Mohon tunggu...
Aditya Rahman
Aditya Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas Ranggon Sastra

Jalan pulang adalah tujuan yang remang-remang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan

31 Desember 2019   15:30 Diperbarui: 21 Maret 2020   01:37 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belum juga tiba? 

Sebelas jam sudah aku menunggumu di stasiun Tugu Yogya. Beralaskan sandal aku duduk di lantai stasiun. Aku paham betul jadwal kereta datang. Seharusnya keretamu datang tepat sejam setelah aku tiba di stasiun ini. Namun di Jam ketiga, tak ada tanda-tanda keretamu datang. Kecemasanku mulai menggaruki tiap jengkal bayang-bayangmu. 

Aku bertanya pada petugas, meyakinkan penantianku. Mereka bilang, tak ada kereta dari Bogor yang akan datang ke Yogya dan tak akan pernah ada! Sungguh, aku mematung setelah mendengar jawaban itu. Bagaimana mungkin? Sebuah kereta yang sakral jadwal tiba dan keberangkatannya hilang begitu saja. 

Aku harap petugas itu salah menjawab. Dan aku masih terus menunggu keretamu datang dalam semak-semak kecemasanku, membuang jauh-jauh ketidakpastian yang sekelebat ingin hinggap di ruang khayalku. Aku tetap menunggumu tiba. 

Aku yakin, empat hari kebelakang surat yang di antar tukang pos itu, darimu. Sebab, tanda tangan dan guratan-guratan kalimatnya sangat aku kenali. Sebuah kalimat yang mengingatkanku tentang hujan dan tangisan-tangisan di dalamnya. Sebagaimana dulu kita melangkahkan kaki berdua, beratapkan mendung, serta bunyi iringan lonceng tukang becak yang pada waktu itu kita lumat bersama. Aku sangat hafal. 

Sebaris kalimat yang tak pernah tertinggal dalam Suratmu di bagian terakhir, "Salam kerinduan dariku untuk panas dan hujan di kota dan rumahmu. Semoga  temu senantiasa bersahabat dengan kita dalam waktu yang berbeda. " Aku kembali membaca tulisan itu dalam lintasan ingatanku. Ahh.. Jalanan Pasar Kembang itu sungguh sepi tanpamu. 

"Kereta terguling di Banyumas. Engsel relnya mungkin sudah rapuh" Seorang lelaki tua menyerukan sebuah berita kepada teman di sampingnya dan mereka duduk tepat di sampingku. Berita itu telah merobek lamunanku. Kabarnya, Bapak itu mendapat telepon dari temannya yang kebetulan penumpang kereta. Temannya adalah salah satu orang yang selamat dalam insiden itu. 

Aku berlari ke kantor petugas kereta api. Memastikan kejelasan berita itu. Benar saja, kereta dari arah Jakarta mengalami kecelakaan. Mataku terbelalak, hujan yang turun dari mega-mega memindahkan dirinya dalam kamar mataku. Tumpah, mengaliri hidung, bibir, dan putus setelah melewati dagu, kemudian menitik lemas ke lantai. Aku rasa, tidak ada sedikit pun kesia-siaan di jam ke sebelas penantianku. Aku menunggumu dengan ketidak pastian, sekarang. Harapanku, itu bukan kereta yang kau tumpangi. Meski jadwal kereta yang tercantum dalam suratmu, sama betul dengan jadwal kereta yang tergelincir itu. 

Pundakku terasa menahan rangkulan tangan, ketika air mata dan penantian mencambukku dalam ketidak pastian. Ternyata tangan itu adalah tanganmu. Dan kau bilang, "aku naik bus tidak jadi naik kereta. Maaf, aku datang terlambat. Sebab, ada urusan yang harus di selasaikan." 

Senyuman itu terpahat jelas di kelopak mataku. Aku malu, menahan sendu. Hampir saja aku terbuai berita itu. 

"Pasti, kau cemas tentang tergelincirnya kereta dari jakarta itu kan? Takut-takut, aku berada disana? " Ucapnya dengan gelak tawa. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun