Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

"Artificial Intelligence" Akan Mengancam Profesi Wartawan?

13 September 2018   10:09 Diperbarui: 14 September 2018   09:33 2031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay)

Sebuah artikel yang dimuat di Harian Kompas pada hari Minggu kemarin agak "mengusik" pikiran saya. Judul artikel itu sebetulnya sederhana, yaitu "Mesin Juga Bisa Menulis Berita", tetapi isinya membikin hati saya penasaran. Sebab, ia memaparkan bahwa artificial intelligence alias kecerdasan buatan kini telah merambah ke dunia jurnalistik, dan beberapa perusahaan media telah memanfaatkannya untuk menghasilkan berita.

Sebut saja Los Angeles Time. Surat kabar kredibel dari "Negeri Abang Sam" itu sudah memakai layanan Quakebot untuk membuat berita. Quakebot adalah mesin kecerdasan buatan yang diciptakan oleh para wartawan dan seorang proggramer Los Angeles Times bernama Ken Schwencke.

Quakebot berfungsi membuat dan memublikasikan berita pendek, khususnya tentang bencana alam. Jadi, sewaktu terjadi bencana alam tertentu, seperti gempa bumi, mesin itu akan langsung menelusuri sumber-sumber informasi yang dapat dipercaya, lalu membuat berita sesuai format, dan memublikasikannya kepada masyarakat secepat mungkin.

Kehadiran Quakebot dinilai membantu kinerja wartawan dalam situasi darurat. Maklum, dalam kondisi genting, wartawan memang butuh banyak waktu untuk mencari tahu dan memverifikasi data, sebelum menyiarkannya kepada masyarakat.

Makanya, masyarakat mesti menunggu cukup lama untuk memperoleh kabar teraktual tentang bencana yang terjadi, dan itu tentunya bisa berdampak pada proses evakuasi korban. Semakin cepat kabar diterima, semakin cepat pula dilakukan evakuasi untuk meminimalkan jatuhnya korban jiwa.

Sewaktu menelusuri berita-berita yang dibuat oleh Quakebot, saya cukup kagum. Pasalnya, mesin itu mampu membikin berita yang mirip dengan berita yang ditulis oleh wartawan pada umumnya. Sebut saja berita tentang gempa di Inland Empire pada tanggal 14 Agustus 2018 berikut ini.

A magnitude 4.4 earthquake struck the Inland Empire Tuesday afternoon.

According to the U.S. Geological Survey, the epicenter was 19 miles from Valle Vista, 19 miles from East Hemet, 19 miles from Temecula and 97 miles from Mexicali, Mexico.

The quake was felt across the Inland Empire as well as northern San Diego County, the USGS said.

In the last 10 days, there have been no earthquakes of magnitude 3.0 or greater centered nearby.

This information comes from the USGS Earthquake Notification Service and this post was created by an algorithm written by the author.

Di dalam berita itu, tak hanya ditampilkan informasi yang disertai kutipan sumber, tetapi juga gambar peta yang menunjukkan lokasi gempa. Hal itu tentu sesuatu yang mengesankan. Sebab, lokasi awal gempa bisa diketahui dengan akurat dalam waktu yang relatif singkat.

"Ancaman" bagi Profesi Wartawan?

Bagi saya, kehadiran mesin kecerdasan buatan seperti Quakebot menjadi "lompatan besar" dalam jagat jurnalistik. Ia dapat menutupi kelemahan wartawan dalam membikin berita-berita penting dalam waktu singkat. Ia juga mampu menganalisis data secara cermat, membuat konsep tulisan dengan rapi, dan menampilkan berita dengan baik. Makanya, kehadirannya dinilai sangat membantu kinerja wartawan.

Namun, apakah suatu saat nanti kecerdasan buatan seperti itu akan "mengusur" profesi wartawan? Saya pikir tidak. Walaupun bisa menghasilkan berita teraktual dalam waktu yang singkat, ia tetap tidak mampu membuat berita lainnya, khususnya berita-berita di rubrik humaniora yang jelas-jelas membutuhkan sentuhan emosi di dalamnya. Jadi, serapi apapun berita yang disajikannya, ia hanya mampu membuat berita-berita bertipe hardnews, yang terkesan "kering" emosi.

Meskipun demikian, kecerdasan buatan bisa menjadi mitra yang ideal bagi penulis. Ia dapat menjadi asisten yang mempermudah wartawan untuk mengkroscek data dan menyusun format penulisan, seperti yang sudah dilakukan oleh perusahaan media Reuters. Berkat kehadirannya, kinerja wartawan bisa jauh lebih ringan, dan kolaborasi keduanya niscaya akan menciptakan produktivitas yang luar biasa.

Kalau itu terjadi, perusahaan media tentu dapat mengirit jumlah wartawan yang bekerja di bawah naungannya. Sebab, dengan hanya sedikit wartawan, perusahaan tetap dapat menghasilkan berita dalam jumlah yang banyak. Produktivitas menjadi bertambah dan biaya dapat ditekan.

Biarpun terkesan efisien, kehadiran kecerdasan buatan dapat pula menciptakan masalah sosial. Jika perusahaan media cuma butuh sedikit tenaga wartawan untuk meliput peristiwa dan membuat berita, tentu akan ada banyak wartawan yang "dirumahkan", dan hal itu akan menyebabkan bertambahnya jumlah penganggur di masyarakat.

Jadi, untuk mengantisipasi hal itu, calon wartawan sebaiknya membekali diri dengan keahlian lain. Jangan sampai ia hanya mampu mengerjakan tugas yang itu-itu saja, sehingga perannya bisa digantikan dengan mudah oleh kecerdasan buatan.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun