak yang diabaikan oleh suaminya. Sang pasangan menghabiskan harta yang diperoleh dari hasil berdagang berpuluh tahun di sebuah stasiun KA (Kereta Api) di sebuah kota di Pulau Jawa dengan sephianya alias selingkuhannya.   

Tak ingin dimadu dan tak ingin terus menjadi korban, dia berlari. Lari dari kenyataan. Lari dari kepahitan hidup. Lari dari tekanan batin yang menderanya bila terus ada di sana. Itu lebih baik mungkin daripada tinggal terus sekota dengan orang yang dulu dicintai, namun kini membuat dia kadang galau. Seperti lagunya Teh Ratih Purwasih : Benci Tapi Rindu. 

Aroma benci tapi rindu itu memuncak mana kala sang anak yang kini ikut dengannya mencurahkan rasa kangen terhadap ayahnya. Namun rasa sakit hati yang sama besarnya, membuat dia mengabaikan rasa kengen sang anak. 

" Anakku perempuan dah SD. Aku pindahin dia Om, dari Jawa untuk sekolah di sini. Aku jualan buat anakku. Aku pengen anakku punya masa depan yang baik. Tak seperti ibunya yang tak sekolah tinggi. Bila suatu saat dia besar dan menikah, aku tak ingin nasibnya seperti ibunya. Paling tidak, bila nanti suatu saat dia alami dalam hidupnya seperti aku, dia bisa mandiri."katanya panjang kali lebar kala kuajak duduk di teras kantor lantaran teriknya cuaca di siang waktu Sumbawa

" Kesulitan hidup bukan untuk diratapi Om. Susah boleh, menyerah jangan," katanya menutup obrolan siang itu. 

Saya membeli lagi 10 bungkus untuk menitipkan pada salah satu warung milik nasabah , yang sudah kenal dekat sama saya. Kemudian bergegas ke dalam kantor. Balik ke meja saya. Mengambil HP dan mengupdate status WA saya.

" Hidup bukan untuk diratapi. Susah boleh, menyerah jangan"

Terima kasih Tuhan untuk pelajaran hidup dari pertemuan tak sengaja hari ini. Betapa banyak orang yang mengalami hal yang sama seperti wanita ini dalam perjalanan berumah tangga. 

Tak hanya korbannya istri, bisa juga suami dan anak -anak menjadi korban lantaran 'kenakalan' sang istri. Apapun yang terjadi, hidup terus berjalan. Meratap boleh, menangis sah -sah saja. Tapi jangan tenggelam di dalam duka. Jangan bergelimang di dalam kesedihan. 

Esok kan masih ada harapan, karena harapan memberimu kekuatan. Jika engkau sendiri tak kuat, bagaimana mungkin engkau menguatkan orang -orang yang kau kasihi dalam hidupmu ? 


Salam, 

Sumbawa, NTB, 27 Juli 2020

13.30 Wita

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun