Kasus penangkapan mahasiswa ITB berinisial SSS pada 6 Mei 2025 atas dugaan pembuatan dan penyebaran meme yang menggambarkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo berciuman adalah tamparan keras bagi kebebasan berekspresi di Indonesia.
Dengan ancaman hukuman hingga 12 tahun penjara berdasarkan UU ITE, kasus ini bukan hanya soal sebuah meme, tetapi cerminan dari rapuhnya ruang bagi kreativitas dan kritik di tengah iklim demokrasi yang seharusnya terbuka.
Kebebasan berekspresi, yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, adalah pilar demokrasi yang memungkinkan individu menyuarakan pandangan, termasuk melalui seni dan humor seperti meme.
Namun, UU ITE, khususnya Pasal 27 dan 35, telah menjadi alat yang kerap disalahgunakan untuk membungkam ekspresi. Definisi "konten asusila" yang kabur membuka celah interpretasi sepihak, menjadikan hukum ini pedang bermata dua melindungi norma sekaligus mengekang kebebasan.
Dalam kasus SSS, sebuah meme yang di banyak negara dianggap sebagai bentuk satire politik malah dianggap sebagai pelanggaran serius. Ini menunjukkan betapa sempitnya batas toleransi terhadap kritik di Indonesia saat ini.
Reaksi publik di platform X mencerminkan kegelisahan yang lebih luas. Banyak yang mempertanyakan mengapa sebuah meme, yang notabene adalah ekspresi kreatif seorang mahasiswa, harus berujung pada penahanan dan ancaman hukuman berat.
Apakah negara begitu rapuh sehingga sebuah gambar dapat mengguncang stabilitas? Atau ini sekadar upaya menunjukkan otoritas di tengah sensitivitas politik yang meningkat?
Kasus ini mengingatkan kita pada ironi di era digital, di mana ekspresi seharusnya mengalir bebas, justru aturan kaku seperti UU ITE menjadi belenggu.
Saya berpendapat bahwa kasus ini harus menjadi momentum untuk mereformasi UU ITE. Pasal-pasal yang multitafsir perlu diperjelas agar tidak lagi menjadi alat represi.
Selain itu, aparat penegak hukum harus lebih bijak dalam membedakan antara kritik, satire, dan pelanggaran yang benar-benar merugikan.