Hati ini terasa remuk mendengar kabar terbaru per 20 Mei 2025, angka PHK di Indonesia melonjak menjadi 26.455 orang, seperti dilaporkan Kemenaker.
Angka ini bukan sekadar data statistik, melainkan cerita pilu ribuan pekerja yang kini pulang ke rumah dengan tangan kosong, memandang wajah anak-anak mereka tanpa jawaban atas pertanyaan sederhana, "Bapak, besok kita makan apa?"
Industri tekstil, alas kaki, dan elektronik, yang dulu jadi tumpuan harapan, kini bagai kapal karam, menenggelamkan mimpi keluarga-keluarga Indonesia.
Apa salah mereka? Pekerja yang bertahun-tahun mencurahkan keringat, rela lembur demi sesuap nasi, kini jadi korban keadaan.
Penyebabnya berulang, ekonomi global lesu, permintaan ekspor anjlok, biaya produksi melonjak, regulasi pemerintah tak selaras, perusahaan bangkrut.
Transformasi digital itu hanya cerita manis untuk menggantikan nyawa pekerja dengan mesin dingin.
Tapi ini bukan cuma soal angka atau kebijakan ini soal nyawa, harga diri, dan keluarga yang terasing dari akar harapan. APINDO bahkan memprediksi gelombang ini belum akan berhenti, dengan 74.000 pekerja sudah terdampak di kuartal pertama 2025.
Dampak PHK ini seperti racun yang merembes ke setiap sudut keluarga. Finansial ambruk, keluarga tak mampu beli makanan, bayar listrik, atau biaya sekolah.
Banyak terpaksa berutang atau menjual aset, motor, perhiasan, hanya untuk bertahan. Anak-anak jadi korban terbesar, terancam putus sekolah, kehilangan masa depan.
Tekanan emosional menghantui, orang tua merasa gagal, malu, dan tertekan, memicu konflik dengan pasangan atau anak. Anak-anak, meski kecil, merasakan beban melihat kecemasan orang tua merenggut rasa aman mereka.
Stres berkepanjangan membawa depresi, kecemasan, bahkan gangguan kesehatan fisik, tapi akses ke layanan kesehatan mental nyaris tak ada.