Mohon tunggu...
Adinda Putri
Adinda Putri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Al-Quran sumber solusi, mengapa tetap diabaikan?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibu yang Cerdas

15 April 2017   10:49 Diperbarui: 15 April 2017   20:00 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sore hari yang lalu saya bertemu dengan seorang Ibu, beliau tinggal di kampung, menjadi orang tua tunggal, hidup dengan dua anak perempuannya. Anak sulungnya sedang merantau untuk menempuh pendidikan tinggi di kampus ternama di kota besar, sedangkan anak bungsunya masih duduk di bangku pendidikan dasar kelas 2. Sehari-hari beliau menghidupi kedua anaknya dengan membuat kue dan menjualnya ke warung-warung yang ada di sekeliling tempat tinggalnya. Beliau memilih untuk membuka usaha sendiri agar tidak menyita waktunya sehingga habis di luar rumah dan meninggalkan anak bungsunya. 

Komitmen beliau untuk menjaga anaknya dan bekerja keras untuk menghidupi kebutuhan hidupnya patut menjadi teladan. Beliau memahami kewajibannya sebagai seorang ibu yang harus menjaga anaknya dengan penuh kasih sayang dan bimbingan langsung darinya, di sisi lain beliau juga harus bekerja keras untuk melanjutkan kehidupannya sehari-hari, membayar biaya pendidikan anaknya, dan membayar 'pelayanan' fasilitas negara yang lainnya.

Terkait usahanya ini beliau bercerita, beberapa kali penyedia jasa kredit pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mendatangi ke rumahnya untuk menjajakan jasa 'membantu' mengembangkan bisnis dengan pinjaman modal. Sosialisasi 'bantuan' modal dengan kredit (baca: riba) ini cukup gencar dilakukan sampai blusukan ke dalam kampung-kampung yang jauh dari kota besar. Tidak cukup sekali saja, beliau didatangi ke rumah untuk ditawari 'bantuan' ini hingga empat kali. Namun, dengan tegas beliau sampaikan bahwa beliau sudah memiliki modal yang cukup walaupun pas-pasan apa adanya. Beliau menolak karena ini riba dan tidak ingin terjerumus ke dalam riba. Riba adalah hal yang diharamkan Allah dan jelas ini bukan bantuan tapi justru membawa keuntungan bagi mereka karena kita harus membayar bunga di setiap bulan saat mengembalikan pinjaman.

Lagi-lagi saya berdecak kagum dengan ketangguhan beliau memegang komitmennya. Bagaimana beliau bisa setangguh itu? Tidak tergiur sedikit pun. Yang ada justru merasa jijik.

Sebagai manusia, untuk menentukan pilihan pasti memiliki standar. Standar untuk memilih sesuatu atau meninggalkan sesuatu. Bagi seorang muslim, standar ini bukan menurut akalnya tetapi berdasarkan petunjuk Allah. Sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam QS al-Anbiya: 107 "dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk rahmat bagi seluruh umat manusia." Maksud ayat di atas adalah bahwa Rasulullah telah datang dengan membawa syariat Islam yang mengandung maslahat bagi manusia. Begitu juga ada di dalam QS al-An'am: 157 "Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu sebagai petunjuk dan rahmat." Maksud dari petunjuk dan rahmat pada ayat di atas adalah membawa manfaat dan mencegah kemudaratan bagi manusia. Inilah yang disebut maslahat. Syariat dengan tegas menentukan mana yang halal dan haram untuk manusia. 

Hukum syara' pasti mengandung maslahat. Sedangkan tanpa syariat pasti tidak akan terwujud maslahat. Karena manusia tidak mampu menentukan apa yang sesungguhnya memberi maslahat bagi dirinya. Sebagaimana Ibu yang cerdas ini, beliau meninggalkan kredit karena jelas ini bertentangan dengan syariat. Walaupun jika beliau mengambil pinjaman kredit modal ini dapat memajukan bisnisnya namun sesungguhnya ini bukan maslahat. Karena telah meninggalkan hukum syariat. Lalu, lebih luas lagi, rahmat akan terwujud bagi seluruh alam bila kehidupan manusia diatur dengan syariat secara menyeluruh. Tidak hanya satu individu saja yang menerapkan namun secara luas oleh seluruh masyarakat di dalam negeri.

Bila kehidupan manusia hari ini masih terpuruk dan semakin parah, wajar karena meninggalkan syariat. Maka, untuk mengakhiri ini semua bukankah seharusnya kita kembali kepada syariat dan mau diatur dengan syariat Allah secara menyeluruh, sehingga tidak mustahil akan terwujud kemaslahatan dan rahmat bagi seluruh alam. Jelas bukan? 

Buku referensi: Fikrul Islam, bunga rampai pemikiran Islam. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun