Mohon tunggu...
Adis Setiawan
Adis Setiawan Mohon Tunggu... Buruh - Mahasiswa | Penulis Lepas

Ikatlah Ilmu Dengan Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya Bukan Non-Muslim, tapi Belum Pantas Mengakui sebagai Muslim

2 April 2019   21:06 Diperbarui: 14 Agustus 2020   15:32 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini hanya curahan isi fikiran penulis, apa bila ada kesalahan mohon dimaafkan kebenaran hanya milik Allah SWT. Penulis mau menceritakan apa yang di lihat dan alami selama hidup di Negara Indonesia yang majemuk, kaya akan budaya, tradisi, dan suku. Banyaknya tradisi keagamaan khusus-nya agama Islam, seolah-olah seperti simbol bahwa kita telah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Penulis tidak bermaksud menjelekkan atau menghina tradisi yang ada, dan bukan pula menambah masalah isu SARA. Penulis bermaksud mengambil pelajaran dari tradisi dan budaya yang adaz untuk direnungkan agar ketemu pada titik temu, menyikapinya dengan perbedaan yang menggembirakan. Walapun ada permasalahan sedikit perbedaan pada Khilafiyah dalam paham penulid. Tetap di pelajari tapi perbedaan itu penulis sikapi dengan menggembirakan.

Ketika penulis sedang pulang kampung didaerah istri, tepatnya didaerah Indramayu. Membuat hal yang aneh masalah khilafiyah dalam agama, kejadian itu bermula ketika penulis ingin shalat ashar berjamaah di masjid. Ketika datang ke Masjid kebetulan iqomah sudah di kumandangkan, dari sekian jamaah shalat Ashar tidak ada yang mau menjadi imam shalat. Tatapan mereka melihat penulis sambil menunjuk untuk jadi imam Shalat.

Ternyata cukup sepele alasanya, mereka menunjuk penulis sebagai imam shalat ashar, karena memakai sarung dan baju koko --baju muslim. Ya sudah karena tidak ada yang mau menjadi imam sholat, terpaksa penulis jadi imam shalat dadakan.

Setelah shalat selesai, kejadian canggung di antara jamaah mulai kelihatan, sesuai manhaj yang penulis pelajari bahwa imam setelah selesai shalat menghadap kejamaah, sambil berdoa dengan suara sir atau pelan --kode memberi  tahu kalau shalat udah selesai. Akan tetapi tradisi yang ada di masjid, biasanya setelah selesai shalat imam tetap dalam posisi dan berdoa dzikir berjamaah agak sedikit keras, dzikir juga di pandu oleh imam shalat. Tetapi penulis tidak menjalankan seperti biasanya di masjid ini dan kebanyakan masjid yang lain di Indonesia.

Mereka kelihatan mulai penasaran dengan cara penulis sebagai imam sholat dadakan, Tapi pada akhirnya jamaah mulai membubarkan diri dan penulis berkata dalam hati [" Tetap Sah-kan shalatnya, walaupun di imami oleh simpatisan Muhammadiyah, yang sedang mencoba mengamalkan manhaj tarjihnya "] hehehe"

Sebenarnya mau banyak lagi yang diceritakan, sebagai contoh pengalaman, tapi dari semua itu ada hal yang membuat penulis berfikir bahwa 'Saya tidak pantas menyebut diri saya sebagai Muslim' --walapun sebenarnya tidak terlalu pantas juga sih, karena saya belum bisa menjalankan semua perintah-perintah-Nya dan menjahui segala larangan-laranga-Nya.

Kali ini ada cerita, ketika tahlil-lan dan yasin-nan, penulis melihat jamaah tahlilan pakai baju muslim, pakai sarung, baju koko muslim, dan pakai peci. Karena ada undangan, akhirnya penulis berangkat pakai celana cingkrang --biar kelihatan nyunah, dan tidak sombong, pakai kaos oblong tidak pakai peci seperti orang urakan. Sambil penulis berfikir, tidak pantas menjadi muslim, ternyata muslim harus berpakaian seperti itu. Ah sudahlah yang penting nasib dapat berkat.

Penulis kalau sholat di masjid pakai kaos oblong, pakai celana cingkrang --biar nyunah celananya. Apalagi cuma tahlilan dan yasinan datang pakai baju seadanya saja, sambil berfikir ["tetap sah-kan, walapuan tahlilan pakai kaos oblong, tidak pakai fashion muslim "] ....sekali lagi maafkan aku, yang belum siap menyebut diriku islam dengan berpakaian muslim pula.

Orang bisa saja percaya kalau saya Islam, ini cuma perumpamaan apa kalian yakin kalau saya islam bisa saja saya cuma menyamar sebagai orang islam, yang penting fashion pakai peci, sarung, dan baju muslim, siapa yang tahu kalau penulis non-muslim. Bahkan siapa yang tahu kalau penulis tidak Amar Ma'ruf Nahi Munkar, tetapi justru menyamar Ma'ruf Nyambi Munkar. Sekali lagi maafkan aku yang tidak berani menyebut diriku Muslim.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun