Anehnya, mimpi-mimpi itu hanya muncul saat aku tidur sendirian. Jika Deri, yang dulu sekamar denganku di kontrakan, menginap, malamku berjalan tenang tanpa gangguan. Karena itu, aku sering mengajak Deri untuk menginap, meski dia kadang menggodaku karena dianggap takut sendirian.
Suatu malam, saat aku sedang belajar untuk ujian tengah semester, kejadian lain terjadi. Pukul satu dini hari, ketika suasana kosan sudah senyap, aku mendengar suara perempuan dari kejauhan.
Suaranya seperti sedang mengaji, namun nadanya aneh—tidak seperti lantunan Al-Qur’an yang biasa kudengar, terutama karena bukan bulan Ramadan atau mendekati waktu subuh.
Aku mencoba mengabaikannya, fokus pada buku di depanku. Namun, suara itu semakin jelas, seolah-olah berpindah mendekat ke arah kamarku. Jantungku berdegup kencang. Dengan tangan gemetar, aku menutup buku, mematikan lampu, dan bergegas menyelimuti diri, berharap suara itu lenyap.
Kejadian yang lebih menyeramkan terjadi beberapa malam kemudian. Aku belajar hingga menjelang subuh, dan karena kelelahan, aku memutuskan untuk tidur. Baru saja aku memejamkan mata, tubuhku terasa berat, seperti ditindih sesuatu yang tidak terlihat.
Tiba-tiba, suara-suara ramai dan kencang menggema di telingaku—seperti kerumunan orang yang berbicara serentak, namun tidak ada satu pun kalimat yang bisa kupahami. Aku tersentak bangun, jantungku berdegup kencang. Kamar terasa dingin, meski jendela tertutup rapat. Aku tidak berani melanjutkan tidur lagi.
Sejak kejadian itu, aku mulai menghindari tidur di kamarku sendirian. Aku sering meminta izin untuk menginap di kamar Beni, yang terletak di lantai atas, menghadap langsung ke halaman luar. Kamarnya terasa lebih terang dan nyaman, entah karena sinar matahari yang masuk atau karena suasananya yang lebih hidup.
Di sana, aku merasa tenang, setidaknya untuk sementara. Kadang, aku juga memilih pulang ke rumah orang tuaku, meski jaraknya cukup jauh, hanya untuk menghindari kamar itu. Rasa takut mulai menggerogoti, dan aku merasa ada yang salah dengan tempat itu.
Aku bertahan di kosan itu kurang dari setahun. Akhirnya, aku memutuskan untuk pindah, tidak sanggup lagi menghadapi keanehan yang terus berulang. Beberapa bulan setelah pindah, suatu sore seusai waktu Maghrib, aku tidak sengaja melewati kosan itu saat berjalan menuju arah kampus.
Hujan baru saja reda, meninggalkan genangan-genangan kecil di trotoar. Saat melintas di depan bangunan itu, pandanganku tertarik ke arah kamar lamaku di lantai dua. Dari balik kegelapan di depan pintu kamar, aku melihat suatu sosok.
Bentuknya tinggi, kurus, dan hitam seperti bayangan. Matanya putih, bersinar tajam, menatap langsung ke arahku. Tubuhku membeku. Sosok itu hanya muncul sekilas sebelum menghilang ke dalam kegelapan.