Mohon tunggu...
Adista Pattisahusiwa
Adista Pattisahusiwa Mohon Tunggu... Editor

Wartawan dest politik (Nusantara II DPR RI Parlemen Senayan 2014-NOW) (Polda Metro, Since 2016) Nyong Ambon Saparua Maluku | ALLAH SWT is my Lord. (Alumni Kerusuhan Ambon 1999)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tsunami PHK, Nestapa dan Luka Mendalam Keluarga Indonesia

20 Mei 2025   20:06 Diperbarui: 20 Mei 2025   20:15 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hati ini terasa remuk mendengar kabar terbaru per 20 Mei 2025, angka PHK di Indonesia melonjak menjadi 26.455 orang, seperti dilaporkan Kemenaker.

Angka ini bukan sekadar data statistik, melainkan cerita pilu ribuan pekerja yang kini pulang ke rumah dengan tangan kosong, memandang wajah anak-anak mereka tanpa jawaban atas pertanyaan sederhana, "Bapak, besok kita makan apa?"

Industri tekstil, alas kaki, dan elektronik, yang dulu jadi tumpuan harapan, kini bagai kapal karam, menenggelamkan mimpi keluarga-keluarga Indonesia.

Apa salah mereka? Pekerja yang bertahun-tahun mencurahkan keringat, rela lembur demi sesuap nasi, kini jadi korban keadaan.

Penyebabnya berulang, ekonomi global lesu, permintaan ekspor anjlok, biaya produksi melonjak, regulasi pemerintah tak selaras, perusahaan bangkrut.

Transformasi digital itu hanya cerita manis untuk menggantikan nyawa pekerja dengan mesin dingin.

Tapi ini bukan cuma soal angka atau kebijakan ini soal nyawa, harga diri, dan keluarga yang terasing dari akar harapan. APINDO bahkan memprediksi gelombang ini belum akan berhenti, dengan 74.000 pekerja sudah terdampak di kuartal pertama 2025.

Dampak PHK ini seperti racun yang merembes ke setiap sudut keluarga. Finansial ambruk, keluarga tak mampu beli makanan, bayar listrik, atau biaya sekolah.

Banyak terpaksa berutang atau menjual aset, motor, perhiasan, hanya untuk bertahan. Anak-anak jadi korban terbesar, terancam putus sekolah, kehilangan masa depan.

Tekanan emosional menghantui, orang tua merasa gagal, malu, dan tertekan, memicu konflik dengan pasangan atau anak. Anak-anak, meski kecil, merasakan beban melihat kecemasan orang tua merenggut rasa aman mereka.

Stres berkepanjangan membawa depresi, kecemasan, bahkan gangguan kesehatan fisik, tapi akses ke layanan kesehatan mental nyaris tak ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun