Mohon tunggu...
Adii Donk
Adii Donk Mohon Tunggu... Penulis

Penulis lepas yang tertarik pada isu sosial, Olahraga, kesehatan mental, Pendidikan, dan dinamika masyarakat urban. Percaya bahwa tulisan yang jujur bisa menjadi ruang refleksi bersama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kesendirian yang Kupilih

30 Agustus 2025   03:27 Diperbarui: 30 Agustus 2025   03:27 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Setangkai mawar merah di tengah gelap, melambangkan cinta yang pernah mekar, kini tinggal kenangan." (Foto oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-fokus-dangkal-mawar-merah-15239/)

Hujan sore itu turun dengan pelan, seolah ikut menyembunyikan isak di dadaku. Jalanan basah, tapi yang lebih basah adalah ingatan yang tak mau kering. Cinta pernah datang dengan segala riuhnya, dan pergi tanpa permisi.Ada satu kalimat yang terus bergema di benak:

"Jika kesendirian adalah kebahagiaan, maka aku akan memilih kesendirian itu."

Aku mengulangnya, seperti doa yang tak pernah bosan.

Di taman kecil belakang rumah, kucoba menulis sesuatu, entah untuk siapa. Sebaris puisi lahir dari tangan yang gemetar:

Pada daun gugur aku menitipkan rindu,
pada angin malam aku titipkan namamu,
tapi pada diriku sendiri,
aku belajar melepasmu.

Sesekali aku tersenyum getir. Ingatan akan dirinya hadir begitu saja, seperti pantun yang pernah ia kirim dengan nada bercanda:

Naik delman ke Cikini,
Bawa bekal nasi ketan.
Kalau jodoh lari pun ke sini,
Kalau bukan, ya selamat jalan.

Pantun itu dulu terasa manis. Kini hanya tinggal gema, seperti kata yang hilang ditelan waktu.

Aku tahu, cinta tak pernah benar-benar hilang, ia hanya bertransformasi menjadi luka, menjadi do'a, atau menjadi tawa getir di tengah malam.

Aku perlahan belajar bahwa mencintai bukan berarti harus memiliki. Ada cinta yang hadir hanya untuk singgah, memberi warna, lalu pamit tanpa alasan. Dan itu tidak apa-apa.

Dari jendela kamar, aku melihat bulan malam ini begitu bulat. Dulu, ia saksi tawa kita berdua. Kini, ia saksi aku sendirian, tapi entah mengapa justru terasa lebih lapang.

Aku menuliskan lagi sebuah kutipan kecil, untuk diriku sendiri:

"Kadang yang kita butuhkan bukan seseorang yang menggenggam tangan kita, melainkan keberanian untuk menggenggam hati sendiri."

Kesendirian bukan lagi sepi, melainkan ruang untuk mendengar suara-suara yang dulu tertutup hiruk-pikuk percintaan. Aku jadi bisa berbincang dengan diriku, bercanda dengan bayangan sendiri, bahkan menertawakan luka yang dulu kutakuti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun