Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Belajar Mengelola Risiko Investasi dari Kasus Bangkrutnya Erin Heatherton

18 Juni 2019   09:01 Diperbarui: 19 Juni 2019   17:36 1387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Erin Heatherton (sumber: https://a57.foxnews.com)

2019 mungkin adalah tahun yang "berat" bagi Erin Heatherton. Pasalnya, mantan kekasih Leonardo DiCaprio tersebut belum lama ini mengalami kebangkrutan.

Erin yang berprofesi sebagai model dikabarkan mempunyai utang hingga 500 ribu USD atau sekitar 7,1 miliar Rupiah. Jumlah tersebut belum termasuk tunggakan pajak dan denda hukum yang tengah menjeratnya. Jika ditotal, mungkin semua mencapai 10 kali lipat dari utangnya sekarang!

Dengan utang segunung, wajar kalau Erin merasa sangat tertekan. Namun, ia jelas tidak bisa menyalahkan siapapun. Sebab, ia tahu, hal itu hanya akan memperburuk situasi. Teman-teman dan keluarganya akan menjauhinya kalau ia bersikap demikian. Ia tentu tidak ingin ditinggalkan sendirian, terutama dalam krisis seperti itu.

Barangkali yang bisa Erin salahkan justru dirinya sendiri. Andaikan tidak suka berutang, semua ini tentu tidak akan terjadi. Kegemarannya dalam berutang sudah dimulai sejak tahun 2010 silam. Pada waktu itu, ia sampai mengoleksi tiga kartu kredit untuk membiayai semua kebutuhan dan keinginannya.

Sebagai model terkenal, Erin tentu tidak terlalu cemas atas setumpuk utang di kartu kreditnya. Dengan honor yang besar, ia bisa membayar utang-utangnya hanya untuk berutang lebih banyak lagi.


Namun, Erin sepertinya lupa bahwa kariernya sebagai model suatu saat akan "redup". Ia terus saja mempertahankan gaya hidup yang mewah dan boros meskipun namanya pelan-pelan mulai "surut" di dunia model. Ujung ceritanya tentu sudah bisa ditebak.

Dengan penghasilan yang minim, Erin kini kelimpungan melunasi utang-utangnya. Apalagi bunga kreditnya terus "beranak-pinak" ketika ia telat bayar. Akhirnya, dalam usia yang masih tiga puluhan, ia terpaksa hidup pontang-panting dalam "bayangan" utang yang tinggi.

Menghindari Urusan Utang di Pasar Saham

Kisah hidup Erin di atas tentu bisa jadi pelajaran untuk siapapun, termasuk para investor saham. Hal itu tentu perlu dicermati. Sebab, ada kasus investor sampai berutang untuk bertransaksi saham.

Hal ini biasa terjadi manakala investor ingin sekali beli saham, tetapi kebetulan sedang tidak punya uang. Untuk mengatasinya, investor mungkin saja nekat meminjam uang dari keluarga, teman, bank, atau bahkan perusahaan sekuritas.

Biarpun dibolehkan, bukan berarti cara ini bebas risiko. Kalau pasar sedang bullish, utang yang dibelikan saham tadi tentu dapat meningkatkan nilai investasi, dan investor bisa untung. Ia dapat capital gain yang lumayan dan bisa bayar utangnya dengan tepat waktu.

Namun, bagaimana kalau investor yang bersangkutan sedang apes karena saham yang dibelinya justru anjlok? Ibarat pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga, tersiram cat! Investor jelas bisa rugi besar gara-gara membeli saham dengan berutang.

Makanya, untuk meminimalkan risiko berinvestasi, jangan berutang untuk bertransaksi saham. Terlalu riskan dan rawan. Lebih baik, investor menggunakan uang sendiri yang memang disiapkan untuk investasi.

Selain itu, sebaiknya investor juga menjauhi saham-saham dari perusahaan yang doyan berutang. Meskipun investor membeli saham dengan uang pribadi, tapi kalau perusahaan di baliknya punya setumpuk utang seperti Erin, ini juga terlalu berisiko.

Sebab, perusahaan yang hobi berutang sesungguhnya sangat dekat dengan kebangkrutan. Kita tentu tidak ingin membeli saham perusahaan yang rawan terhadap kebangkrutan kan?

Untuk mengukur tingkat utang suatu saham, kita bisa mencermati rasio Debt to Equity (DER). Rasio ini membandingkan antara modal dan liabilitas suatu perusahaan.

Jika rasio DER-nya di bawah satu kali, perusahaan tadi dinilai mempunyai utang yang rendah. Inilah kriteria perusahaan yang layak dijadikan sarana investasi karena jauh dari kata "bangkrut". Sementara, jika DER-nya di atas satu kali, dua kali, tiga kali, atau bahkan lebih, kita patut waspada sebab perusahaan tadi dianggap berisiko karena memiliki utang yang tinggi.

Sejarah utang juga perlu dicermati. Andaikan rasio DER-nya turun dari tahun ke tahun, artinya manajemen mampu melakukan efisiensi dan menekan utang. Perusahaan ini jelas mempunyai manajemen yang solid sehingga dapat memaksimalkan semua yang tersedia.

Jeratan utang memang bisa bikin hidup jadi gamang. Hal itulah yang barangkali kini dirasakan oleh Erin Heatherton. Andaikan ia mampu mengendalikan utang-utangnya sebelum utang-utang mengendalikan dirinya, hidupnya tentu sekarang akan jauh lebih aman dan nyaman. Tidak takut dihantui bayang-bayang debt collector.

Demikian pula, dari kasus Erin, investor saham hendaknya belajar bersikap bijak dalam urusan utang. Utang ibarat "bola api" yang kalau tidak bisa dikendalikan, akan membakar siapapun di dekatnya. Nah, agar tidak terbakar, sebaiknya investor tidak menjadikan utang sebagai modal bertransaksi saham, apalagi memilih saham perusahaan yang gemar menimbun utang.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun