Mohon tunggu...
Adi Wedar Sukondo
Adi Wedar Sukondo Mohon Tunggu... Freelancer - Hai!

Mahasiswa Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengaruh Media pada Persepsi Masyarakat terhadap Wanita Perokok

23 Oktober 2019   04:01 Diperbarui: 23 Oktober 2019   04:52 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika nilai-nilai tersebut dikelola dan dipropagandakan melalui media, realita "objektif" rokok yang sejatinya hanyalah sebatas komoditas berubah menjadi budaya yang ada di masyarakat dengan persepsi negatif maupun positifnya sebagai realita simbolis.

Ketika nilai-nilai subjektif pada rokok tersebut telah diterima oleh masyarakat sebagai mitos yang ada, hal itu dapat dijadikan nilai tukar dan diperjual belikan dalam industri kapitalis.

Nugroho (2003) menyebutkan dalam proses jual beli, segi sosial menjadi salah satu faktor yang menunjang pembeli untuk mengonsumsi produk. Produsen melakukan proses identifikasi audiens yang mereka sasar, yang akhirnya menekan konsumen untuk beradaptasi dan memilih.

Hal inilah yang terus dikembangkan oleh produsen agar wanita perokok tak hanya megonsumsi tembakaunya, namun juga nilai-nilai seperti "kesetaraan" yang digadang-gadangkan. Kelompok pro dan kontra termasuk produsen rokok menjadikan wanita sebagai objek propaganda atau pemasaran yang mereka lakukan.

Di sinilah wanita diobjektifikasi sebagai objek kampanye kepentingan kelompok tertentu, sehingga masyarakat pun memiliki sudut pandang yang terbalik antara rokok dan wanita.

Di sini penulis yang juga merupakan perokok aktif mencoba meninjau kembali persepsi masyarakat mengenai wanita perokok yang terpengaruh oleh media, untuk lebih objektif terhadap rokok sebagai komoditas.

Seiring dengan urgensi yang dibahas, Jibal Windiaz dalam artikel Komunitas Kretek mengutip ungkapan mentri kesehatan Norwegia Sylvi Listaugh "saya tidak akan menjadi polisi moral dan harus hidup seperti apa, saya berniat membantu dengan menyediakan informasi yang bisa menjadi landasan pengambilan keputusan", Jumat (10/5/2019) (Dilansir dari komunitaskretek.or.id).

LANDASAN TEORI

1. Konsep Patriarki

A.P. Muniarti dalam Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa) (1992:22) mengungkapkan bahwa perubahan masyarakat yang pada umumnya mengubah masyarakat agraris menjadi masyarakat industri telah pula mengubah pandangan manusia. Hukum peribuan berganti menjadi hukum perbapakan, matriarki berubah menjadi patriarki. Marx menamakan perubahan ini "sesuai dengan kodrat alam". 

Subadio dan Ihromi (1992:22) bercerita bahwa dalam kasus seperti yang terjadi di Minahasa tahun 1930-an, kaum perempuan "terpaksa" diminta turun tangan menyelesaikan permasalahan tanah karena kaum laki-laki tak mampu menyelesaikannya. Ditinjau dari kasus tersebut dapat diartikan bahwa perempuan mempunyai kemampuan dan kekuatan kalau diberi kesempatan.

2. Ruang Publik

Dalam buku Ruang Publik, Budi mengutip tulisan J. Habermas "The Public Sphere" (2010:271) yang mengatakan bahwa ruang publik merupakan medium yang mampu mewujudkan gagasan komunitas warga negara, yang kemudian membentuk forum masyarakat sipil yang dapat membentuk opini publik.

Semakin ruang publik terbuka, semakin besar kemungkinan munculnya perserikatan yang bebas dan pertukaran gagasan yang kemudian mendukung kemampuan demokratisasi masyarakat. Suatu bentuk gagasan yang demokratik ditandai dengan adanya debat terbuka, kepercayaan, dan hubungan mutualis antar manusianya. 

Dalam kondisi itulah yang kemudian terbentuk kewarganegaraan dan rasa mempunyai yang merangkul hubungan lokal, yang kemudian muncul nilai-nilai universal yang dapat dikembangkan.

3. Teori Kultivasi

Gerbner dalam jurnalnya yang berjudul Living with Television: The Dynamics of the Cultivation Process (1986) berpendapat bahwa media massa menanamkan nilai-nilai yang telah terbentuk dalam suatu budaya melalui komunikasi satu arah, bukan komunikasi dua arah.

Mengelola dan mempropagandakan nilai-nilai tersebut di antara sebuah budaya, kemudian mengkombinasikannya. Media massa memiliki karakteristik penyebaran yang khusus yang kemudian memudahkannya dalam menanamkan sebuah nilai budaya dengan bentuk audiovisual.

Mekanisme ini menciptakan perbedaan jelas antara realita simbolis dan realita "objektif", kemudian menyajikan kenyamanan "fakta" versi media massa yang kemudian diserap oleh audiens tentang sebuah hal.

4. Perilaku Konsumsi

Dalam buku Perilaku Konsumen, Nugroho menyebutkan bahwa keputusan untuk membeli dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang di antaranya adalah faktor sosial yang dipengaruhi oleh kelompok referensi, dan faktor psikologis yang ditimbulkan dari motivasi konsumen.

Nugroho (2003:11) mengungkapkan bahwa produsen melakukan proses identifikasi kelompok referensi dari konsumen yang mereka sasar. Terdapat tiga cara yang dapat mempengaruhi kelompok referensi mereka.

Pertama, mereka (produsen) memamerkan/melihatkan pada seseorang perilaku dan gaya hidup baru. Kedua, mereka mengenalkan sikap dan konsep jati diri yang dimodifikasi atas dasar "menyesuaikan diri" dari konsumen. Ketiga, mereka akhirnya menciptakan kondisi yang menekan konsumen untuk menyesuaikan diri yang pada akhirnya dapat mempengaruhi pilihan produk dan merek yang mereka pilih.

Freud (2003:12), juga berasumsi bahwa kekuatan psikologis yang membentuk perilaku manusia sebagian besar terbentuk di bawah sadar. Seseorang akan menekan berbagai keinginan seiring dengan pertumbuhan dan proses bagaimana agar dirinya diterima dalam suatu aturan sosial yang terbentuk.

PEMBAHASAN

Status wanita perokok dalam kacamata sosial memang saat ini masih terbilang tabu. Perbedaan pandangan wanita perokok dibandingkan dengan pria perokok merupakan bukti ketimpangan porsi hak dalam kesetaraan hukum masyarakat yang berlaku.

Hal ini dibuktikan dengan perbedaan rokok sebagai simbol maskulinitas pada pria, namun tidak sama sekali merupakan sebuah simbol feminitas pada wanita, yang kemudian dapat dipahami sebagai bentuk patriarki secara tidak langsung. Rokok yang menjadi sebuah simbol kesetaraan sepatutnya dikaji lebih dalam lagi, mengingat rokok bukanlah satu-satunya simbol kesetaraan.

Berbicara tentang wanita perokok yang dianggap mengandung unsur patriarki, mengapa di kehidupan dirumah tangga yang masih bisa kita rasakan dimana budaya patriarki masih sangat terasa? Kita dapat melihat aktifitas yang biasanya wanita lakukan dirumah seperti memasak, mencuci, menjadi sebuah pekerjaan yang memang diharuskan untuk wanita yang mengerjakannya.

Peristiwa ini sejatinya membangun stigma baru yang salah satunya melahirkan "memasak hanya untuk kaum wanita", yang terbangun atas dasar budaya patriarki. Budaya-budaya kecil seperti inilah yang semakin meresahkan wanita karena ketimpangan porsi hak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun