Pada tahun 2015, Indonesia dikejutkan oleh kasus hukum yang menimpa seorang nenek berusia 63 tahun asal Situbondo, Jawa Timur. Nenek Asyani, seorang warga miskin, dituduh mencuri tujuh batang kayu jati milik Perhutani dan menghadapi ancaman hukuman penjara. Kasus ini memicu perdebatan luas di masyarakat mengenai ketidakadilan hukum, terutama terhadap rakyat kecil yang memiliki keterbatasan akses keadilan.
Nenek Asyani bekerja sebagai petani dengan penghasilan yang sangat terbatas. Ia dituduh mencuri tujuh batang kayu jati dari hutan yang dikelola oleh Perhutani, sebuah badan usaha milik negara yang mengelola sumber daya hutan di Indonesia.
Dalam pembelaannya, Nenek Asyani mengaku bahwa kayu tersebut berasal dari pohon yang tumbang di lahannya sendiri dan ia hanya memanfaatkannya untuk keperluan pribadi. Namun, pihak Perhutani tetap melaporkannya dengan tuduhan pencurian, yang kemudian berlanjut ke proses hukum di pengadilan.
Perhutani melaporkan kehilangan tersebut ke Polsek Jatibanteng dengan nomor laporan LP/K/11/VII/2014/Res.Sit/Sek.Jatibanteng atas laporan Perum Perhutan Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Jatibanteng kepada Sekretaris Divisi Regional Perum Perhutani Jatim, Yahya Amin. Selanjutnya Perhutani bersama Polsek Jatibanteng melakukan operasi gabungan untuk upaya penyelidikan dan penyidikan.
Setelah laporan diajukan, Nenek Asyani ditangkap oleh pihak kepolisian dan menjalani persidangan. Ia sempat ditahan di Lapas Situbondo sebelum akhirnya dihadapkan ke meja hijau.
Dalam proses peradilan, Nenek Asyani dijerat dengan Pasal 12 jo Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang memiliki ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Vonis yang dijatuhkan pengadilan adalah hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan serta denda Rp500 juta subsider satu hari kurungan. Keputusan ini menimbulkan reaksi keras dari publik yang menganggap bahwa hukum berlaku lebih tegas terhadap rakyat kecil dibandingkan terhadap pelaku kejahatan lingkungan berskala besar.
Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat dan berbagai lembaga bantuan hukum. Banyak pihak menilai bahwa hukum di Indonesia masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, di mana masyarakat miskin lebih mudah dikriminalisasi sementara pelanggaran lingkungan yang lebih besar sering kali tidak ditindak dengan tegas.
Beberapa organisasi masyarakat sipil dan pengacara pro bono mulai memberikan dukungan kepada Nenek Asyani. Mereka menilai bahwa kasus ini mencerminkan ketimpangan dalam sistem peradilan, di mana seorang nenek tua yang tidak memiliki akses bantuan hukum harus menghadapi ancaman hukuman berat karena dugaan pencurian yang nilainya relatif kecil.
Di sisi lain, pihak Perhutani bersikeras bahwa mereka hanya menegakkan hukum dan melindungi aset negara dari tindakan ilegal. Namun, banyak pihak mempertanyakan apakah langkah tersebut sudah seimbang dengan kondisi sosial-ekonomi terdakwa.
Kasus ini menjadi salah satu contoh nyata dari tantangan yang dihadapi masyarakat miskin dalam menghadapi sistem hukum. Beberapa pelajaran penting yang bisa diambil antara lain:
- a. Ketimpangan Akses terhadap Keadilan
Banyak warga miskin yang tidak memiliki pengetahuan hukum atau akses terhadap pengacara, sehingga rentan menghadapi kriminalisasi meskipun tidak memiliki niat jahat. Akses terhadap keadilan adalah hak fundamental bagi setiap individu, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Namun, kenyataannya, ketimpangan dalam akses keadilan masih menjadi masalah serius, terutama bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan. Ketimpangan ini terjadi ketika individu atau kelompok tertentu kesulitan mendapatkan bantuan hukum, menghadapi diskriminasi dalam proses hukum, atau mengalami ketidakadilan dalam putusan pengadilan.
- b. Pentingnya Reformasi Hukum
Kasus ini menunjukkan perlunya perbaikan dalam sistem peradilan agar hukum bisa ditegakkan secara adil, terutama bagi masyarakat yang kurang mampu. Hukum merupakan pilar utama dalam menjaga ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Namun, sistem hukum yang tidak efektif atau tidak adil dapat menjadi sumber ketidakpuasan sosial dan memperparah ketimpangan. Oleh karena itu, reformasi hukum menjadi langkah krusial untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih transparan, adil, dan berpihak kepada seluruh lapisan masyarakat.
- c. Kritik terhadap Penegakan Hukum yang Tidak Proporsional
Sementara seorang nenek miskin dihukum karena dugaan pencurian kayu, masih banyak kasus perusakan hutan besar-besaran yang tidak mendapatkan sanksi tegas. Penegakan hukum yang ideal seharusnya didasarkan pada prinsip keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas. Namun, dalam praktiknya, hukum sering kali diterapkan secara tidak proporsional, di mana hukuman terhadap pelanggaran kecil bisa sangat berat, sementara kejahatan besar seperti korupsi justru mendapat hukuman ringan atau bahkan impunitas. Ketimpangan ini mencerminkan adanya masalah struktural dalam sistem peradilan yang perlu dikritisi dan diperbaiki.